Mahasiswa Desak Kapolri Instruksikan Kapolda Riau Usut Tuntas Kasus Fee Ilegal Asuransi Kredit Bank Riau Kepri
SM News, Pekanbaru - Sekitar sepuluh orang yang mengklaim dirinya Koalisi Mahasiswa Riau Jakarta (KMRJ) menggelar aksi unjuk rasa damai di depan Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta, Selasa (7/12/2021). Dalam pernyataan sikapnya, KMRJ mendesak agar Kapolri menginstruksikan Kapolda Riau mengusut tuntas kasus pemberian fee ilegal asuransi kredit di tubuh Bank Riau Kepri (BRK) dari pialang PT Global Risk Management (GRM).
Sebagaimana diberitakan, kasus fee asuransi kredit ini sudah menjadikan 3 orang mantan kepala cabang BRK sebagai pesakitan. Ketiganya divonis majelis hakim PN Pekanbaru hukuman masing-masing 2,5 tahun dan pidana denda Rp 100 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Fee asuransi kredit diberikan oleh PT Global Risk Management (GRM) selaku perusahaan pialang yang menjadi rekanan BRK dalam menggarap layanan asuransi kredit multiguna.
Berita Terkait: 'Tumbalkan' 3 Kepala Cabang, Bank Riau Kepri Justru Tetapkan Perusahaan Pemberi Fee Ilegal Jadi Pialang Tunggal, Formasi: Ini Sudah Mainan Atas!
Fakta persidangan mengungkap pengakuan mantan Kepala Perwakilan PT GRM Riau, Dicky Vera Soebasdianto. Kepada majelis hakim Dicky mengakui membagikan fee kepada seluruh pimpinan operasional BRK yang menjadi mitra perusahaannya. Jumlahnya diperkirakan sebanyak 40 kantor cabang/ cabang pembantu dan kedai BRK di wilayah Riau dan Kepri.
Adapun besaran fee yang disebut dengan istilah biaya marketing diberikan sebesar 10 persen dari total produksi premi asuransi kredit di tiap kantor cabang, cabang pembantu dan kedai BRK. Fee diberikan tiap akhir bulan yang disimpan di rekening atas nama Dicky. Namun buku tabungan dan kartu ATM dipegang oleh ketiga terdakwa.
Persidangan juga mengungkap kalau kebijakan pemberian fee ilegal diketahui oleh Direktur Utama PT GRM, Rinaldi. Soalnya, sebelum fee itu dibagikan, Dicky sudah menjalin komunikasi dengan Rinaldi ikhwal adanya bagi-bagi fee kepada para kepala cabang. Diduga, fee diberikan untuk memperbesar produksi premi asuransi, agar para pemimpin cabang BRK tetap menggaet GRM sebagai mitra pialang. Sebelumnya, para pemimpin cabang lebih memilih perusahaan pialang lain.
Kasus ini penyidikannya ditangani oleh Polda Riau dengan penerapan Undang-undang Perbankan.
Berita Terkait: Syahrial Abdi Jabat Komisaris Utama, Ini Hasil Lengkap RUPS Luar Biasa Bank Riau Kepri
Dalam pernyataan sikapnya yang diterima oleh SM News, Selasa siang, KMRJ menuding Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak efektif melakukan tugas pengawasan. Hal ini mengakibatkan tindak pidana perbankan yang menjerat ketiga mantan kepala cabang BRK terjadi secara berkelanjutan.
KMRJ juga mempertanyakan mengapa penegakan hukum hanya dilakukan terhadap 3 kepala cabang yang kasusnya sudah disidangkan. Padahal, berdasarkan fakta persidangan dan keterangan Dicky, puluhan kepala cabang dan pimpinan operasional BRK lainnya diduga juga menikmati aliran fee.
Berikut pernyataan sikap demonstrasi KMRJ di Jakarta siang tadi yang mencantumkan nama Andrian sebagai Korlap Aksi tersebut:
1. Meminta Kapolri untuk menginstruksikan Kapolda Riau membuka kasus penerimaan fee asuransi yang menjerat 3 kepala cabang BRK agar dibuka kembali karena diduga Polda Riau tebang pilih dalam kasus tersebut.
