Tajuk Redaksi
Akhir Tragis Riau Airlines Konon Sudah Habiskan APBD Ratusan Miliar, Siapa yang Bertanggung Jawab?
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Provinsi Riau pernah mencetak rekor sejarah nasional sebagai satu-satunya pemerintah daerah yang memiliki maskapai penerbangan komersil. Hingga kini, agaknya tak pernah ada pemda manapun di Tanah Air yang senekad Provinsi Riau.
Negara saja punya maskapai Garuda Indonesia (Garuda Indonesia Airlines, dulu) yang kondisinya pun kini berdarah-darah. Tumpukan utang Garuda Indonesia berkali-kali membuatnya nyaris pailit dan digugat ke pengadilan niaga, bahkan kini diseret ke Pengadilan Australia. Tapi, stok uang negara ini masih banyak untuk menyelamatkan Garuda Indonesia, sekaligus menyelamatkan muka negara.
Gak beda jauh, kondisi Riau Air pun sejak 2008 lalu, mirip seperti Garuda Indonesia. Hidup, mati, hidup dan mati lagi secara permanen. Kabar Riau Air (Riau Airlines, dulu) bak tak berjejak lagi.
BERITA TERKAIT: Gubernur Syamsuar Enggan Urusi Carut Marut BUMD Maskapai Riau Airlines, Ratusan Miliar Uang Rakyat Terbang?
Tragisnya, pada 2013 lalu, pesawat Riau Air yang teronggok menjadi besi tua dikabarkan terpaksa dijual secara kiloan. Pesawat Riau Air yang lumpuh di Bandara Halim Perdana Kusumah diminta otoritas bandara untuk segera dipindahkan karena bikin semak dan makan tempat.
Kisah Riau Air sungguh menyedihkan. Dibentuk pada 12 Maret 2002 lalu di era Gubernur Saleh Jasit, awalnya Riau Air memiliki 1 unit pesawat jenis Foker 50. Pembentukan Riau Air ditandai dengan disahkannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 tahun 2002 tentang Pembentukan PT Riau Airlines oleh DPRD Riau.
Konon, saat itu uang APBD Riau sedang banyak-banyaknya. Bahkan Riau dijuluki sebagai provinsi terkaya di Indonesia dengan limpahan dana bagi hasil (DBH) migas yang berjibun.
Riau Air sebagai operator penerbangan saat itu telah memiliki izin Air Operator Certificate (AOC) nomor AOC/121-017 pada tanggal 20 Desember 2002, dari Direktorat Perhubungan Udara Departemen Perhubungan RI.
Riau Air tidak hanya melayani penerbangan berjadwal, melainkan juga penerbangan tidak berjadwal. Yakni lewat Izin Niaga Berjadwal nomor: AU/3496/2005 dan izin Niaga Tidak Berjadwal no: AU/3125/DAU-1065/2007.
Tapi semua izin-izin itu sirna. Pada 2012 lalu, Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan RI mencabut secara permanen izin terbang Riau Air.
Saham pengendali Riau Air mayoritas dimiliki oleh pemerintah Provinsi Riau. Sejumlah pemda lain ikut nimbrung seperti Lampung, Bangka Belitung dan Bengkulu dan Nias, Sumatera Utara.
Nafsu Kuat Tenaga Kurang
Jika pada awalnya diperuntukkan melayani penerbangan perintis, Riau Air agresif melakukan pengembangan rute. Bahkan, Riau Air sempat membuka rute penerbangan persaingan ketat.
Konon, Riau Air tak saja menjelajah wilayah Pulau Sumatera, namun juga melayani rute Jawa, Bali, Mataram di NTB dan Flores di NTT. Pernah pula penerbangan internasional tujuan Malaysia sempat dibuka.
