Polda Riau Didesak Usut Aktor Lain Skandal Dugaan Pembobolan Rekening Nasabah BJB Pekanbaru
SM News, Pekanbaru - Kepolisian Daerah (Polda) Riau diminta untuk melanjutkan proses penyelidikan skandal dugaan pembobolan rekening nasabah Bank Jabar Banten (BJB) cabang Pekanbaru. Kasus yang saat ini masih menyeret dua orang di meja hijau Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru dinilai sebagai kejahatan perbankan (fraud) yang serius sehingga harus diusut tuntas setiap pihak yang terlibat di internal perbankan tersebut.
Pakar hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Riau, Erdiansyah SH, MH menyatakan kasus pembobolan rekening nasabah BJB Pekanbaru menjadi atensi publik. Selain jumlah uang nasabah yang dirugikan cukup besar, namun efek jerah dari penanganan kasus ini harus diterapkan. Tidak boleh ada satu aktor pun yang dapat lolos dari tanggung jawabnya atas dugaan fraud tersebut.
"Kejahatan perbankan tidak berdiri sendiri. Biasanya aktornya bekerja cukup sistematis, melibatkan sejumlah orang yang memiliki kewenangan di dalam bank tersebut. Apalagi perbankan memiliki prosedur kerja yang rigid dan jelas. Fraud adalah kejahatan serius yang harus diusut tuntas," kata Erdiansyah dalam perbincangan dengan SM News, Senin (6/12/2021) sore.
Berita Terkait: Manajer BJB Pekanbaru Indra Osmer Dituntut 8 Tahun Penjara, Kasus Pembobolan Rekening Nasabah Miliaran Rupiah
Sejak awal Erdiansyah berpendapat kalau kasus dugaan pembobolan rekening nasabah BJB masuk dalam kategori kejahatan korporasi. Sehingga tanggung jawab renteng para pejabat perbankan daerah tersebut tak bisa dilepaskan begitu saja.
"Jelas sekali struktur, mekanisme, kewenangan dan tanggung jawab para pegawai perbankan. Bobolnya kasus ini menjadi tanggung jawab kolektif para pengurus dan pegawai bank terkait," kata Erdiansyah.
Apalagi dalam fakta persidangan, kata Erdiansyah sejumlah pegawai dan pejabat BJB Pekanbaru mengakui telah lalai dan tidak menjalankan tugasnya sesuai prosedur. Misalnya soal mekanisme pencairan cek yang bermasalah, namun uang dapat dicairkan. Proses verifikasi berkas pencairan cek juga dilakukan sore hari saat jam operasional bank akan tutup, yang semestinya verifikasi pencairan cek dilakukan seketika bersamaan dengan pencairan uang.
"Fakta-fakta persidangan merupakan petunjuk yang efektif dalam mengusut dan mengembangkan kasus ini pada aktor-aktor lain yang terlibat. Saya meyakini Polda Riau pasti memiliki trik dan cara dalam mengusutnya. Publik memberi atensi dari kasus ini, agar diungkap terang benderang," kata Erdiansyah yang kerap menjadi saksi ahli dalam kasus-kasus pidana di Riau.
Diwartakan sebelumnya, dua orang terdakwa sudah dituntut hukuman oleh jaksa penuntut. Yakni mantan manajer konsumer Bank Jabar Banten (BJB) Pekanbaru, Indra Osmer Gunawan dituntut hukuman 8 tahun penjara. Sementara seorang terdakwa lain yang merupakan teller BJB Pekanbaru, Tarry Dwi Cahya dituntut hukuman lebih tinggi yakni 10 tahun penjara. Keduanya juga dikenakan pidana denda masing-masing sebesar Rp 10 miliar subsidair 6 bulan kurungan penjara.
Berita Terkait: Bersaksi di Kasus Pembobolan Rekening Nasabah BJB Pekanbaru, Pejabat OJK Tegaskan Bank harus Lindungi Nasabah
Tuntutan terhadap teller Tarry lebih tinggi dari Indra Osmer, meski jabatannya jauh rendah. Diduga, sikap Tarry yang banyak membantah dan tidak mengakui perbuatannya membuat tuntutan tersebut lebih tinggi. Peran Tarry sebenarnya diharapkan dapat menguak misteri kasus perbankan yang menghebohkan jagat hukum nasional ini.