2. Meminta Kapolri untuk membongkar skandal fee asuransi kredit yang diduga melibatkan direksi BRK dan para kepala cabang BRK.
3. Kapolda Riau harus bertindak tegas, panggil dan periksa seluruh kepala cabang BRK.
4. Usut tuntas penerimaan fee 10 persen dari PT Global Risk Management (GRM).
5. Evaluasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena telah kecolongan.
6. Evaluasi total Bank Riau Kepri.
BRK Justru Tetapkan GRM Jadi Pialang Tunggal
Penetapan PT Global Risk Management (GRM) sebagai pialang tunggal asuransi kredit/ pembiayaan consumer oleh Bank Riau Kepri (BRK) memicu tanda tanya publik. Soalnya, GRM tersangkut dalam kasus pemberian fee asuransi kredit ilegal kepada 3 orang mantan kepala cabang BRK yang sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Aktivis antikorupsi mendesak agar kerjasama BRK dengan PT GRM dihentikan karena berisiko terhadap reputasi BRK. Pada sisi lain dengan penetapan GRM sebagai pialang tunggal mengindikasikan kultur BRK yang tidak prudent dan tidak menerapkan prinsip kehati-hatian perbankan.
"Ada apa di balik penetapan GRM sebagai pialang tunggal. Bukankah perusahaan tersebut dalam fakta persidangan telah memberikan fee ilegal kepada 3 terdakwa kacab Bank Riau Kepri? Ini tanda tanya besar kepada direksi dan manajemen BRK yang katanya ingin perubahan," kata Direktur Forum Masyarakat Bersih (Formasi) Riau, Dr Muhammad Nurul Huda, SH, MH dalam perbincangan dengan SM News, Kamis (2/12/2021) lalu.
Dosen Fakultas Hukum kampus terkemuka di Riau ini menyatakan, seharusnya direksi dan manajemen BRK memiliki garis dan prinsip yang tegas dalam menjalin kerja sama dengan mitra perusahaan lain. Dengan menjadikan GRM sebagai pialang asuransi kredit seakan menunjukkan kalau manajemen BRK memandang sebelah mata alias sepele dengan kasus fee asuransi kredit ilegal yang diberikan oleh GRM. Padahal, publik sudah memandang sinis dan negatif dengan terjadinya kasus tersebut.
"Sudah 3 orang kacab BRK menjadi tumbal kasus tersebut. Meski fakta persidangan menyebut seluruh kacab lain ikut menerima fee ilegal tersebut. Tapi, ironisnya seakan-akan GRM tidak salah dalam memberikan fee tersebut. Justru dijadikan sebagai pialang tunggal dari sebelumnya ada 4 perusahaan pialang," kata Huda sapaan doktor hukum termuda di Riau ini.
Kasus pemberian fee asuransi kredit secara berjamaah oleh PT GRM sudah divonis bersalah oleh PN Pekanbaru pada 7 Oktober lalu. Tiga orang terdakwa telah dijatuhi hukuman masing-masing 2,5 tahun penjara dan pidana denda Rp 100 juta subsidair 6 bulan kurungan. Ketiga terdakwa dan juga jaksa penuntut mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru.
Ketiga terdakwa tersebut adalah mantan Pemimpin BRK Cabang Pembantu Bagan Batu Kabupaten Rokan Hilir Nur Cahya Agung Nugraha, Pemimpin BRK Cabang Tembilahan Mayjafry serta Pemimpin BRK Cabang Pembantu Senapelan Hefrizal yang juga Pemimpin Cabang BRK Taluk Kuantan. Ketiganya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 49 Undang-undang Perbankan. Polda Riau sejak awal mengenakan Undang-undang Perbankan dalam kasus ini.
