Isi Lengkap Pidato SBY Sebut Pemilu 2024 Bisa Tidak Adil, PDI Perjuangan Bereaksi Keras
SABANGMERAUKE NEWS - Partai Demokrat menggelar Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) pada 15-16 September 2022. Pada Rapimnas itu, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan pidato kepada para peserta Rapimnas, yang pada saat itu disampaikan secara tertutup.
Namun, penggalan pidato SBY tersebar di media sosial. Dalam pidato itu, SBY menyatakan akan turun gunung pada Pemilu 2024. Bahkan, dia mendapatkan informasi akan adanya kecurangan pada Pemilu 2024.
Selain itu, SBY pun mengungkapkan ada upaya untuk membuat Partai Demokrat tak bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2024.
Berikut penggalan pidato SBY yang viral di media sosial:
"Para kader, mengapa saya harus turun gunung menghadapi Pemilihan Umum 2024 mendatang. Saya mendengar, mengetahui bahwa ada tanda-tanda Pemilu 2024 bisa tidak jujur dan tidak adil.
Konon, akan diatur dalam Pemilihan Presiden nanti hanya diinginkan oleh mereka hanya dua pasangan capres dan cawapres saja yang dikehendaki oleh mereka.
Informasinya Demokrat sebagai oposisi jangan harap bisa mengajukan capres-cawapresnya sendiri. Bersama koalisi tentunya. Jahat bukan, menginjak-injak hak rakyat bukan.
Pikiran seperti itu batil, itu bukan hak mereka, Pemilu adalah hak rakyat, hak untuk memilih dan dipilih, yang berdaulat juga rakyat.
Dan, ingat selama 10 tahun dulu. Kita di pemerintahan. Dua kali menyelenggarakan pemilu termasuk pilpres, Demokrat tidak pernah melakukan kebatilan seperti itu."
PDI Perjuangan Merespon
Meski SBY tidak menyebut nama, namun pidatonya membuat PDI Perjuangan naik darah. Partai yang menjadi naungan Jokowi tersebut dengan tegas membantah apa yang disampaikan SBY.
Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto membeberkan bahwa kecurangan terjadi pada Pemilu 2009 silam.
Dia mengatakan adanya upaya mencurangi Pemilu 2009 secara masif. Menurutnya, Demokrat mengalami kenaikan elektoral hingga 300 persen yang dianggap tak normal.
"Ini adalah kecurangan masif. Jadi parpol pada saat itu cenderung bertransformasi menjadi partai elektoral, fungsi parpol direduksi hanya menjadi mesin pemenangan pemilu. Di Indonesia terjadi global reproduction of American politic, melalui liberalisasi politik dan ekonomi pascakrisis moneter tahun 1997. Partai Demokrat adalah contoh terhadap kehadiran partai elektoral tersebut," kata Hasto saat konferensi pers yang disiarkan secara daring, Minggu (18/9).
"Nah sistem multipartai seperti Indonesia yang sangat kompleks dengan intensitas persaingan yang sangat tinggi, sebenarnya tidak memungkinkan bagi parpol seperti Partai Demokrat untuk mengalami kenaikan 300 persen pada Pemilu 2009 lalu. Ini adalah suatu anomali di dalam pemilu," sambungnya.
Sebut PDIP Korban Penjegalan
Selain itu, Hasto mengungkapkan, PDI Perjuangan menjadi korban penjegalan pada pelaksanaan Pemilu 2009.
Pada saat itu, PDIP telah menyetujui kerja sama politik dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun sayangnya partai berlambang kepala banteng itu dijegal, sehingga PDI Perjuangan memutuskan koalisi dengan Gerindra.
"(Tahun) 2009 sebenarnya elite PDI Perjuangan dengan PPP, dengan Pak Suryadharma Ali sebenarnya sudah merencanakan kerja sama, sehingga kita bisa memenuhi syarat PT tapi di putaran terakhir ada penjegalan sehingga pada akhirnya PDI Perjuangan bekerja sama dengan Gerindra," kata Hasto dikutip dari merdeka.com
Tak hanya itu, kecurangan juga terjadi pada saat Pemilu 2019. Yang mana, PDI Perjuangan telah membuka pintu kepada Demokrat untuk bergabung dalam koalisi Indonesia Maju dan mengusung Jokowi sebagai capres.
"Kalau saya melihat ini sedikit cerita 2019 lalu, saat itu ketika Demokrat mau bergabung dengan pemerintahan Pak Jokowi, dilakukan banyak diskusi. Saya mendengar dengan mata kepala saya sendiri, bahwa Ibu Mega tidak keberatan. Karena 2014 dengan 2019 berbeda," ungkapnya.
Namun, setelah diskusi tersebut final, tiba-tiba SBY melakukan pidato dan menyebut bahwa ada upaya penjegalan Demokrat bergabung dalam koalisi Jokowi, karena ada salah satu ketua umum partai yang tidak setuju.