Indra Osmer menurut jaksa penuntut diyakini terbukti secara bersama-sama bersalah melakukan tindak pidana perbankan sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan alternatif pertama. Yakni melanggar pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-undang RI nomor: 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sementara menurut jaksa, terdakwa Tarry Dwi Cahya terbukti bersalah sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan kombinasi kesatu pertama melanggar pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Serta dakwaan kedua yakni melanggar pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU momor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Sidang pembacaan vonis kedua terdakwa akan dilaksanakan pekan depan.
Perkara ini dilaporkan oleh Arif Budiman ke Polda Riau pada 2019 lalu. Dalam laporannya Arif mengaku telah kehilangan dana mencapai Rp 26 miliar dalam kurun waktu tahun 2014-2018 dari rekening giro sejumlah perusahaannya yang disimpan di BJB Pekanbaru. Namun, dalam proses penyidikan nilai kerugian yang ditetapkan penyidik Polda Riau maupun jaksa Kejati Riau hanya sebesar Rp 3,02 miliar.
Adapun modus dugaan kejahatan perbankan ini sedikitnya dilakukan dalam dua cara. Yakni kedua terdakwa diduga melakukan pencairan cek dana perusahaan dengan memalsukan tanda tangan Arif dan direktur perusahaan yang dimiliki Arif.
Selain itu, terdakwa Indra juga diduga melakukan pengambilan dana dari giro perusahaan Arif dan memindahkannya ke rekening kolega terdakwa. Proses pencairan cek dan pemidahbukuan rekening tanpa diketahui dan dikonfirmasi oleh Arif maupun direktur perusahaan yang dimiliki Arif.
Indra diduga mengutak-atik isi rekening giro sejumlah perusahaan, tanpa persetujuan Arif dan para direktur perusahaan milik Arif. Dalam menjalankan aksinya, terdakwa memerintahkan sejumlah pegawai BJB Pekanbaru untuk melakukan penarikan cek, meski tidak diketahui oleh korban.
Fakta Persidangan dan Dugaan Transaksi Ilegal Lain
Sejumlah fakta-fakta telah terungkap dan terbuka disampaikan parapihak dalam persidangan. Mulai dari tidak adanya CCTV dengan alasan CCTV rusak, dugaan pemalsuan tanda tangan pemilik rekening perusahaan yang dikelola Arif Budiman melalui sejumlah direkturnya, hingga pemindah-bukuan sejumlah uang dari rekening milik perusahaan Arif tanda diketahui korban.
Fakta lain yang terungkap yakni soal proses verifikasi pencairan cek yang dilakukan sore hari, jelang tutupnya jam operasional bank, bukan saat pencairan cek. Uang diduga lebih dulu dicairkan, sebelum proses verifikasi cek dilakukan.
Selain itu, ditemukan juga formulir cek yang salah tulis, namun ironisnya cek tersebut dapat dicairkan. Majelis hakim yang diketuai langsung oleh Ketua PN Pekanbaru, Dr Dahlan SH, MH berkali-kali mengaku heran dengan proses otorisasi cek oleh pejabat BJB cabang Pekanbaru yang diduga tidak berjalan dengan baik, sehingga aksi dugaan pembobolan rekening nasabah ini bisa berlanjut dalam jangka panjang.
Dua pejabat otorisasi pencairan cek di BJB cabang Pekanbaru, Sri Nola selaku supervisor dan Sonny Budi Hariyadi selaku manajer operasional di persidangan mengaku telah melakukan otorisasi pencairan cek. Namun, keduanya juga mengaku verifikasi berkas cek dilakukan sore hari saat jam operasional kantor akan tutup.
Pada perbankan modern lain dengan prosedur kehati-hatian yang tinggi, proses verifikasi berkas pengajuan cek biasanya dilakukan saat itu juga: seketika sebelum cek diuangkan, bukan ditunggu sampai sore dan uang dicairkan lebih dulu.
Dalam keterangannya di muka persidangan, Sri Nola dan Sonny Budi Hariyadi juga pernah melimpahkan kesalahan tersebut kepada terdakwa teller Tarry Dwi Cahya. Keduanya mengaku kalau verifikasi cek merupakan tugas dari Tarry.
Hasil uji laboratorium forensik menyebut sejumlah tanda tangan direktur perusahaan yang dikelola oleh Arif Budiman tidak identik alias diduga dipalsukan. Hal inilah yang diduga membuat pencairan cek tidak diketahui oleh korban dan direktur perusahaan yang dikelola korban.
