KPK Minta BUMD 'Sakit' Pengisap APBD Dibubarkan: Percuma Bayar Gaji Komisaris-Direksi, Ada di Riau?
SABANGMERAUKE NEWS - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendeteksi ratusan badan usaha milik daerah (BUMD) hidup hanya dengan menyusu ke APBD. Meski telah disubsidi dan mengisap anggaran daerah, namun kondisi BUMD tersebut terus sakit-sakitan. Tak heran, suntikan modal APBD hanya dipakai untuk membayar gaji komisaris dan direksinya.
"Kalau sudah tidak bisa dilakukan perbaikan apapun, bubarkan saja. Tidak ada gunanya membayar direksi, komisaris BUMD tinggi, tapi tidak ada manfaatnya bagi penerimaan daerah. Ini yang akan kita lakukan bersama KPK dan Kemendagri," kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata dalam forum diskusi, Kamis (8/9/2022)
Alex, sapaan Alexander Marwata menjelaskan, keberadaan BUMD 'sakit' yang tidak ada manfaatnya saat ini justru membebani daerah.
Berdasarkan data yang dikantongi KPK, terdapat 959 BUMD dengan total aset mencapai Rp 854,9 triliun di Indonesia. Namun, dari jumlah tersebut terdapat 239 BUMD yang tidak memiliki Satuan Pengawas Internal (SPI).
Kemudian, sebanyak 186 BUMD dengan posisi dewan pengawas/ komisaris justru lebih banyak dari direksi. Sementara itu, ada 17 BUMD dengan kekayaan perusahaan lebih kecil dari kewajiban (ekuitas negatif).
Bahkan, ada 274 BUMD yang mengalami kerugian. Sedikitnya, 291 BUMD dalam kondisi 'sakit' atau rugi dan ekuitas negatif.
"Terhadap persoalan-persoalan BUMD tadi, yang tidak jelas kontribusinya pada penerimaan dan perekonomian daerah, kami berpendapat mengapa kita terus pertahankan. Mending BUMD-nya sedikit, tetapi sehat dan kuat secara keuangan, serta memberi kontribusi besar bagi penerimaan daerah," ujarnya.
Oleh karenanya, Alex meminta kepada kepala daerah untuk mulai melakukan pemetaan kondisi BUMD di daerahnya masing-masing. Terhadap BUMD yang tidak ada manfaatnya, ditekankan Alex, agar dibubarkan karena merugikan keuangan negara.
Alex menjelaskan, pembenahan BUMD harus terus dilakukan. Sebab, jika tata kelola BUMD tidak sehat, maka risiko mengalami kerugian juga semakin besar. Meskipun kerugian itu tidak langsung disebabkan karena korupsi, namun hal itu menunjukan terdapat pengelolaan yang salah di BUMD.
"Kondisi BUMD yang sakit, itu tercermin dari kasus korupsi yang ditangani KPK. Dari data penanganan KPK dari periode 2004 sampai Maret 2021, tercatat ada 93 dari 1140 tersangka atau 8,12 persen merupakan jajaran BUMD. Ini tidak menutup kemungkinan terjadinya tindak pidana korupsi lain di BUMD," katanya.
Meski Alex tidak menjabarkan nama-nama BUMD yang kondisinya sakit-sakitan, namun diduga keberadaannya ada di Provinsi Riau. Misalnya PT Riau Air yang dulunya bernama Riau Air Lines (RAL).
Kondisi RAL saat ini belum jelas. Gulung tikar karena dililit utang menumpuk, sampai kini tak ada pertanggungjawaban manajemen dan pemegang saham secara hukum.
Maskapai penerbangan pertama milik pemda di Indonesia ini kini seolah terkubur dari pemberitaan. Padahal, diduga uang APBD berjumlah ratusan miliar telah dihabiskan untuk menyusui 'si burung besi' ini, meski kondisinya makin tak jelas.
Belakangan, upaya penyelamatan RAL sempat dilakukan dengan masuknya investasi PT Pengembangan Investasi Riau (PIR) yang menalangi kredit ke Bank Muamalat. Hingga saat ini, kondisi RAL juga belum diketahui secara pasti.
Setakad ini belum ada pembubaran secara resmi badan hukum usaha RAL. RAL masih masuk dalam daftar BUMD yang saham terbesarnya dimiliki oleh Pemprov Riau.
Satu lagi BUMD yang sempat mati suri yakni PT Riau Petroleum. Belasan tahun berdiri, nyaris tak ada kegiatan bisnis yang digarap, meski dana APBD miliaran rupiah telah masuk, namun dihabiskan hanya untuk membayar gaji komisaris dan direksinya.
Nyawa PT Riau Petroleum baru saja dihidupkan kembali sejak Blok Rokan dikelola PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Pemprov Riau menunjuk PT Riau Petroleum melalui anak perusahaannya untuk mengelola Participating Interest (PI) 10 persen yang menjadi jatah pemda di blok migas tersebut. Namun, sampai saat ini realisasi PI belum tuntas. (*)