Tajuk Redaksi
Kasus Duta Palma Grup Cuma 37 Ribu Hektar Bikin Heboh se-Indonesia, Padahal 539 Ribu Hektar Hutan di Riau Dirampok Korporasi Kok Diam-diam Saja?
SABANGMERAUKE NEWS - Duta Palma Grup bikin heboh se-Indonesia. Betapa tidak, Kejaksaan Agung yang menyidik kasus korupsi kebun sawit milik Surya Darmadi ini menyebut taksiran kerugian negara mencapai Rp 78 triliun.
Ini adalah perkiraan kerugian negara paling besar sepanjang sejarah penanganan kasus korupsi sejak Republik Indonesia berdiri.
Kejagung menyebut kalau korporasi kelapa sawit Duta Palma Grup telah mengelola tanpa izin lahan kawasan hutan seluas 37.500 hektar menjadi kebun kelapa sawit di Indragiri Hulu, Riau. Kebun itu diurus oleh lima perusahaan terafiliasi Duta Palma Grup (Darmex Agro).
BERITA TERKAIT: 1,4 Juta Hektare Hutan Riau Dirampok untuk Kebun Sawit Paling Luas di Rokan Hilir, Ini Datanya Tiap Kabupaten
Surya Darmadi dan mantan Bupati Indragiri Hulu, Thamsir Rachman sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus ini. Kejagung juga telah menyita aset-aset yang terkoneksi dengan Duta Palma, berupa lahan, gedung, bangunan dan hotel di sejumlah wilayah di Indonesia.
Atas penyidikan dan penyitaan tersebut, Duta Palma Grup melawan dengan menggugat lewat praperadilan Direktur Penyidikan JAMPidsus Kejagung, Supardi ke Pengadilan Negeri Pekanbaru. Supardi sejak pekan lalu telah menempati pos jabatan baru sebagai Kajati Riau, menggantikan Jaja Subagja.
Kita mengapresiasi langkah tegas yang dilakukan oleh Kejagung terhadap Duta Palma Grup. Gerakan cepat penyidikan yang dilakukan melalui penggeledahan, penyitaan dan penetapan tersangka perlu diacungi jempol. Langka terjadi Kejagung melakukan gerakan hukum secepat dan setegas itu.
BERITA TERKAIT: 1,4 Juta Hutan Riau Dikuasai Secara Ilegal, DPR: Ini Perampokan, Penjahat-penjahat Untung Negara Buntung!
Meski perhitungan kerugian negara sebesar Rp 78 triliun masih dapat diperdebatkan, namun angka jumbo itu sungguh fantastis. Kerugian negara dalam pengelolaan lahan hutan tanpa izin seluas 37.500 hektar disebut oleh Kejagung merugikan negara mencapai Rp 78 triliun.
Hanya Secuil
Publik boleh saja kaget dan takjub dengan penegakan hukum terhadap dugaan kejahatan hutan yang dilakukan oleh Kejagung tersebut. Namun, jika kita membandingkan dengan realitas yang lebih luas, hal tersebut sebenarnya masih langkah kecil.
Bandingkan dengan hasil ekspos Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dalam rapat panitia kerja dengan Komisi IV DPR RI pada Senin (22/8/2022) lalu.
Dalam forum tersebut, Kementerian LHK menyampaikan data hasil identifikasi dan verifikasi lapangan kawasan hutan yang sudah disulap menjadi kebun sawit tanpa izin kehutanan di Provinsi Riau.
Jumlahnya cukup mengagetkan, meski itu merupakan informasi lama, sejak pansus DPRD Riau pada 2015 lalu sudah lebih dulu memaparkan angka yang lebih besar.
Berdasarkan data Kementerian LHK yang dilaporkan ke Komisi IV DPR RI, ada sekitar 1,44 juta hektar kawasan hutan di Riau yang dikuasai tanpa izin. Dari jumlah itu, seluas 1,35 juta telah dijadikan kebun kelapa sawit, sisanya digunakan untuk aktivitas pertambangan dan kegiatan ilegal lainnya.
Lebih rinci lagi, Kementerian LHK menjabarkan dari 1,35 juta hektar kawasan hutan yang dijadikan kebun sawit, seluas 539 ribu hektar ternyata dikelola dan dikuasai oleh kelompok korporasi kelapa sawit.
Fakta itu menunjukkan kalau sebenarnya kasus Duta Palma Grup yang dituduh menguasai secara ilegal kawasan hutan seluas 37.500 hektar itu hanya secuil dari penguasaan ilegal kawasan hutan yang ada di Riau.