Satu temuan lain yakni adanya perbedaan data penyidikan yang dilakukan oleh Polda Riau. Saat kasus ini disidik, ditetapkan ada sebanyak 9 lembar transaksi cek diduga secara melawan hukum yang pencairannya mengakibatkan kerugian bagi nasabah korban.
Adapun 9 transaksi cek tersebut yakni meliputi:
1. Cek asli penarikan CV Palem Gunung Raya pada 31 Mei 2016 senilai Rp 200 juta.
2. Cek asli penarikan CV Fyat Motor pada 3 Januari 2017 senilai Rp 70.800.000,-
3. Cek asli penarikan CV Rizki Pratama pada 22 Juni 2017 senilai Rp 500 juta.
4. Cek asli penarikan CV Putra Bungsu pada 21 Agustus 2017 sebesar Rp 150 juta.
5. Cek asli penarikan CV Fyat Motor pada 13 Oktober 2017 senilai Rp 250 juta.
6. Cek asli penarikan CV Fyat Motor pada 16 Oktober 2017 senilai Rp 130 juta.
7. Cek asli penarikan CV Rizki Pratama pada 5 Desember 2017 sebesar Rp 1,5 miliar
8. Cek asli penarikan CV Rizki Pratama pada 19 Desember 2017 senilai Rp 1,25 miliar
9. Cek asli penarikan CV Palem Gunung Raya pada 30 Desember 2017 senilai Rp 6,265 miliar
Dari hasil penyidikan Polda Riau tersebut ditetapkan jumlah kerugian korban sebesar Rp 3.200.800.000,-. Jumlah tersebut sebagai hasil rekap kerugian CV Palem Gunung Raya sebesar Rp 400 juta, CV Fyat Motor sebesar Rp 400.800.000,-, CV Putra Bungsu sebesar Rp 150 juta dan CV Rizki Pratama sebesar Rp2.250.000.000,-.
Fakta dan angka hasil penyidikan versi Polda Riau tersebut diduga masih merupakan sebagian dari transaksi mencurigakan yang terjadi di rekening perusahaan yang dikelola oleh Arif Budiman.
Hal tersebut terkait fakta munculnya surat yang ditandatangani oleh mantan Branch Manager BJB cabang Pekanbaru, Rachmat Abadi pada 20 Maret 2020 lalu. Dalam surat yang ditujukan BJB kepada Arif Budiman tersebut, terungkap ada sebanyak 22 transaksi. Pihak BJB dalam surat tersebut bersedia mengganti kepada Arif Budiman sebesar Rp 3.025.800.000,-.
Pihak BJB menawarkan uang pengganti itu dengan syarat Arif Budiman mencabut laporan/ pengaduan dan gugatannya baik secara perdata dan pidana. Selain itu syarat lain yakni Arif diminta menerima dan mengakui seluruh transaksinya. Namun Arif menolak tawaran BJB Pekanbaru tersebut hingga kasus ini naik ke meja hijau.
Sebanyak 22 transaksi yang tertuang dalam surat BJB cabang Pekanbaru tersebut pernah disampaikan ke majelis hakim. Kala itu hakim sempat tercengang, mengapa data tersebut tidak dimasukkan dalam berkas penyidikan.
Dari sebanyak 22 data transaksi versi surat BJB cabang Pekanbaru tersebut, menurut Arif Budiman sedikitnya hanya 7 transaksi yang akhirnya masuk dalam penyidikan Polda Riau. Sementara, sisanya tidak dimasukkan ke dalam berkas perkara.
Sebaliknya dari 9 data transaksi versi penyidikan, 2 transaksi cek tidak masuk ke dalam data 22 transaksi yang dikeluarkan oleh BJB Pekanbaru. Kedua transaksi tersebut yakni penarikan cek pada 22 Juni 2017 sebesar Rp 500 juta dari CV Rizki Pratama dan penarikan cek sebesar Rp 1,5 miliar dari CV Rizki Pratama pada 5 Desember 2017.
