Pelaku Pelecehan Seksual Kerap Lolos Jerat Hukum, Begini Cara Efektif Mengatasinya
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Kasus pelecehan seksual yang terjadi kepada korban seringkali tak bisa dibuktikan. Pemeriksaan forensik bagi korban kekerasan atau pelecehan seksual sebagai bentuk upaya untuk melengkapi alat bukti.
KaBiddokkes Polda Jawa Tengah KBP Sumy Hastry Purwanti menekankan, jika pemeriksaan forensik bagi korban kekerasan seksual butuh kerja sama dari semua pihak. Mulai dari tenaga kesehatan, kepolisian hingga masyarakat.
Menurutnya, butuh konsep tindakan komprehensif menyeluruh dan tidak terpisah. Untuk alur pemeriksaan sendiri, Sumy menyebutkan jika memang perlu saksi.
Tanpa saksi, maka pembuktian menjadi sulit.
Lalu bagaimana dengan korban kekerasan seksual yang terjadi di ruang privat? Sebagian besar tidak ada saksi karena hanya ada korban dan pelaku.
“Kalau tidak ada saksi susah. Bahkan berkas dikembalikan karena bukti yang tidak cukup. Semakin lama dikembalikan maka mengumpulkan alat bukti akan susah lagi. Bagaimana sih caranya?” ungkapnya dalam rangkaian acara Conference on Indonesia Family Planning and Reproductive Health 2022 (ICIFPRH) di Yogyakarta, Selasa (23/8/2022).
Beberapa kasus pelecehan seksual fisik seperti dibelai, dipegang dan disentuh, tentu tetap membutuhkan alat bukti.
Tapi tidak perlu khawatir, karena kata Sumy selain rekaman CCTV, korban masih bisa mengumpulkan alat bukti lain.
Minimal, bisa menggunakan dua bukti dari sidik jarinya. Seperti partikel kulit yang menempel pada korban.
Dengan catatan masih steril dan belum dicuci. Beberapa kasus bisa mendapatkan bukti dari sana.
“Seprai belum dicuci, di tempat tidur. Mungkin diraba, dibelai, terangsang, mengeluarkan air mani, membasahi itu segera diambil. Tapi kalau tidak bisa dibawa, penyidik akan menjadikan alat bukti DNA yang diduga dari pelaku,” papar Sumy.
Karenanya saat pemeriksaan, penyidik selalu tanya korban dan pelaku terkait baju apa yang dikenakan saat kekerasan terjadi. Walau pun memang, kata Sumy, membuktikan kasus kekerasan seksual hal ini bukanlah sesuatu yang mudah.
Namun jika sudah menemukan alat bukti di DNA, pelaku tidak akan bisa mengelak.
Karenanya ia menghimbau orang yang di sekitar korban untuk sesegera mungkin mengetahui, dan membantu. Sidik jari yang menempel pada korban pun bisa dijadikan sebagai bukti.
Lebih lanjut, Sumy menekankan untuk melakukan pemeriksaan secara komprehensif, sehingga bisa melanjutkan penyelidikan hingga persidangan dan memberikan penanganan yang tepat. Khususnya pada korban, karena ia kerap terlupakan.
“Karena mungkin setelah pelaku ditangkap, korban tidak terpikirkanmenjadi pelaku. Padahal, dari pelaku kekerasan seksual yang saya periksa 100 persen, ternyata dahulu korban,” tegasnya.
Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Terhadap Penyelidikan Forensik
Menurut Sumy, alat bukti harus jelas untuk ke pengadilan. Kalau dia jadi korban, segera dapat petunjuk atau barang bukti, misalnya dari bekas baju.
Ia pun mengharapkan korban tidak langsung mencuci atau membuang pakaian atau benda-benda yang ada saat kejadian.
Sumy menyebutkan jika cairan sperma atau yang keluar dari vagina jika kering, bisa mengkristal dan bertahan hingga 15 tahun.
Namun kalau sudah dicuci, maka memang akan menghilang.
Ia pun mengingatkan untuk hati-hati membawa dibedakan satu baju satu tempat biar tidak terkontaminasi. Itu yang bisa dibantu.
Kalau pun korban sudah membersihkan diri dengan mandi, Sumy mengatakan tetap masih ada harapan untuk mengumpulkan barang bukti, yaitu biasa melalukan swab pada alat kelamin atau lewat anus.
“Tindakan ini harus melalui persetujuan korban kalau dewasa. Kalau anak-anak bisa dari orangtuanya. Dan diharapkan, selain tubuh atau properti, teman-teman penyidik berharap ada saksi. Tapi memang susah,” kata Sumy.
Di sisi lain, percakapan di media sosial, foto, suara atau rekaman CCTV bisa digunakan.
Sebagai informasi, rumah sakit di Jakarta yang menyediakan layanan adalah Kombes Kramat Jati yang sudah melakukan dengan komprehensif dan DNA.
Lalu ada Mabes Polri yang sudah menggunakan teknologi paling bagus dan canggih. Lalu ada di Semarang, khususnya RS Bhayangkara tingkat 2. Lebih komprehensif melakukan pemeriksaan korban dan membantu barang bukti di korban. Namun layanan ini tidak bayar alias gratis.
“Tidak bayar, karena RS Bhayangkara dan polisi punya dana untuk kedokteran kepolisian untuk korban. Sehingga bisa digunakan,” pungkasnya. (R-03)