Diguncang Resesi Seks, Ini Penyebab dan Dampaknya Bagi Masa Depan China
SM News, Beijing - Para ahli demografi sudah lama memperkirakan China akan mulai mengalami penurunan populasi dalam beberapa dekade ke depan. Namun, beberapa ahli khawatir fenomena itu mungkin datang "lebih cepat dari yang diperkirakan".
"Dari perkiraan awal kami berdasarkan data sementara, (pada 2021) kemungkinan besar akan sekitar atau bahkan di bawah 10 juta kelahiran. Tentu saja, dengan jumlah itu, berita terbesarnya adalah China mungkin sedang mengalami penurunan populasi," kata James Liang, profesor riset ekonomi di Universitas Peking di Beijing, dikutip dari CNN International, dikutip Minggu (5/12/2021).
Liang mengatakan ini menjadi kabar buruk bagi China. Negara ini bahkan bisa menjadi seperti Singapura dan Korea Selatan (Korsel) yang mengalami penurunan angka kelahiran anak dan resesi seks.
"Jika Anda melihat kota-kota besar di China, seperti Shanghai dan Beijing, tingkat kesuburan mereka sudah terendah di dunia, sekitar 0,7," katanya.
Liang juga mengatakan populasi yang menua membuat tenaga kerja menyusut sehingga sangat mengganggu stabilitas ekonomi dan sosial. Tentu hal ini akan merugikan China secara finansial.
"Kekhawatiran terbesar adalah China akan kehilangan keunggulan skalanya, menjadi pasar terbesar untuk hampir semua hal. China memiliki rantai pasokan yang sangat efisien karena skalanya. Tapi tanpa anak muda, kapasitas inovasi mungkin tidak akan sebesar dahulu."
Kekhawatiran yang sama juga disampaikan oleh He Yafu, ahli demografi independen di Guangzhou. Lewat media sosialnya, dia menulis bahwa penduduk China memiliki kemungkinan besar memasuki pertumbuhan negatif pada tahun 2021.
Pada Mei 2021, mengikuti hasil sensus nasional, Yafu memperkirakan populasi China akan mulai menyusut pada 2022.
"Tapi sekarang, saya pikir ramalan saya dari setengah tahun lalu terlalu optimis," tulisnya.
Berdasarkan data terbaru yang diterbitkan oleh pemerintah daerah di China, Yafu memperkirakan jumlah bayi yang baru lahir antara 9,5 juta dan 10,5 juta tahun ini. Mengingat ada rata-rata sekitar 10 juta kematian setiap tahun dalam beberapa tahun terakhir.
"Jika jumlah bayi baru lahir mendekati batas bawah prediksi, itu berarti populasi pasti akan mencatat pertumbuhan negatif," tulisnya.
Pemerintah China juga tidak tinggal diam. Guna menahan penurunan angka kelahiran, China mengizinkan pasangan yang sudah menikah untuk memiliki dua anak pada 2015 silam. Namun karena semakin turunnya angka kelahiran, China kembali melonggarkan kebijakan tiga anak tahun ini.
Selama beberapa dekade, pemerintah daerah telah memaksa jutaan wanita untuk menggugurkan kandungan di bawah kebijakan satu anak. Sekarang, mereka mengeluarkan serangkaian slogan dan kebijakan propaganda untuk mendorong pasangan agar memiliki lebih banyak anak. Insentif umum termasuk pemberian uang tunai, subsidi real estate dan perpanjangan cuti hamil.
Namun saat aturan diubah, masyarakat yang menua juga memberikan tekanan luar biasa pada generasi muda China, yang sebagian besar menunda bahkan menolak pernikahan. Tahun lalu, buku tahunan Biro Statistik Nasional mencatat pendaftaran pernikahan menurun untuk tahun ketujuh berturut-turut menjadi 8,1 juta, turun 40% dari puncaknya pada 2013.
Sebagaimana diketahui, tingkat kelahiran China pada tahun 2020 telah mencapai rekor terendah. Hanya ada 8,5 kelahiran per 1.000 orang di China tahun lalu, menurut buku tahunan Biro Statistik Nasional pada akhir November.
Sensus nasional sekali satu dekade negara itu juga mengungkapkan bahwa hanya 12 juta bayi yang lahir tahun lalu. Angka ini turun 18% dari 14,65 juta pada 2019, pada Mei lalu. (*)