Adapun sejumlah transaksi lain dalam surat BJB cabang Pekanbaru yang diduga tidak masuk dalam berkas penyidikan, yakni meliputi:
1. Penarikan cek CV Palem Gunung Raya pada 6 Mei 2014 sebesar Rp 150 juta
2. Penarikan cek CV Palem Gunung Raya pada 19 September 2014 sebesar Rp 100 juta
3. Penarikan cek CV Rizki Pratama pada 20 November 2014 sebesar Rp 25 juta
4. Penarikan cek CV Putra Bungsu pada 12 Desember 2014 sebesar Rp 500 juta (Rp 100 juta)
5. Penarikan cek CV Hikmah pada 15 Desember 2014 sebesar Rp 150 juta
6. Penarikan cek CV Hikmah pada 16 Desember 2014 sebesar Rp 250 juta (Rp 125 juta)
7. Penarikan cek PT Yonny Group pada 4 Agustus 2015 sebesar Rp 447 juta (Rp 100 juta)
8. Penarikan cek PT Yonny Group pada 26 Agustus 2015 sebesar Rp 50 juta
9. Penarikan cek CV Putra Bungsu pada 13 Oktober 2015 sebesar Rp 50 juta
10. Penarikan cek CV Fyat Motor pada 5 Januari 2016 sebesar Rp 475 juta.
11. Setoran tunai Arif Budiman pada 29 Desember 2017 sebesar Rp 1 miliar (Rp 500 juta).
Kepada SM News, Arif Budiman mengaku akan menuntut keadilan dari transaksi-transaksi yang menurutnya telah merugikan dirinya dan perusahaan yang dikelolanya.
"Saya bermohon hati nurani hakim dalam memutus perkara ini. Semoga rasa keadilan dapat kami terima," kata Arif, Selasa (23/11/2021) lalu.
Pihak BJB Pekanbaru sejak kasus ini bergulir tak kunjung bersedia untuk dikonfirmasi. Sejumlah pejabatnya yang hadir dari pusat maupun BJB cabang Pekanbaru menolak untuk memberikan keterangan kepada wartawan. Sebaliknya, di tengah kasus ini sedang bergulir di persidangan dua kali dalam seminggu, pihak BJB gencar menyebar berita citra positif di media-media lokal di Pekanbaru lewat berita advertorial.
Terdakwa Akui Pencairan Cek Tak Sesuai Prosedur
Mantan teller BJB cabang Pekanbaru, Tarry Dwi Cahya mengakui sejumlah pencairan cek atas nama korban Arif Budiman dan perusahaannya tidak sesuai prosedur. Ironisnya, meski tidak prosedural dan ditemukan sejumlah kesalahan dalam berkas pengajuan, namun cek dapat dicairkan.
Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (15/11/2021) lalu, majelis hakim yang diketuai oleh Dr Dahlan SH, MH memeriksa terdakwa Tarry. Hakim mencecar Tarry dengan sejumlah dokumen pencairan cek yang diduga bermasalah. Pencairan cek tersebut diduga dilakukan dengan tanda tangan nasabah yang tidak identik menurut hasil laboratorium forensik kepolisian.
Hakim Dahlan bertanya soal cek yang ditulis salah yakni dengan angka tulisan "Tujuh Puluh Ribu Delapan Juta Rupiah". Hakim mempertanyakan berapa sebenarnya angka uang dalam tulisan di lembaran cek tersebut. Tarry sempat terdiam dan tertawa kecil. Ia akhirnya mengakui kalau dirinya khilaf dan tidak teliti.
"Jadi kalau cek salah tulis begini, apakah uangnya bisa cair?", tanya hakim Dahlan.
Tarry menyatakan sebenarnya sesuai ketentuan cek tersebut harus diperbaiki lebih dulu. Namun hal tersebut tidak dilakukan perbaikan, meski uang telah dicairkan.
"Sebenarnya tidak bisa dicairkan, Yang Mulia. Harus diperbaiki dulu," kata Tarry.
Kasus dugaan pembobolan dana nasabah atas nama pelapor Arif Budiman mendudukkan 2 orang sebagai terdakwa yakni mantan Manager Customer BJB Pekanbaru, Indra Osmer Hutahuruk dan Tarry Dwi Cahya yang merupakan teller di perbankan BUMD milik Pemprov Jabar dan Banten tersebut.
Dalam keterangannya di hadapan majelis hakim, Tarry juga mengakui kalau transaksi bermasalah pencairan cek dilakukan tanpa verifikasi di awal pengajuan cek. Justru verifikasi dilakukan pada sore hari ketika operasional kantor akan tutup.
"Sejak saya jadi teller memang seperti itu. Verifikasi dilakukan sore hari, Yang Mulia," kata Tarry.