"Lalu saya sampaikan itu ada jejak rekamnya, saya sampaikan ke saudara ke Pak SBY, Pak Agus teman saya di Komisi VI dulu. Dan Pak Agus saya sampaikan sikap PDI Perjuangan tersebut monggo, Agus Hermanto sekiranya mau bergabung dengan pemerintahan Pak Jokowi lalu dilakukan lobi-lobi," ujarnya.
"Pak SBY melakukan lobi ke Gerindra melakukan lobi ke tempat Pak Jokowi dan kemudian tidak mengambil keputusan dan kemudian Pak SBY berpidato. Bahwa di dalam kerja sama itu tidak bisa bergabung karena ada salah satu ketum partai yang keberatan," tambahnya.
Demokrat Tuding Hasto Pemecah Hubungan Mega-SBY
Politisi Partai Demokrat, Herman Khaeron menanggapi pernyataan Hasto yang menuding Demokrat melakukan kecurangan masif pada Pemilu 2019. Dia menyebut, Hasto hanya ingin memecah belah antara Megawati Soekarnoputri dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Hasto jangan mau pecah belah, jangan selalu ingin mecah belah antara Bu Mega dengan Pak SBY. Jangan terus membuat renggang, ini Hasto selalu membolak-balik fakta saja," kata Herman.
Herman menilai, apa yang disampaikan Hasto malah membuat masyarakat berpikir bahwa selama ini yang merancang agar jalannya pelaksanaan pemilu banyak kecurangan berasal dari pihak PDI Perjuangan. Sebab, apa yang disampaikan SBY pada pidato di Rapimnas tempo hari merupakan fakta yang terjadi di lapangan.
"Kritik-kritik itu bisa saja terjadi apa yang disampaikan Pak SBY bahwa bisa terjadi pemilu yang tidak adil dan jujur karena ada potensi untuk hanya menggiring dua calon dan dua calon itu pun dari pihak mereka. Terus apa yang membuat Hasto membuat ke mana- mana berbicara tanpa arah? Jadi dalam pandangan saya Hasto selama ini membuat pecah belah," ujarnya.
Terlebih, kata Herman, apa yang diungkapkan Hasto soal kecurangan pada Pemilu 2019 hanya untuk memperlihatkan dirinya loyal terhadap partai berlambang kepala banteng tersebut. Padahal, yang terjadi Hasto yang membuat pecah belah.
"Untuk menunjukkan bahwa Hasto loyal kepada korpsnya padahal sebetulnya memecah belah. Karena tidak ada juga yang membuat tuduhan Hasto itu benar, tidak ada. Kalau potensi apa yang disebutkan Pak SBY ya potensi itu ada dan kasat mata semua orang juga tahu," tegas Herman.
"Justru menurut saya ini membenarkan dia bahwa selama ini mensetting begitu tapi ya selebihnya menurut saya upaya Hasto untuk seolah-olah dia loyal kepada korpsnya padahal itu sebetulnya memecah belah," sambungnya.
Singgung Kasus Harun Masiku
Sementara itu, Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra menegaskan peningkatan suara Demokrat pada 2009 karena masyarakat merasakan manfaat pemerintahan SBY.
"Rakyat miskin semakin sedikit. Pengangguran semakin sedikit. Gaji PNS termasuk guru dan TNI Polri hampir tiap tahun meningkat. Daya beli masyarakat tinggi. Pendapatan per kapita meningkat drastis. Dan, keuangan negara stabil. Bahkan utang minim. Pembangunan infrastruktur juga berjalan dengan baik," kata Herzaky.
"Hubungan antarumat beragama dan antarsuku bangsa juga sangat baik dan rukun. Tidak ada polarisasi antaranak bangsa. Oposisi, masyarakat sipil, dan mahasiswa bebas mengkritik tanpa takut diintimidasi, apalagi dikriminalisasi. Ya makanya wajar saja, suara Demokrat tahun 2009 meningkat drastis," tambahnya.
Terkait DPT pada 2009 yang disebut dimanipulasi, Herzaky dengan tegas menepis isu tersebut. Dia pun menyinggung soal kasus suap yang menjerat salah satu petinggi PDI Perjuangan yakni Harun Masiku.
"Lagi pula, publik kan tahu kalau di pemilu 2019 lalu, ada komisioner KPU yang ditangkap karena kasus suap. Kan, salah satu pelakunya kader partainya Bang Hasto, Harun Masiku, yang sudah buron 1000 hari lebih. Tidak ada cerita seperti itu di Pemilu 2009," tegas Herzaky.
Dia pun menjelaskan perihal pidato SBY yang bermaksud hanya mengingatkan agar aspirasi rakyat janganlah dihalang-halangi. Rakyat menginginkan lebih dari dua pasangan calon yang berlaga di 2024.
"Namanya Bapak bangsa, wajar saja kalau beliau mengingatkan, agar para elite politik tidak berupaya mengamputasi harapan rakyat. Apalagi dengan cara-cara yang tidak demokratis dan menyalahgunakan kekuasaan," ucapnya.
"Tidak perlu terlalu reaktif. Apalagi mengumbar hoaks dan fitnah. Kecuali, kalau memang merasa skenario jahatnya ketahuan," imbuh Herzaky. (*)