Negara Maju Benar-benar Tak Adil, Beli Karbon Indonesia Harga Sangat Murah: Kita Dilarang-larang Menebang Pohon!
SABANGMERAUKE NEWS, Bali - Ketimpangan dalam penetapan harga karbon oleh negara-negara anggota G20 merugikan Indonesia. Indonesia yang dikenakan sejumlah ketentuan dan larangan dalam pengelolaan hutan, justru harga karbonnya dibeli murah.
Hal tersebut disampaikan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia usai menghadiri pertemuan tingkat menteri G20 di bidang perdagangan, investasi dan industri atau G20 Trade, Investment, and Industry Ministerial Meeting (TIIMM) yang berlangsung 22-23 September 2022. Ia menegaskan, harga karbon belum mencapai kesepakatan.
"Khusus perjuangan kami tentang harga karbon, itu belum mencapai kesepakatan. Jadi perjanjian Paris (Agreement) pasal 6 tentang keadilan dalam harga karbon, kami sudah memperjuangkan namun belum ada kesepakatan," kata Bahlil, Jumat (23/9/2022).
Bahlil mengatakan harga karbon saat ini antara negara maju dan negara berkembang selisihnya sangat besar. Di negara maju bisa sampai US$ 100 per ton, sedangkan di negara berkembang hanya dihargai US$ 10 per ton.
"Kami katakan bahwa ini tidak adil. Sementara potensi karbon itu asal mulanya kan negara-negara yang mempunyai sumber daya alam seperti Indonesia, itu kita mempunyai mangrove, kemudian karang, hutan kita yang masih banyak. Masa harga karbon kita dihargai murah, bahkan pasar karbon kita tidak dijual oleh Indonesia," tuturnya.
Oleh karena itu, Bahlil menyebut pihaknya akan tetap memperjuangkan keadilan terkait harga karbon dalam pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada November 2022.
"Kalau mau sama dong harganya. Andaikan berbeda, perbedaannya jangan terlalu banyak," tegasnya.
Menurutnya, kondisi ini yang membuat aliran investasi di bidang karbon tidak merata. Saat ini aliran investasi lebih besar ke negara maju ketimbang negara berkembang.
"Kita diminta untuk jangan menebang pohon, memelihara lingkungan, tapi output-nya produksinya dibeli dengan harga yang tidak sama dengan mereka. Jadi tidak boleh ada satu negara yang lebih berhak atau lebih berkuasa dari yang lain atau standar ganda," imbuhnya. (*)