Lagi-lagi Tarry mengakui kalau sebenarnya verifikasi harus dilakukan saat proses pencairan cek, bukan setelah sore hari.
Tarry juga mengakui kalau seluruh cek yang diduga bermasalah tersebut dilakukan otorisasi oleh dua atasannya. Kedua atasannya tersebut yaknk Sri Nola selaku supervisor dan Sonny selaku manajer operasional. Sri Nola dan Sonny sudah diperiksa hakim dalam persidangan bulan lalu. Keduanya mengaku memang melakukan otorisasi pencairan cek yang kemudian diketahui bermasalah.
Tarry juga mengaku pernah mencairkan cek namun uangnya diambil oleh Indra Osmer.
Hakim mencecar mengapa uang diberikan kepada Indra Osmer, bukan kepada Arif Budiman selaku pemilik rekening.
"Sebenarnya itu gak boleh, Yang Mulia," kata Tarry.
Bank Harus Lindungi Nasabah
Sebelumnya pekan lalu, sidang kasus dugaan pembobolan rekening nasabah menghadirkan Pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pusat, Prio Anggoro sebagai ahli. Dalam pendapatnya ahlinya, Prio menegaskan bahwa setiap perbankan diwajibkan untuk melindungi nasabah dan mencegah nasabah dari kerugian.
"Setiap pelaku usaha jasa keuangan (perbankan) wajib mencegah perbuatan penyimpangan dan pelanggaran. Tujuannya agar tidak ada perbuatan yang merugikan nasabah," kata Prio Anggoro di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (1/11/2021).
Prio adalah Pemeriksa Eksekutif Senior pada Departemen Pemeriksaan Khusus Perbankan OJK Pusat. Prio menegaskan, ketentuan internal bank maupun praktik perbankan umumnya mewajibkan petugas bank untuk melakukan konfirmasi kepada pemilik rekening (nasabah) dalam setiap transaksi apapun itu.
"Bank harusnya dapat memastikan pemilik dana datang dan disaksikan petugas bank. Jika tidak hadir tentunya ada mekanisme lain. Namun harus dipastikan adanya konfirmasi dari pemilik rekening. Tentu bank punya aturan soal itu. Silahkan saja cek aturan bank tersebut," tegas Prio.
Prio Anggoro menegaskan, sesuai ketentuannya, petugas bank wajib melakukan konfirmasi kepada pemilik rekening dalam setiap transaksi yang dilakukan. Menurut Prio, seharusnya bank mengonfirmasi ke pemilik rekening untuk memastikan terjadinya transaksi secara benar.
"Untuk memastikan tanda tangan tersebut, petugas bank wajib konfirmasi ke pemilik rekening. Itu ada di prosedur bank," kata Prio.
Prio juga menyatakan dalam ketentuan bank ada mekanisme dan pejabat yang berkaitan dengan sistem kontrol transaksi. Termasuk juga untuk memastikan setiap transaksi memiliki bukti fisik yang benar dan akurat sesuai prinsip kehati-hatian.
"Bank tersebut memiliki ketentuan. Buka saja isi ketentuannya akan diketahui siapa yang bertanggungjawab. Transaksi cek itu harus ada proses cek fisik," tegas Prio.
Menurut ahli Prio, petugas bank wajib melakukan konfirmasi yang dilakukan bank sesuai job description. Pihak bank harus konfirmasi terlebih dahulu untuk melengkapi suatu dokumen agar transaksi sah," kata Prio.
Ia menegaskan konfirmasi ke pemilik rekening adalah upaya mitigasi resiko untuk menghindari kerugian nasabah maupun bank.
"Konfirmasi harus dilakukan pihak bank. Wajib konfirmasi," kata Prio.
Prio juga menyebut soal keberadaan CCTV sebagai bagian dari upaya mitigasi bank.
"CCTV adalah bagian dari mitigasi bank," jelas Prio.
Sebelumnya dalam kesaksian sejumlah pejabat BJB Pekanbaru menyebutkan kalau CCTV di kantor BJB Pekanbaru, Jalan Sudirman mengalami kerusakan. Back up data CCTV pun disebut tidak ada.
