Saat Krisis dan Demo Besar Mahasiswa, Bung Karno Justru Pernah Adakan Pesta
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Masyarakat dikejutkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada tengah hari 3 September 2022. Menyikapi kebijakan ini, mahasiswa, buruh, dan elemen lain dalam masyarakat turun ke jalan.
Pada 6 September, massa mengepung Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Senayan. Ironisnya, pada hari yang sama, Ketua DPR Puan Maharani, diberi kejutan perayaan ulang tahun.
Perayaan ulang tahun digelar di dalam gedung, beberapa puluh meter jaraknya dari lautan massa yang berdemonstrasi menyoal kenaikan harga BBM tepat di muka gedung perwakilan itu.
Sikap tidak prihatin seperti ini tidak hanya sekali ditampilkan oleh para elite pemerintahan. Berpindah dari krisis ke krisis, penguasa dan perangkat pengatur negeri beberapa kali menunjukkan sikap semacam ini.
Nasionalisasi Perusahaan Belanda
Tidak lama setelah Indonesia merdeka, negara muda ini sudah diterpa oleh tantangan ekonomi. Salah satu bencana ekonomi yang paling buruk terjadi pada periode 1963 hingga sekitar 1966.
Pada waktu itu, terjadi hiperinflasi yang mencapai angka enam ratus persen. Jika premis umum ilmu sosial berujar bahwa, “krisis ekonomi pasti membawa krisis politik”, maka kasus Indonesia pada dekade 1960 berlaku sebaliknya. Krisis politik dan tata kelola negara yang tidak bijaksana membawa akibat buruk bagi kesehatan ekonomi negara.
Pertama-tama, ketika konflik Indonesia-Belanda tentang Papua mulai meruncing, Presiden Sukarno berpikir untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Pada saat yang sama, ia juga bertujuan untuk meningkatkan produksi komoditas dalam negeri guna mencapai keadaan swasembada, atau—dalam slogan yang ia buat—berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).
Tujuan pertama Sukarno dapat terlaksana berkat momentum masalah Papua. Sebelumnya, dalam hasil Konferensi Meja Bundar (1949), Belanda yang belum melepaskan Papua (dalam istilah Belanda: Nugini Barat) untuk bergabung dengan Republik Indonesia Serikat (RIS) berjanji akan menuntaskan masalah ini setahun setelahnya.
Namun, satu dekade berlalu dan masalah belum juga menemui titik terang. Menjelang dekade 1960-an, perasaan anti-Belanda menguat karena isu ini. Pada periode yang sama, nasionalisasi perusahaan Belanda dijalankan.
Secara ringkas, seperti yang dijelaskan Bondan Kanumoyoso dalam Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia (2001), umumnya perusahaan diambil alih oleh buruh, namun kemudian kendalinya diberikan kepada angkatan bersenjata.
Keadaan ini berkontribusi memperuncing konflik militer dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Meski demikian, perpindahan tata kelola tiba-tiba ini menyebabkan penurunan produksi dari perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi. Ini jelas berakibat buruk bagi pertumbuhan ekonomi secara umum.
Proyek-Proyek Monumental Pemula Krisis
Di sisi lain, maksud kedua Sukarno, yakni swasembada, tidak membuahkan hasil. Namun, sang presiden justru memindahkan fokusnya pada bidang lain. Tujuan ekonomi dan politik di bawah Presiden Sukarno bukanlah dua aspek yang terpisah, keduanya saling bersilangan.
Dalam politik, seperti juga dalam kasus ekonomi tadi, Presiden Sukarno ingin menunjukkan kemandirian Indonesia. Pembentukan Gerakan Non-Blok (GNB) pada tahun 1961 sudah cukup menunjukkan visi “kemandirian” Sukarno yang tidak ingin diatur-atur oleh negara adidaya dunia, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Selain itu, Sukarno ingin Indonesia menjadi negara dengan agensi—daya dan peran—yang penting dalam kancah internasional. Untuk mencapai tujuan yang terakhir, Sukarno membangun proyek-proyek besar seperti Hotel Indonesia (1962), Monumen Nasional (mulai dibangun 1961), Gelora Bung Karno (mulai dibangun 1960), dan bangunan monumental lainnya.
Ia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia pascakolonial adalah Indonesia yang mampu berkembang. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang mandek dan tuntutan ketersediaan dana bagi proyek-proyek monumentalnya, Sukarno—yang sudah meletakkan Bank Indonesia di bawah kuasa pemerintah—memerintah bank sentral itu untuk terus mencetak uang.
