Analisis Redaksi
Anomali Siti Nurbaya, Gajah Mati dan Pemuja Undang-undang Cipta Kerja
SM News - Pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) di akun Twitter-nya pada awal November lalu sempat bikin heboh. Ia menyebut kalau pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tak bisa terhenti atas nama deforestasi.
"Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi," tulis Menteri Siti Nurbaya di Twitter, 3 November lalu.
Siti dinilai banyak pihak tak pro pada pelestarian hutan sebagai penyokong utama kehidupan. Mengatasnamakan pembangunan jor-joran Jokowi, ia terkesan memasang badan jadi tameng.
Pekan lalu, Siti Nurbaya juga memberi komentar soal putusan uji materil Undang-undang Cipta Kerja oleh Mahkamah Konstitusi yang dinyatakan inkonstitusional. Politisi Partai NasDem ini menyerukan agar dunia usaha di sektor kehutanan tidak perlu risau atas putusan MK tersebut.
"Presiden telah menyatakan Undang-undang Cipta Kerja dan semua peraturan pelaksanaannya tetap berlaku dalam jangka waktu dua tahun ke depan," kata Siti dalam keterangan tertulis, Selasa (7/12/2021) lalu.
Lagi-lagi, sebagai bagian dari anggota kabinet, Siti Nurbaya pasang badan terhadap undang-undang sapu jagad yang memang memberi keleluasaan bagi korporasi untuk menghindar dari jerat hukum akibat penguasaan hutan secara ilegal.
UU Cipta Kerja kerap jadi tameng perlindungan bagi perampok hutan negara yang menggarap kawasan hutan secara ilegal, namun leluasa menikmati hasilnya. Undang-undang ini dengan alibi 'keterlanjuran' yang serius alih fungsi hutan, menjadi 'payung pengaman' para pencuri hutan negara yang kerap menimbulkan bencana alam dan risiko perubahan iklim (climate change) pemanasan global.
Aksi terbaru Menteri Siti, Sabtu kemarin yakni tampil seakan menjadi srikandi pemimpin pasukan penjaga hutan. Memakai baret, ia memimpin acara pembaretan satuan polisi kehutanan reaksi cepat (SPORC) di Setukpa Lemdiklat Polri, Pantai Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Sabtu (11/12/2021).
"Jangan menunggu sampai terjadi masalah, potensi masalah harus segera diatasi sebelum benar-benar menjadi masalah," perintahnya saat berpidato di acara tersebut.
Sehari sebelum pidato itu, seekor gajah betina yang masih sedang menyusui ditemukan tewas di kebun kelapa sawit masyakat di Bengkalis, Riau yakni Jumat (10/12/2021). Gajah liar itu mati karena setrum listrik yang diduga dialirkan bersumber dari pemondokan (barak) kebun.
Kematian satwa langka dilindungi ini adalah tragedi kelam yang kerap terjadi dan selalu mengulang di Riau. Mamalia raksasa ini populasinya kian terancam, seiring makin habisnya kawasan hutan yang merupakan habitat aslinya.
Pembukaan kebun kelapa sawit secara ilegal maupun yang memiliki izin membuat habitat gajah hancur secara mengerikan. Lihat saja, kawasan Suaka Margasatwa Balai Raja di Bengkalis yang sudah habis hancur-hancuran bersalin rupa menjadi kebun sawit. Luasan suaka margasatwa belasan ribu hektar itu, kini nyaris tak berjejak lagi. Di daerah konservasi ini dulunya ada tempat pelatihan gajah, namun kini hanya tinggal sekadar jejak belaka.
Hampir seluruh kawasan hutan konservasi di Riau hancur berantakan. Jangan ditanya kawasan hutan produksi yang memang sangat ugal-ugalan digarap oleh kelompok dan individu tertentu untuk kebun sawit. Bertameng surat tanah yang diterbitkan kepala desa per dua hektar mengatasnamakan rakyat, hutan-hutan itu digarap secara terang-terangan.
Kondisi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Bukit Betabuh, Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan SM Kerumutan serta hutan konservasi lainnya di Riau juga tak beda jauh. Hancur berantakan, seolah negara tak berdaya.
Amat riskan memang kalau kita mengaitkan soal postingan Menteri Siti Nurbaya di Twitter-nya pada 3 November lalu. Termasuk sikap pembelaannya dengan UU Cipta Kerja.
Ia kerap bicara soal penyelamatan hutan, namun di sisi lain ia pro habis-habisan pada UU Cipta Kerja tersebut. Bicara soal UU Cipta Kerja sulit untuk melepaskan sikap lunak negara terhadap para penghancur hutan. Sekadar cukup membayar denda, itupun tak jelas kabarnya, para perambah hutan bisa leluasa dari jerat hukum. Padahal, dampak alih fungsi hutan secara ilegal itu, tidak sekadar bisa dihitung dengan rupiah.
Anomali sikap Siti Nurbaya ini patut menjadi sorotan. Ia dinilai menunjukkan posisi yang ambigu dan ingin 'cari aman'.
Kematian gajah dan satwa liar dilindungi akan tetap menjadi tontonan ke depan. Jangan berharap banyak. Ancaman kepunahan sudah di depan mata. Para konglomerat penguasa hutan bersorak girang. (*)