Rekaman Pembicaraan Sudah 'Siapkan' Pengadilan
Kasus dugaan pembobolan dana nasabah Bank Jabar Banten (BJB) cabang Pekanbaru dengan korban Arif Budiman, terus memunculkan fakta-fakta baru. Bila sebelumnya pejabat BJB Pekanbaru, Sonny Budi Hariyadi selaku manajer operasional mengaku kalau pihaknya tidak memiliki rekaman CCTV, namun pengakuannya tersebut dalam persidangan sudah terbantah.
Adalah mantan petugas CCTV BJB Pekanbaru, Riztino yang membuka tabir yang diduga dipendam oleh pihak BJB Pekanbaru. Riztino kepada majelis hakim dalam persidangan dua pekan lalu menyatakan kalau rekaman CCTV sudah diserahkan kepada Sonny Budi Haryadi.
Ternyata, pengakuan Riztiono tersebut tak hanya klaim semata. Sebuah rekaman pembicaraan via handphone diduga komunikasi antara Riztino dengan Sonny pun beredar. Dalam pembicaraan tersebut, diduga seorang bernama Sonny meminta agar Riztino tidak menyerahkan hasil backup rekaman data CCTV kepada siapapun, kecuali kepada pihak BJB.
Riztino dalam pembicaraan telepon tersebut menyatakan kepada seorang diduga Sonny kalau seluruh data yang orisinil sudah ia serahkan ke pihak BJB. Namun diakuinya masih ada data kopian yang ia pegang. Orang yang diduga Sonny meminta agar sisa data kopian yang ada pada Riztino diserahkan kepada BJB.
Dalam pembicaraan tersebut, diduga seorang yang bernama Sonny menyatakan kalau masalah perkara dapat dibereskan oleh BJB. Bahkan ia sempat menyebut kalau BJB pernah mengeluarkan uang Rp 5 miliar untuk membereskan kasus.
"Kemarin aja, kasus yang di daerah mana, Rp 5 miliar aja kita beresin. Uang berapa, nggak masalah bagi BJB", kata orang yang diduga Sonny dalam rekaman itu. Soal uang Rp 5 miliar tersebut, orang diduga bernama Sonny mengaitkannya dengan sebuah institusi hukum.
Tak hanya itu, orang diduga Sonny tersebut sesumbar kalau untuk kasus yang terjadi di Pekanbaru sudah disiapkan oleh BJB. Ia bahkan menyebut kalau urusan di pengadilan pun sudah disiapkan.
"Pekanbaru sudah kita siapin semuanya, baik pengadilan. Mau ngadukan di Pengadilan, silakan. Kita sudah siapin semuanya," kata orang diduga Sonny tersebut kepada Riztino dalam rekaman pembicaraan tersebut.
SM News belum dapat mengonfirmasi Sonny maupun pihak BJB Pekanbaru ikhwal adanya rekaman pembicaraan tersebut. Namun, Riztino sudah mengakui kalau suara dalam rekaman tersebut adalah dirinya.
Perihal adanya rekaman pembicaraan antara orang diduga Sonny dengan Riztino sudah pernah disampaikan jaksa penuntut kepada majelis hakim yang diketuai Dr Dahlan SH, MH. Namun, saat itu hakim Dahlan tidak berkenan membuka isi rekaman percakapan tersebut. Menurut hakim Dahlan, rekaman percakapan mesti diuji lebih dulu keasliannya di laboratorium forensik.
"Silahkan saja ajukan, tapi divalidasi dulu keasliannya di laboratorium forensik. Gak apa-apa," kata hakim Dahlan dalam, persidangan Senin (18/10/2021) lalu.
Hakim Dahlan dalam sejumlah persidangan berkali-kali mempertanyakan soal rekaman CCTV, khususnya di ruangan pelayanan pencairan cek. Ia bahkan sempat mengungkapkan rasa curiga ada hal yang sengaja ditutupi oleh pihak manajemen BJB.
"Kok BJB perbankan yang sebesar itu tak punya back up data. Kok aneh ya. Apa semua kantor BJB seperti itu tak punya back up data?," kata hakim Dahlan, dalam persidangan pemeriksaan saksi dari internal BJB.
Hakim Dahlan pun menyatakan aneh jika seandainya ada kegiatan kejahatan yang tidak terpantau oleh bank ketika CCTV rusak dan back up data tak ada.
"Jadi kalau ada perampok, bagaimana itu? Gimana polisi bisa mengungkap?," tanya hakim Dahlan lagi.
