Sebulan 2 Korban Manusia Dimangsa Harimau di Konsesi Akasia PT Peranap Timber, Walhi Riau: Perizinan HTI Kacau Balau!
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Konflik antara harimau sumatera dengan manusia terus berkecamuk di kawasan hutan konsesi hutan akasia di Riau. Dalam sebulan terakhir, dua manusia menjadi korban amukan si raja hutan di konsesi PT Peranap Timber, pemasok bahan baku industri pulp paper di Pelalawan. Siapa yang salah?
Sebelumnya, pada 19 Agustus lalu, seorang pekerja perempuan Sopiana Damanik tewas akibat amukan harimau di konsesi perusahaan PT Peranap Timber. Sopiana diseret oleh harimau hingga mengalami luka serius dan nyawanya melayang.
Kejadian terbaru Sabtu lalu, menimpa pekerja bernama Nihar (41) di Desa Seraping, Kuala Kampar, Pelalawan masih di areal konsesi PT Peranap Timber. Korban sore itu hendak membuang air kecil ke kamar mandi di belakang barak.
Pada saat keluar dari pintu barak dan berjalan ke arah kamar mandi, tiba-tiba ia dikagetkan dengan adanya seekor harimau sumatera di depannya. Diduga, harimau itu pun terkejut hingga langsung menyerang Nihar.
Direktur Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembiring mengatakan, hutan tanaman industri (HTI) bukan wilayah konservasi.
"Kalau kita bicara apa yang disebut hutan, itu pasti gak monokultur. Maka wajar ada konflik-konflik di lokasi perizinan HTl," kata Boy.
Kasus penyerangan yang dilakukan harimau kepada manusia tersebut menyebabkan saling menyalahkan dari berbagai pihak. Namun, menurut Boy Jerry Even Sembiring, kegagalan konservasi tersebut bukan terletak di HTI, tetapi pada pemerintah sendiri.
"Apakah HTI gagal? Kalau kita liat prosesnya, kegagalan itu terletak di negara yang paling utama. Terkait dengan penerbitan izin atau aktivitas ilegal yang dibiarkan oleh negara terjadi di kawasan hutan mengakibatkan konflik antara manusia dan satwa seperti harimau," kata Boy, Rabu (7/9/2022).
Boy juga mengatakan, jika berdasarkan perizinan, baik untuk tambang ataupun perkebunan, bukan konflik dengan satwa yang dibesar-besarkan. Tetapi juga harus melihat buruknya perizinan di Provinsi Riau.
Balai Besar KSDA juga dinilai gagal melakukan kebijakan konservasi. Tetapi Boy menilai tidak sepenuhnya BBKSDA bisa disalahkan.
"Kalau Balai Besar KSDA ada kegagalan, pasti. Mereka gak berhasil juga untuk melindungi satwa. Tapi gak tepat juga kalau semua dilimpahkan ke BBKSDA, karna wilayah kerja mereka itu wilayah konservasi. Sementara HTI itu bukan wilayah konservasi," ujar Boy.
Boy menjelaskan, kegagalan utama ada pada proses penerbitan izin serta penegakan hukum yang tidak dilakukan.
"Jangan sampai Undang-undang Cipta Kerja memutihkan 1,8 juta hektar kebun kelapa sawit di Riau," pungkas Boy. (cr8)