Yayasan Riau Madani Ingatkan KLHK Tak Ugal-ugalan Pakai UU Cipta Kerja untuk Ampuni Kebun Sawit Ilegal: Inkonstitusional Bersyarat!
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Yayasan Riau Madani mengingatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak sembarangan menjadikan Undang-undang Cipta Kerja sebagai tameng pengampunan terhadap usaha kebun kelapa sawit ilegal dalam kawasan hutan. Yayasan Riau Madani menegaskan, posisi UU Cipta Kerja telah dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai inkonstitusional bersyarat.
Ketua Yayasan Riau Madani, Rahman Piliang didampingi Ketua Tim Kuasa Hukum Yayasan Riau Madani, Dr (Cd) Surya Darma SAg, SH, MH menyatakan, langkah KLHK tersebut berpotensi kuat cacat hukum.
"Implikasi hukumnya sangat berat. Bayangkan, sesuatu yang oleh MK telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat, namun telah dijadikan sebagai instrumen yang massif dan strategis oleh Kementerian LHK dalam mengatasi persoalan kebun sawit ilegal di kawasan hutan. Kami mengingatkan agar KLHK tidak memaksakan penerapan UU Cipta Kerja dan instrumen peraturan lainnya. Jangan bertindak ugal-ugalan atas dasar UU Cipta Kerja," kata Surya Darma, Kamis (22/9/2022).
Sebagaimana diwartakan, KLHK berdasarkan pasal 110A dan pasal 110B Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, telah melakukan langkah pengampunan atas dalih keterlanjuran dalam penguasaan hutan secara ilegal. KLHK melakukan penerapan sanksi denda administratif terhadap pelaku penggunaan ilegal kawasan hutan, khususnya untuk kebun kelapa sawit.
Instrumen lain yang dipakai KLHK yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan. PP 24 itu merupakan turunan dari UU Cipta Kerja.
Bahkan, KLHK mulai menerapkan UU Ciptaker dan PP turunannya untuk menyelesaikan sekitar 2,4 juta hektar kawasan hutan yang dikuasai secara ilegal (tanpa izin) selama bertahun-tahun lamanya.
Dilaporkan hingga saat ini, sebanyak 14 perusahaan bahkan telah membayar denda administratif ke KLHK dan menyusul kemungkinan akan diikuti oleh ratusan perusahaan lainnya.
Surya Darma menjelaskan, KLHK harusnya menyadari kalau UU Cipta Kerja dan aturan turunannya tidak bisa diberlakukan karena telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK.
"Tapi sebaliknya yang terjadi, KLHK terkesan jor-joran menjadikan UU tersebut dengan dalih pengampunan dan keterlanjuran. Putusan MK soal judicial review terhadap UU Ciptaker berkaitan dengan kehutanan, terkesan tak dipedulikan. Padahal, itu putusan lembaga penjaga konstitusi negara," tegas Surya Darma.
Ia menyarankan agar UU Cipta Kerja dilakukan moratorium (penangguhan) implementasinya, sampai terpenuhi perbaikan sesuai dengan perintah amar putusan MK.
"Segera hentikan implementasi UU Ciptaker. Sebelum terjadi kekacauan hukum. Penuhi dulu perintah MK sesuai putusan judicial review. Seharusnya, UU yang lama tentang kehutanan diterapkan lagi, sebelum ada perbaikan dari UU Ciptaker," tegas Surya Darma.
Surya menyinggung soal bunyi amar putusan MK melalui putusan nomor: 91/PUU-XVIII/2020 tanggal 25 November 2021 lalu. Dalam salah satu poin amar putusan (poin 7) disebutkan kalau pelaksana UU diminta untuk menangguhkan segala tindakan/ kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Selain itu, tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
"Sementara langkah pengampunan dengan dalih keterlanjuran yang dilakukan KLHK sebagaimana diatur dalam PP 24 tahun 2021 sudah terkualifikasi sebagai tindakan strategis yang sangat menentukan nasib jutaan hektar hutan di Indonesia. Putusan MK secara tegas melarangnya," kata Surya.
Selain itu, ia juga menyoroti isi putusan yang saat ini diduga tak diindahkan oleh pembuat undang-undang. Yakni perintah MK agar pembuat UU melakukan perbaikan terhadap materi UU yang dinilai melanggar konstitusi.
"Alih-alih melakukan perbaikan, justru pemerintah secara cepat langsung menerapkan UU Ciptaker. Padahal, perintah MK adalah memperbaiki, bukan melaksanakan undang-undang Ciptaker tersebut," pungkas Surya.
Berikut petikan utama isi amar putusan MK tentang Pengujian Formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020:
3. Menyatakan pembentukan UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan'.
4. Menyatakan UU Ciptaker masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini.
5. Memerintahkan kepada pembuat UU untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU nomor 11 tahun 2020 tentang Ciptaker menjadi inkonstitusional secara permanen.
6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Ciptaker dinyatakan berlaku kembali.
7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/ kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Ciptaker. (*)