Tiga Pejabat BJB Pekanbaru Dinilai Bertanggung Jawab
Tiga pejabat Bank Jabar Banten (BJB) Pekanbaru dinilai ikut bertanggung jawab dalam kasus dugaan pembobolan dana nasabah atas nama korban Arif Budiman. Ketiganya yakni Kepala Cabang BJB Pekanbaru periode 2014-2018 Irwan Triherda Permana, manager operasional Sonny Budi Hariadi dan supervisor operasional Sri Nola.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Riau, Erdiansyah SH, MH menyatakan kejahatan perbankan berlangsung secara sistemik. Pelakunya tidak mungkin berdiri sendiri. Perbuatan kejahatan perbankan (fraud) kerap melibatkan sejumlah pihak di internal bank, terutama pejabat yang yang memiliki kewenangan tertentu di atasnya.
"Kejahatan perbankan itu tidak bisa berdiri tunggal, tapi terjadi dalam sistem. Pengendali sistem perbankan itu ada beberapa orang. Ini yang harus dilakukan penyelidikan dan pemeriksaan," kata Erdiansyah, Sabtu (9/10/2021) lalu.
Menurut Erdiansyah, seorang teller tidak mungkin dapat membobol dana nasabah secara berkelanjutan. Teller adalah pegawai level dasar apalagi dalam urusan pencairan cek.
"Cek tak mungkin cair tanpa verifikasi dan otorisasi dari pejabat bank tersebut. Sudah pasti ada otorisasi dari pejabat yang lebih tinggi dan berwenang untuk itu," kata Erdiansyah.
Apalagi dalam fakta persidangan menyebutkan kalau sebenarnya tidak ada kewenangan dari terdakwa Indra Osmer Hutahuruk selaku mantan manager Customer BJB Pekanbaru dalam melakukan pencairan cek. Namun faktanya pencairan cek terus berlanjut diduga dengan pemalsuan tanda tangan Arif dan sejumlah direktur perusahaan milik Arif.
Dalam fakta persidangan, supervisor operasional BJB Pekanbaru Sri Nola mengaku kalau dirinya tidak melakukan verifikasi berkas pengajuan pencairan cek. Ia mengklaim verifikasi berkas cek merupakan tugas Sri Nola sebagai teller. Meski demikian ia mengaku telah melakukan otorisasi pencairan cek tersebut sehingga cek kemudian bisa dicairkan.
Bahkan dalam sebuah cek yang tertulis dengan nominal salah dan angka tak jelas, Sri Nola mengaku tetap melakukan otorisasi sehingga cek kemudian dicairkan. Dalam kertas cek tersebut tertulis secara sembarangan dengan nomimal terbilang 'tujuh puluh ribu delapan juta rupiah'. Cek tersebut kemudian diotorisasi pencairannya oleh Sri Nola meski tak jelas berapa angka sebenarnya. Sejumlah cek 'bermasalah' lainnya yang tak memuat tanggal dan angka nominal cek juga dapat dicairkan yang diduga membuat rekening giro korban Arif Budiman bobol.
Setali tiga uang, manager operasional Sonny Budi Hariadi yang merupakan atasan Sri Nola dalam kesaksiannya juga menuding kalau verifikasi cek adalah tanggung jawab terdakwa teller Tarry. Bahkan yang lebih mengagetkan Sonny ternyata tidak membubuhkan paraf saat cek dicairkan. Pencantuman paraf justru dilakukan sore hari setelah kantor hampir tutup dan cek lebih dulu cair. Modus seperti ini terjadi berulang-ulang.
Erdiansyah menyatakan, penyidik kepolisian seharusnya dapat menindaklanjuti fakta-fakta persidangan tersebut. Menurutnya, keterlibatan 3 pejabat BJB dia tas harus dimintai pertanggungjawabannya secara hukum.
"Aparat hukum harusnya melakukan penyelidikan agar kasus ini terungkap secara terang benderang," tegas Erdiansyah.
Bahkan, Erdiansyah menyebut kasus ini sebagai kejahatan korporasi perbankan. Penilaiannya berdasarkan analisis bahwa kasus ini berlangsung secara sistemik, berkelanjutan dan terjadi dalam ruang lingkup tanggung jawab perbankan.
"Saya menilai ini masuk kategori kejahatan korporasi perbankan. Perbankan harus bertanggung jawab dalam kasus ini. Aparat harus melakukan penyelidikan baru dalam kasus korporasi perbankan ini," kata Erdiansyah. (*)