Sejak 1 Oktober lalu, BRK menetapkan PT GRM sebagai satu-satunya pialang asuransi kredit/ pembiayaan consumer. Hal tersebut berdasarkan surat khusus yang diteken oleh Pemimpin Divisi Konsumer BRK, Imran yang ditujukan kepada seluruh pemimpin cabang/ cabang pembantu dan kedai BRK.
Nurul Huda menyatakan perbankan harus menjaga reputasi dan kredibilitasnya di hadapan stakeholder. Dengan menjadikan GRM sebagai pialang tunggal, padahal perusahaan itu terkait dengan kasus fee ilegal, maka sama saja BRK menganggap tidak ada persoalan apa-apa yang terjadi.
Huda sejak awal menduga bahwa persoalan bagi-bagi fee kepada kepala cabang BRK adalah urusan teknis lapangan. Namun, persoalan kebijakan yang menjadi ranah pejabat pengambil kebijakan di BRK tidak diusut.
"Soal fee ke para kacab itu saya menduga hanya 'partai kecil', jatah anak buah. Tapi, pengusutan tidak sampai dilakukan ke jenjang pengambil kebijakan. Itu sudah mainan atas," kata Huda yang mendesak kasus ini dituntaskan dan diterapkan pidana pencucian uang (TPPU).
Pengakuan Kepala Perwakilan PT GRM Riau
Fakta persidangan mengungkap pengakuan mantan Kepala Perwakilan PT GRM Riau, Dicky Vera Soebasdianto. Kepada majelis hakim Dicky mengakui membagikan fee kepada seluruh pimpinan operasional BRK yang menjadi mitra perusahaannya.
Adapun besaran fee yang disebut dengan istilah biaya marketing diberikan sebesar 10 persen dari total produksi premi asuransi kredit di tiap kantor cabang, cabang pembantu dan kedai BRK. Fee diberikan tiap akhir bulan yang disimpan di rekening atas nama Dicky. Namun buku tabungan dan kartu ATM dipegang oleh ketiga terdakwa.
Persidangan juga mengungkap kalau kebijakan pemberian fee ilegal diketahui oleh Direktur Utama PT GRM, Rinaldi. Soalnya, sebelum fee itu dibagikan, Dicky sudah menjalin komunikasi dengan Rinaldi ikhwal adanya bagi-bagi fee kepada para kepala cabang. Diduga, fee diberikan untuk memperbesar produksi premi asuransi, agar para pemimpin cabang BRK tetap menggaet GRM sebagai mitra pialang. Sebelumnya, para pemimpin cabang lebih memilih perusahaan pialang lain.
Sepucuk surat yang diteken oleh Rinaldi dan Dicky mengungkap soal bagi-bagi fee tersebut. Namun, di persidangan Rinaldi membantahnya dan sebaliknya mempersalahkan anak buahnya Dicky. Rinaldi telah berupaya dikonfirmasi soal dugaan keterlibatan korporasi yang dikelolanya dalam kasus fee asuransi tersebut. Namun nomor Whatsapp-nya justru diblokir.
Desak Polda Riau Usut Penerima Fee Ilegal Lainnya
Kepolisian Daerah (Polda) Riau didesak untuk menuntaskan penanganan kasus pemberian fee asuransi kredit yang diduga diterima oleh puluhan kepala cabang/ cabang pembantu dan kedai Bank Riau Kepri (BRK) lainnya. Putusan hukum terhadap 3 mantan kepala cabang yang sudah divonis majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru mestinya telah menjadi dasar kuat mengusut semua pihak yang terlibat dalam kasus yang mencoreng citra BRK tersebut.
"Kalau penindakan tidak tuntas, maka akan menimbulkan tanda tanya besar bagi publik. Polda Riau yang pertama menangani kasus ini harus menuntaskannya, jangan dibuat gantung," kata Direktur Forum Masyarakat Bersih (Formasi) Riau, Dr Muhamad Nurul Huda SH, MH saat berbincang dengan SM News, Kamis (2/12/2021) sore tadi.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau ini menyayangkan jika kasus besar fee kredit BRK hanya berhenti sampai pada 3 orang saja. Apalagi, dalam fakta persidangan terungkap kalau perusahaan pialang asuransi PT Global Risk Management (GRM) memberikan fee secara rutin tiap bulan kepada seluruh pimpinan operasional BRK lainnya.
