Analisis Redaksi
Peringatan Hari Antikorupsi: Dalam Balutan Seremoni dan Basa-basi di Tengah Pandemi!
SM News - Hari ini, 9 Desember 2021 seluruh dunia memperingatinya sebagai Hari Antikorupsi. Ini adalah peringatan ke-16 kalinya sejak Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan konvensi melawan kejahatan korupsi yang dikenal dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) pada 9 Desember 2003 lalu, namun mulai berlaku diterapkan pada 9 Desember 2005.
Tiap tahun, tema Hari Antikorupsi Sedunia berubah. Tahun 2021 ini mengambil tema besar: "Your Right, Your Role: Say No to Corupption". Terjemahan sederhananya yakni "Hak Kamu, Peran Kamu: Katakan Tidak untuk Korupsi".
Dunia menyadari korupsi begitu merusak sendi-sendi kehidupan. Bumi tercemar, hancur dan porak-poranda. Kemiskinan kian menganga. Kejahatan merajalela. Perbudakan modern masih terasa. Genggaman global terus mendikte. Itulah fenomena kalau korupsi masih eksis dan kian tak terbendung hingga kini.
Korupsi yang berasal dari bahasa latin
corruptio atau menurut Webster Student Dictionary adalah corruptus, sesungguhnya berasal dari suatu kata latin yang lebih tua yakni corrumpere.
Corrumpere dapat diartikan sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Dalam studi kejahatan, korupsi bersama-sama
dengan prostitusi adalah kejahatan tertua di dunia. Diperkirakan kejahatan korupsi dan prostitusi akan tetap berlangsung selama ada kehidupan di dunia.
Prof. Eddy O.S Hiariej yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM RI, dalam "United Nations Convention Against Corruption dalam Sistem Hukum Indonesia" (2019) menyebut setidaknya ada 9 tipe korupsi.
Pertama, political bribery adalah termasuk kekuasaan di bidang legislatif sebagai badan pembentuk undang-undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu.
Kedua, political kickbacks, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang bersangkutan.
Ketiga, election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan umum. Keempat, corrupt campaign practice adalah praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas negara.
Kelima, discretionery corruption yaitu korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan kebijakan.
Keenam, illegal corruption yakni korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa hukum atau interpretasi hukum.
Ketujuh, ideological corruption ialah
perpaduan antara discretionery corruption dan
illegal corruption yang dilakukan untuk tujuan
kelompok. Kedelapan, political corruption adalah penyelewengan kekuasaan atau kewenangan yang dipercayakan kepadanya untuk mendapatkankeuntungan pribadi atau kelompok yang berkaitan dengan kekuasaan.
Terakhir kesembilan, mercenary corruption yaitu menyalahgunakan kekuasaan semata-mata untuk kepentingan pribadi.
Di Tanah Air Indonesia, isu korupsi mengemuka secara intens pasca gerakan reformasi '98. Runtuhnya rezim orde baru pemerintahan Soeharto dianggap sebagai simbol kehancuran kekuasaan politik yang korup dan sewenang-wenang, tanpa kontrol yang sarat memenuhi 9 jenis kriteria korupsi yang disebut di atas tadi.
Sebagai buahnya, muncullah sejumlah lembaga ad hoc yang didesain untuk tugas pemberantasan korupsi. Sebut saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada institusi hukum lain dibentuk pula unit satuan khusus semisal unit tindak pidana korupsi/ pidana khusus di kepolisian dan juga kejaksaan.
KPK sendiri beberapa kali berbenturan dengan lembaga penegak hukum. Lewat drama cicak versus buaya beberapa jilid dan episode, pertarungan pemberantasan korupsi antarsesama penegak hukum terbuka dan menjadi tontotan rakyat.
Bahkan, hingga kini pertarungan itu seakan belum usai. Kita lihat saja kasus pemecatan puluhan pegawai KPK, Novel Baswedan cs lewat skema test wawasan kebangsaan (TWK) yang menggusur posisi mereka secara halus namun mengerikan dari korps antirasuah tersebut. Politik jalan tengah kini diambil oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang merekrut Novel Baswedan cs sebagai aparatur sipil negara (ASN) Polri.
Korupsi setelah lebih 20 tahun reformasi bertransformasi menjadi drama dan sinetron yang enak dan asyik ditonton. Sangking banyaknya kasus-kasus pencurian 'uang rakyat', publik kini mulai bosan dan apatis. Tiada hari tanpa berita korupsi.
Jika dulu korupsi kerap dilakukan para pejabat tinggi dan elit-elit besar serta konglomerat, kini perilaku koruptif kian massif, hingga ke sudut-sudut desa dan pelosok kampung. Hampir tiap pekan ada kepala desa yang ditangkap karena dituduh korupsi, sejak arus keuangan mengalir deras ke desa.
Yang lebih parah, korupsi menyusup ke ruang-ruang yang selama ini dianggap sakral: agama. Masih kita ingat kasus korupsi pencetakan Alquran dan korupsi pembangunan rumah ibadah yang menjerat sejumlah elit di pusat dan daerah.
Ironisnya, di tengah kondisi pandemi Covid-19 korupsi juga kian merajalela. Kasus yang menjerat politikus partai berkuasa, Menteri Sosial Juliari Batubara adalah buktinya. Ia dituduh menerima suap dari tiap paket bantuan sembako untuk keluarga miskin terdampak Covid-19.
Yang terbaru yakni kasus bisnis PCR Covid-19 yang menjadikan dua menteri papan atas kabinet Jokowi-Amin sebagai pihak tertuduh memiliki konflik kepentingan. Meski keduanya membantah dan mengaku tak dapat untung, tapi sulit untuk mengabaikan begitu saja keterlibatan mereka sebagai pejabat publik dalam bisnis PCR tersebut.
Lain hal jika keduanya (LBP dan ET) bukan pejabat negara, publik tak akan mempedulikannya. Ironisnya, Presiden Jokowi tak bersuara dan bersikap soal kelakuan dua anak buahnya tersebut, seolah kian permisif dengan konflik kepentingan dalam penyelenggaraan negara.
Itu sebabnya, relevansi peringatan Hari Antikorupsi Sedunia dengan kondisi hari ini seakan makin tak relevan lagi. Kampanye antikorupsi sekadar jargon dan cuap-cuap alias bualan para elit.
Seremonial kampanye antikorupsi dinilai telah menjadi basa-basi tak berarti. Saya sepakat kalau pemberantasan perilaku korupsi harus dimulai dari elit dan kepala, bukan dari rakyat atau ekor.
Hal pokok lain, pembersihan korupsi haruslah dimulai dari pemegang kekuasaan politik dan kekuasaan hukum, plus pemegang kekuasaan ekonomi. Kalau ketiga pemegang kekuasaan ini sudah bersekutu, rakyat tak bisa berbuat apa-apa.
Jika para elit masih mempertontonkan perilaku koruptif dan arogansi kekuasaan, maka rakyat tak akan pernah percaya lagi dengan kampanye antikorupsi. Ini mengingatkan kita pada kampanye lawas: Katakan Tidak Pada(hal) Korupsi. (Raya Desmawanto)