1,4 Juta Hutan Riau Dikuasai Secara Ilegal, DPR: Ini Perampokan, Penjahat-penjahat Untung Negara Buntung!
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Anggota Komisi IV DPR RI, Yohanis Fransiskus Lema meradang mendengar pemaparan Kementerian LHK terkait jumlah kawasan hutan yang dikuasai secara ilegal baik oleh korporasi, koperasi maupun kelompok masyarakat. Untuk dua provinsi yakni Riau dan Kalimantan Tengah, KLHK menyebut total 2,6 juta hektar kawasan hutan telah dikelola tanpa izin, utamanya untuk perkebunan kelapa sawit.
Kawasan hutan yang dikuasai tanpa izin di Provinsi Riau seluas 1,4 juta hektar. Sementara, di Provinsi Kalimantan Tengah ada seluas 1,2 juta hektar.
"Ini perampokan namanya dan pengrusakan hutan. Mereka sudah merampok dan merusak hutan dan lingkungan. Dampaknya sangat luas," kata Yohanis saat rapat panitia kerja Komisi IV dengan Kementerian LHK, Senin (22/8/2022) lalu yang disiarkan lewat channel media sosial.
Politisi PDI Perjuangan ini menyebut mereka yang mengusai hutan tanpa izin sebagai penjahat. Soalnya, akibat penggarapan dan pengrusakan hutan yang dilakukan, para pelakunya menikmati untung yang besar.
"Mereka untung, sementara negara buntung," tegas eks aktivis mahasiswa asal NTT ini.
Yohanis mempertanyakan langkah tegas yang dilakukan oleh Kementerian LHK terhadap pengrusak dan penjahat-penjahat hutan tersebut.
"Jangan hanya berhenti pada identifikasi dan pendataan. Jangan juga hanya teguran tertulis. Harus ada tindakan tegas," katanya.
Menurutnya, jika langkah yang dilakukan Kementerian LHK hanyalah langkah administrasi dan teguran tertulis, maka publik tidak akan bisa berharap kepada negara untuk dapat tegas kepada pelaku kejahatan hutan.
Ia membandingkan langkah pemerintah terhadap rakyat kecil yang hanya menebang satu-dua pohon, namun negara menjatuhkan hukuman pidana yang keras dan tegas.
"Ini mereka merusak hutan bertahun-tahun. Mereka penjahat-penjahat itu sudah kaya raya. Kalau rakyat ada yang tebang satu dua pohon, dipidana keras Bagaimana ini kok ada ketimpangan," kata Yohanis.
Diwartakan sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkap data perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan secara ilegal (tanpa izin kehutanan) di Provinsi Riau. Kelompok korporasi teridentifikasi sebagai penguasa kawasan hutan ilegal yang paling banyak bercokol.
Data tersebut diklaim diperoleh dari tim identifikasi dan konsolidasi penguasaan hutan tanpa izin di Provinsi Riau yang dibentuk oleh Menteri LHK pada akhir Mei lalu.
Pembentukan tim inventarisasi dilakukan atas desakan Komisi IV DPR RI yang menilai Kementerian LHK lamban dalam menghimpun data penguasaan hutan tanpa izin di Riau maupun Kalimantan Tengah. Kedua provinsi ini merupakan daerah yang paling banyak hutannya dialihfungsikan tanpa izin untuk pembangunan kebun kelapa sawit.
Ada total kawasan hutan seluas 1,35 juta hektar di Riau yang telah beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit tanpa izin kehutanan (pelepasan atau penetapan). Dari jumlah tersebut, penguasaan oleh korporasi seluas 539 ribu hektar lebih yang dikuasai oleh perusahaan.
Sementara sisanya hampir 800 ribu hektar dikuasai tanpa izin oleh kelompok masyarakat, koperasi, perorangan dan multi user.
Data tersebut diungkap dalam paparan Kementerian LHK saat rapat dengan panitia kerja (panja) Komisi IV DPR RI pada Senin (22/8/2022) lalu. Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi di kompleks Senayan DPR RI.
Dalam paparannya, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani menjelaskan, kebun kelapa sawit dikelola korporasi di kawasan hutan yang tak memiliki izin kehutanan di Riau, tersebar di 12 kabupaten/ kota di Riau.
UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat
Sebelumnya, anggota Komisi IV DPR RI, Slamet dalam forum yang sama mempertanyakan soal legalitas penggunaan Undang-undang nomor 10 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam penyelesaian penguasaan hutan secara ilegal.