"Hukum jangan tebang pilih. Equality before the law. Justru publik akan curiga kalau hanya 3 orang saja yang diproses hukum, sementara diduga puluhan kepala cabang lainnya bebas dan bahkan masih menduduki jabatan empuk di BRK. Ini ironis sekali jika perkara ini berhenti hanya pada 3 orang, seakan-akan mereka jadi tumbal. Harusnya totalitas agar BRK bisa bersih," kata aktivis antikorupsi ini.
Nurul Huda menyatakan, Polda Riau seharusnya menggunakan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam kasus tersebut. Itu sebabnya, bagi pihak-pihak lain yang menerima fee asuransi kredit agar dikenakan Undang-undang Tipikor.
"Terapkan Undang-undang Tipikor kepada para penerima lainnya. Karena penerima merupakan pegawai BUMD, maka penerimaan secara ilegal masuk kategori korupsi yakni gratifikasi," tegas Nurul Huda.
Dengan penerapan UU Pemberantasan Tipikor, maka pemberi dan penerima bisa sama-sama dijerat.
Selain itu, Nurul Huda juga meminta agar Polda Riau melakukan pengusutan kasus fee asuransi ilegal ini dengan mengenakan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Hal tersebut untuk mengusut aliran penggunaan uang dari fee yang diterima oleh semua pihak terkait.
"Penyidikan TPPU sangat memungkinkan dan mestinya dilakukan pula oleh Polda Riau. Jangan berhenti hanya pada Tindak Pidana Perbankan. Harusnya ini tuntas diusut, jangan gantung," tegas Nurul Huda yang menyelesaikan disertasi tentang money laundring (pencucian uang hasil kejahatan) ini.
Fee Ilegal Diterima Seluruh Kepala Cabang
Dalam fakta persidangan yang digelar terbuka untuk umum, ketiga terdakwa mengakui kalau pemberian fee asuransi kredit berlaku untuk semua pimpinan operasional BRK kolega mereka yang lain. Hal tersebut disampaikan oleh salah satu terdakwa Nur Cahya saat ditanyai oleh majelis hakim.
Pengakuan Nur Cahya tersebut semakin mempertegas fakta persidangan sebelumnya. Dicky Vera Soebasdianto sebagai Kepala Perwakilan PT GRM Riau, saat bersaksi di pengadilan juga menyebut kalau seluruh kepala cabang/ cabang pembantu/ kedai BRK yang menjadi mitra PT GRM mendapatkan jatah fee premi asuransi 10 persen. Ia menyebut jumlahnya mencapai 50 orang yang bertugas di 40 kantor operasional BRK di wilayah Riau dan Kepulauan Riau.
Ketua majelis hakim yang menangani perkara ini, Dr Dahlan SH, MH pun sempat mempertanyakan pemberian fee secara berjamaah itu kepada seorang penyidik dari Polda Riau yang dimintai keterangannya di muka persidangan.
Kala itu, penyidik tersebut mengakui memang ada aliran fee asuransi kredit kepada pimpinan operasional BRK lainnya. Data tersebut pernah dilihatnya dari Smart Credit, yakni sistem aplikasi pelaporan yang dipakai oleh PT GRM dalam menghitung produksi premi asuransi dari tiap kantor cabang/ cabang pembantu dan kedai BRK yang menjadi mitra mereka.
Namun sayangnya, dalam putusan majelis hakim tidak mencantumkan secara lengkap keterangan Dicky dan Nur Cahya tersebut dalam berkas putusan. Tapi, video rekaman persidangan masih tersimpan ikhwal tanya jawab majelis hakim terkait pemberian fee asuransi kredit kepada sejumlah pimpinan operasional BRK lainnya yang belum tersentuh hukum hingga saat ini. (*)