Duta Palma Grup dalam perkara yang ditangani Kejagung, secara matematis hanya menguasai tak sampai 7 persen dari total kawasan hutan yang dikuasai korporasi lain secara ilegal di Riau.
Perampokan Hutan
Anggota Komisi IV DPR RI, Yohanis Fransiskus Lema menggunakan diksi yang cukup keras sebutan terhadap pelaku alih fungsi kawasan secara ilegal tersebut. Ia menyebut mereka sebagai perampok dan penjahat hutan dan lingkungan.
"Ini perampokan namanya. Mereka penjahat-penjahat yang sudah kaya raya. Mereka untung negara buntung. Masyarakat yang menebang satu-dua pohon dipidana. Tapi kepada mereka yang merampok kok hukum nampaknya tidak keras," kata Yohanis dalam rapat panja Komisi IV bersama Kementerian LHK, Senin lalu. Menteri LHK Siti Nurbaya tidak hadir dan hanya diwakili oleh Sekjen serta para Dirjen Kementerian LHK.
Menjadi pertanyaan besar bagi publik, ketika aparat penegak hukum hanya menyeret PT Duta Palma Grup dalam kasus alih fungsi hutan menjadi kebun sawit secara ilegal. Tentu, kita tidak mendukung siapapun mereka yang menggarap hutan tanpa izin. Namun penegakan hukum harusnya dilakukan secara berkeadilan, tuntas dan tidak tebang pilih.
Kementerian LHK perlu dan wajib untuk segera merilis nama-nama korporasi kelapa sawit yang telah menggarap hutan Riau secara ilegal. Selain Duta Palma Grup yang sedang ditangani kasusnya oleh Kejagung, tentunya ada banyak lagi korporasi yang melakukan tindakan serupa.
Dari 539 ribu ha kawasan hutan yang dikuasai korporasi kelapa sawit menurut data Kementerian LHK, dalam kasus yang ditangani Kejagung hanya menyeret PT Duta Palma yang terjerat penguasaan diduga ilegal kawasan hutan seluas 37.500 ha.
Kemana dan siapa korporasi yang mengelola hutan secara ilegal untuk kelapa sawit pada 500 ribu hektar sisanya?
Pertanyaan ke Aparat Hukum
Ini adalah pertanyaan besar publik yang pantas ditujukan kepada Kementerian LHK yang memiliki perangkat Penegakan Hukum (Gakkum) dan segenap aparat hukum yang ada di republik ini. Di mana peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri?
Institusi hukum tak boleh tebang pilih dalam penegakan hukum. Apalagi jika menjadikan Undang-undang nomor 11 tahun 2020 sebagai tameng perlindungan kepada perampok hutan negara dengan dalih sanksi administrasi dan pembayaran denda.
Sebab, jika dalih UU Cipta Kerja yang oleh Mahkamah Konstitusi itu telah ditetapkan 'inkonstitusional bersyarat' dipakai penegak hukum dan Kementerian LHK, mengapa hal itu tidak berlaku juga untuk PT Duta Palma Grup?
Seperti yang disampaikan anggota Komisi IV DPR RI, Dr Slamet bahwa status inkonstitusional UU Cipta Kerja sangat rentan dan memiliki risiko legitimasi jika dilaksanakan. Ia meminta dilakukan moratorium terhadap pelaksanaan UU Cipta Kerja dan peraturan pemerintah (PP) yang menjadi turunannya dalam penyelesaian masalah penguasaan hutan secara ilegal.
"UU Cipta Kerja yang inkonstitusional bersyarat itu kan sangat rentan. Apakah tidak lebih baik menggunakan undang-undang sebelumnya?," kata Slamet.
Sekali lagi. Demi penegakan hukum yang berkeadilan, tuntas serta memberi efek jerah, aparat penegak hukum bersama Kementerian LHK harus menindak keras para 'penjahat-penjahat' hutan di Riau.
Kasus Duta Palma Grup hanyalah secuil dari lebih setengah juta hektar kawasan hutan yang disulap korporasi secara ilegal menjadi kebun kelapa sawit.
Jika hanya berhenti pada PT Duta Palma Grup, publik berhak memberi penilaian miring terhadap proses penegakan hukum yang terjadi. Jangan salahkan publik jika menuding, praktik penegakan hukum sekadar hanya sandiwara dan drama semata. Rakyat menunggu. (*)