Soalnya, Kementerian KLHK akan menerapkan pasal 110A dan pasal 110B dalam program pengampunan atas keterlanjuran penggunaan kawasan hutan tanpa izin. Dengan penggunaan UU Cipta Kerja tersebut, maka pelanggar aturan kehutanan sebelum UU Cipta Kerja disahkan, dapat memperoleh fasilitas pengampunan hanya dengan sanksi administrasi dan membayar denda.
Slamet menegaskan, posisi UU Cipta Kerja sudah ditetapkan dalam putusan MK sebagai inskonstitusional bersyarat. Menurutnya, dalam kondisi tersebut seharusnya UU Cipta Kerja tidak bisa dijalankan, apalagi dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan undang-undang.
Dalam kaitan dengan persoalan kehutanan, turunan UU Cipta Kerja adalah Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Slamet menjelaskan, kedudukan UU Cipta Kerja dalam status inkonstitusional bersyarat akan berisiko jika diterapkan. Apalagi, jika Kementerian LHK menjadikan pasal 110A dan pasal 110B UU Cipta Kerja untuk menyelesaikan masalah kehutanan.
"Harusnya ini dimoratorium dulu. Dihentikan. Apakah kita akan kembali ke undang-undang yang lama. Karena inikan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Kalau nanti ke depan UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional, kan jadi masalah baru," tegas Slamet.
Meski UU Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat, menurut Slamet, Kementerian LHK tetap dapat melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggar aturan kehutanan.
"Jadi, tetap bisa dilakukan penindakan sesuai ketentuan," tegas Slamet.
Kebun Sawit Ilegal Korporasi Terluas di Indragiri Hulu
Berdasarkan data yang dipaparkan ke hadapan anggota Komisi IV, lokasi kebun sawit korporasi terluas tanpa izin berada di Kabupaten Indragiri Hulu, yakni seluas 144.385 hektar lebih.
Sementara, kabupaten kedua terbesar yang kebun sawit ilegal dikuasai korporasi berada di Rokan Hulu seluas 68.677 hektar lebih.
Wilayah Kabupaten Indragiri Hilir berada di ranking tiga penguasaan hutan oleh korporasi kebun sawit dengan luasan 66.321 hektar lebih.
Sementara, di Kabupaten Rokan Hilir terdapat seluas 56.662 hektar lebih kawasan hutan secara ilegal dikuasai oleh perusahaan kebun kelapa sawit. Disusul oleh Kabupaten Pelalawan dengan luasan 56.011 hektar.
Di wilayah Kabupaten Kampar, terdapat sekitar 52.730 hektar kawasan hutan yang dijadikan kebun kelapa sawit oleh perusahaan, tanpa izin kehutanan.
Disusul oleh Kabupaten Kuansing terdapat sekitar 41.058 kawasan hutan disulap menjadi kebun sawit tanpa izin kehutanan oleh korporasi.
Sementara itu, kebun kelapa sawit milik korporasi di kawasan hutan pada Kabupaten Bengkalis ada seluas 39.216 hektar. Dan di Kabupaten Siak terdapat 7.255 hektar lebih kebun sawit korporasi tanpa izin kehutanan.
Untuk wilayah Kota Dumai, terdapat kebun sawit tanpa izin di kawasan hutan seluas 5.697 hektar dan di Kota Pekanbaru ada kebun sawit di kawasan hutan yang digarap perusahaan seluas 643 hektar.
Terakhir, di Kabupaten Kepulauan Meranti terdapat kegiatan kebun kelapa sawit di kawasan hutan seluas 522 hektar lebih.
Hambatan Pendataan
Dirjen Gakkum KLHK, Rasio Ridho Sani menyatakan, sebenarnya masih ada sekitar 148 ribu hektar lebih kawasan hutan yang dikuasai tanpa izin namun belum bisa diidentifikasi. Pihaknya berjanji akan segera merampungkan data identifikasi kebun sawit ilegal di kawasan hutan berada di Provinsi Riau.
Ridho menjelaskan ada sejumlah hambatan yang dihadapi tim identifikasi dan pendataan bentukan Kementerian LHK saat turun ke lapangan. Diketahui, Menteri LHK telah menugaskan lebih dari 400 personil pegawai KLHK turun melakukan identifikasi dan pendataan lapangan kawasan hutan yang digarap secara ilegal.
Hambatan tersebut meliputi akses ke lokasi yang sulit dan tidak adanya pemilik atau pengelola kebun di lokasi saat tim datang.
Selain itu juga tidak diketahui pemilik atau pengelola kebun sawit tersebut dan bahkan lokasi sudah ditinggalkan oleh pengelola. Tim identifikasi kata Ridho juga mengalami penolakan dari pengelola kebun sawit. Hambatan lain yakni terbatasnya waktu dan sarana serta prasarana kerja. (*)