Agresivitas Riau Air tentu saja berlanjut dengan mendatangkan tambahan unit pesawat. Bahkan, jumlah pesawat yang sempat dioperasikan Riau Air disebut mencapai 10 unit, terdiri dari jenis BAe 146 dan Foker 50 serta Boeing 737-500. Pesawat itu didatangkan dengan sistem sewa, di antaranya lewat PT Aero Nusantara Indonesia.
Agresivitas Riau Air yang tak karu-karuan itu disebut sebagai malapetaka awal. Tak punya modal yang cukup, bantalan finansial yang rapuh, menyebabkan Riau Air mencari utangan.
Ibarat sindiran lawas: nafsu kuat, tenaga kurang. Riau Air ingin terbang tinggi, tapi satu per satu sayapnya patah. Si burung besi terpuruk lalu mati.
Kondisi keuangan Riau Air tak pernah sehat. Jangankan untuk impas memenuhi biaya operasional, subsidi justru terus disuntik tapi korporasi tak kunjung sehat.
Entah sudah berapa banyak dana APBD yang tersedot ke Riau Air. Sampai kini, jumlahnya tak pernah diumumkan secara resmi. Namun, media mengabarkan dana APBD yang terhisap oleh Riau Air sudah mencapai Rp 148 miliar lebih.
Pergantian pucuk pimpinan Provinsi Riau justru tak mengubah nasib Riau Air. Saat gubernur dijabat Rusli Zainal, kondisi Riau Air juga tak sehat. Padahal di era inilah aksi ekspansif Riau Air secara besar-besaran dilakukan.
Diskusi tentang nasib Riau Air nyaris tak pernah disinggung lagi saat Gubernur Riau dijabat oleh Annas Maamun dan Andi Rachman. DPRD Riau pun seakan diam.
Tampaknya, nasib Riau Air pun di era Gubernur Syamsuar tak bakalan diperhatikan.
Kepada Sabang Merauke News, awal pekan lalu Syamsuar mengaku belum punya rencana dan niat untuk memberesi persoalan BUMD yang saham mayoritasnya dimiliki oleh Pemprov Riau tersebut.
"Belum. Belum ada (rencana) ke sana untuk menyelesaikannya. Itukan lagi bermasalah itu, tidak ada niat lah apalagi sekarang ini," kata Syamsuar.
Ketua DPD I Partai Golkar Riau ini berdalih masih akan mengkaji lebih awal dan meminta konsultasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Kementerian Dalam Negeri.
"Supaya gak salah langkah. Bagusnya gimana, nanti kami bicarakan dengan Kemendagri dan KPK," kata Syamsuar.
Kepala Biro Perekonomian Setdaprov Riau, Jhon Armedi Pinem tidak menjawab pesan konfirmasi yang dilayangkan media ini. Padahal media ini ingin menanyakan soal langkah-langkah yang dilakukan pihaknya terhadap Riau Air. Termasuk soal pencatatan aset Riau Air yang tersisa dan posisi terakhir jumlah utang serta kewajiban BUMD tersebut. Namun sayang, mantan dosen Fakultas Teknik Universitas Riau ini tak membalas pesan WhatsApp yang dikirim, meski telah membacanya.
Pertanggungjawaban Hukum
Hasil audit terhadap Riau Air selama ini belum pernah dibuka ke publik. Di mana letak kesalahan dan siapa yang mesti bertanggung jawab tak pernah dibicarakan. DPRD lebih banyak diam.
Namun yang jelas, potensi kerugian daerah (kerugian keuangan dan kerugian perekonomian) kemungkinan bisa ditelisik. Ini tugas aparat penegak hukum.
Bisa saja manajemen dan pemegang saham mengklaim, kalau kerugian perusahaan semata hanya karena faktor risiko bisnis. Ini adalah celah untuk bisa lepas dari tanggung jawab pidana. Atau, mungkin saja ada cara lain untuk menggeser persoalan Riau Air ke jalur perdata.
Di sinilah dibutuhkan adanya langkah hukum untuk menentukan kesalahan yang terjadi. Aparat penegak hukum pun tak boleh diam apalagi membiarkannya. (*)