Akibatnya jelas, uang beredar terlalu banyak dan inflasi terjadi. Pada periode ini, ekonom-ekonom penting seperti Sumitro Djojohadikusumo sudah tidak ada dalam jajaran pemerintahan.
Krisis Mencapai Kota
Di tengah krisis ekonomi yang panjang, persaingan antara kelompok militer dan golongan komunis terus meruncing. Puncaknya, terjadi insiden berdarah dini hari 1 Oktober 1965. Perwira-perwira tinggi Angkatan Darat (AD) dibunuh.
Dalam Hari-hari yang Panjang, 1963–1966 (2000), Sulastomo berkisah bahwa kenaikan harga barang bermain pula di latar belakang menyandingi krisis politik yang menanjak akibat peristiwa berdarah itu. Kenaikan harga sebenarnya sudah mulai terasa di wilayah non-perkotaan sejak 1963.
Namun, efek inflasi baru dirasakan perkotaan agak lebih terlambat. Mahasiswa merasakan lonjakan harga ketika harga makanan dan transportasi umum meningkat. Akhirnya, ketika krisis mencapai kota, mahasiswa turun ke jalan.
Pada tanggal 10 Januari 1966, mahasiswa melakukan demonstrasi dan menyuarakan tiga tuntutan yang populer dengan nama Tri Tuntutan Rakyat (Tritura): pembubaran PKI, perombakan kabinet, dan penurunan harga bahan pangan. Pembubaran PKI ditolak secara prinsip oleh Presiden Sukarno.
Resistensi ini dilawan mahasiswa dengan terus menggelorakan aksi. Pada bulan yang sama, Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena sempat memanggil pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke rumahnya di Jalan Teuku Umar. Ia mengkhawatirkan aksi mahasiswa Universitas Indonesia yang menurutnya sudah ada dalam tahap yang membahayakan.
Leimena meminta HMI untuk membantu menjaga keselamatan para demonstran dan meredakan ketegangan. Namun, korban tak terelakkan. Mahasiswa Fakultas Kedokteran UI, Arief Rahman Hakim, tewas tertembak peluru saat berdemo di depan istana.
Arief baru pertama kali itu turun ke jalan dan di tengah situasi yang tidak terkendali, ia kalah sigap dengan kawan-kawan mahasiswa lainnya yang segera menunduk. Korban lain yang jatuh adalah wartawan Surat Kabar Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Zainal Zakse. Arief Rahman Hakim tewas di depan Monumen Nasional, sedangkan Zainal Zakse tewas oleh bayonet di Medan Merdeka Barat.
Pesta Sukarno dan Dokumenter yang Janggal
Yang mengejutkan, dua hari setelah kematian mahasiswa, lewat liputan jurnalis Amerika Serikat dari National Broadcasting Company (NBC), Ted Yates, kita dapat melihat bahwa Sukarno masih mengadakan sebuah pesta kebun (garden party) seperti tidak terjadi apa-apa. Pesta kemungkinan diadakan pada tanggal 26 Februari 1966.
Di luar narasi dari Yates yang terdengar sangat propagandis, rekaman video singkat yang jadi bagian dokumenter itu menunjukkan secara jelas adanya pesta yang dihadiri tamu orang-orang kulit putih dan beberapa delegasi dari Tiongkok.
Dari sisi Indonesia, terlihat istri dari menteri luar negeri yang baru diangkat, Adam Malik, serta tentu saja Sukarno sendiri. Pesta dengan dansa-dansi di taman istana itu dilakukan di tengah aksi protes mahasiswa yang masih terus berlanjut hingga bulan Maret 1966.
Sioe Yao Kan dalam tulisan “Het nummer op de gele Universitas Indonesia jacket” (2017) dengan cermat mengkritisi narasi yang digunakan Yates. Jurnalis Amerika Serikat itu menyebut dalam dokumenter bahwa Adam Malik adalah “salah satu musuh terbesar Sukarno”.
Padahal, kenyataan bahwa Adam Malik memiliki hubungan dengan Central Intelligence Agency (CIA) sama sekali tidak diketahui pada 1967, saat dokumenter itu dibuat dan diluncurkan. Orang Indonesia sendiri sama sekali tidak akan berpikir bahwa Adam Malik merupakan musuh Sukarno.
Ia baru saja diangkat Sukarno. Secara tidak langsung, kita bisa mengira bahwa Yates pastilah menerima informasi ini dari dalam pemerintahan Amerika Serikat. Ini menguatkan pandangan bahwa dokumenter Yates bukanlah dokumenter jurnalistik murni.
Dokumenter ini berjalan beriringan dengan propaganda Amerika Serikat yang kepentingan utamanya pada periode itu adalah semangat antikomunis. (R-03)