Citra dan Marwah Polisi Babak Belur Dihajar Skandal Tewasnya Brigadir J, Mampukah Kapolri Mengamankan?
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Upaya pengungkapan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J mulai menemui titik terang seiring pengakuan terbaru Bharada E yang mengungkap perintah atasan dan keterlibatan orang lain dalam kasus di rumah dinas bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan, ini.
Presiden Joko Widodo telah tegas meminta Polri menuntaskan kasus ini secara terang benderang agar citra kepolisian tidak hancur di mata masyarakat.
"Arahan Presiden sehingga tentunya Presiden mengharapkan ini bisa terselesaikan supaya citra Polri tidak babak belur seperti saat ini," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (8/8/2022).
Bharada Richard Eliezer atau Bharada E yang jadi tersangka dalam kasus kematian Brigadir J mengubah keterangannya kepada penyidik.
Sejak awal kasus diungkap, polisi mengklaim Brigadir Yosua tewas dalam insiden saling tembak dengan Bharada E. Penembakan itu disebut-sebut bermula dari dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Brigadir J terhadap istri Sambo, Putri Candrawathi.
Bharada E, melalui pengacaranya Muhammad Boerhanuddin, mengatakan tak ada baku tembak dalam insiden yang buat nyawa Brigadir J melayang. Bhadara E juga mengaku pistol Brigadir J sengaja ditembakkan ke arah dinding supaya terkesan ada peristiwa baku tembak.
Selain itu, Boerhanuddin mengatakan Bharada E mengaku menembak Brigadir J karena ada tekanan dari atasan. Namun, ia tak mengatakan siapa atasan yang dimaksudnya itu.
"Dari BAP dan keterangan kepada kuasa hukum, dia mendapatkan tekanan dapat perintah untuk menembak, itu saja," kata Boerhanuddin.
Setelah menetapkan Bharada E sebagai tersangka pada 3 Agustus, polisi menetapkan satu lagi tersangka baru, yaitu Brigadir Ricky Rizal atau Brigadir RR, pada Minggu (7/8/2022).
Selain itu, polisi menempatkan Sambo di tempat khusus, yaitu Mako Brimob, Kepala Dua, Depok. Ia diduga melanggar kode etik karena masalah ketidakprofesionalan dalam olah tempat kejadian perkara (TKP) penembakan Brigadir Yosua.
Sambo diduga mengambil dekoder kamera pemantau atau CCTV yang ada di sekitar rumah dinasnya, tempat Yosua tewas ditembak.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai pengakuan Bharada E punya dua sisi.
Di satu sisi membuat kasus penembakan Brigadir J tampak jelas, tetapi di satu sisi bisa membuat kepercayaan masyarakat kepada institusi kepolisian menurun.
"Tapi saya percaya kepercayaan publik kepada kepolisian mulai menurun. Mengapa? Karena memang banyak kejanggalan yang disampaikan kepolisian kepada publik atas kasus ini," kata Bambang, Senin (8/8/2022) malam.
Bambang berpendapat kasus ini bukan semata-mata menyangkut masalah personel, melainkan insitusi.
Sebab, pihak yang diduga terlibat dalam pusaran kasus ini bukan lagi melibatkan orang per orang, tapi sebuah 'kelompok' di internal kepolisian. Insiden ini dianggap telah melibatkan lintas satuan kepolisian. Mulai satuan wilayah, reserse, hingga Propam.
Diketahui, Polri memeriksa 25 personelnya yang diduga menghalangi penyidikan perkara penembakan Brigadir J. Mereka terdiri dari 3 perwira tinggi bintang satu, 5 komisaris besar, 3 ajun komisaris besar, 2 komisaris, 7 perwira pertama, serta 5 bintara dan tamtama.
Kemudian, pada 4 Agustus, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mencopot Ferdy Sambo serta 14 perwira tinggi dan perwira menengah Polri lain.
Menurut Bambang, berbagai keterangan yang muncul ke publik sekarang membantah narasi awal yang disampaikan kepolisian.
"Bahkan dibumbui lagi sampai ke Kompolnas. Dan kejanggalan itu terbantahkan setelah Bharada E ditetapkan tersangka oleh Bareskrim. Itu balik 180 derajat apa yang disampaikan oleh kepolisian sendiri di awal," katanya.
Dia pun mengatakan kasus ini menjadi pekerjaan rumah bagi Kapolri untuk menjaga kepercayaan publik. Karena itu, Kapolri harus membongkar kejanggalan dengan transparan dan akuntabel.
"Apa yang dilakukan Kapolri memutasi beberapa orang, dan memeriksa 25 orang itu jadi angin segar," ucapnya.
Bertalian dengan itu, Bambang berharap Listyo tak hanya berhenti sampai dugaan pelanggaran etik. Ia mengatakan, jika terbukti ada tindak pidana, maka harus diselesaikan di pengadilan.
Ia meminta Listyo berani membongkar kelompok-kelompok di internal Polri yang tak memiliki integritas dan kejujuran. Sebab, kelompok-kelompok ini potensial mencoreng nama baik Polri lagi.
"Kalau kelompok ini tak diselesaikan, tak dituntaskan, ada asumsi jangan-jangan ada yang melindungi kelompok-kelompok jahat ini. Asumsinya kan seperti itu. Kenapa yang jahat tak diproses, ternyata sama saja dilindungi kelompok lainnya. Apa bedanya kelompok yang jahat itu dengan yang lainnya? Makanya Kapolri harus tegas," ucapnya.
Senada, peneliti sekaligus pengacara publik LBH Masyarakat Ma'ruf Bajammal mengatakan perkara ini akan menjadi cermin Polri dalam menjaga marwah institusi.
Ma'ruf menilai Polri tidak perlu ragu untuk melakukan proses hukum terhadap para pejabat tingginya jika terjadi perbuatan yang melanggar hukum pidana.
"Perkara ini menjadi pembuktian bagi Polri bahwa mereka sebagai aparat penegak hukum benar-benar menjadi menjadikan hukum sebagai panglima," kata Ma'ruf.
Jika hal itu tak dilakukan, Ma'ruf mengatakan akan timbul kesan di publik bahwa Polri hanya tegas pada anggota yang melakukan pelanggaran di level bawah saja. Wibawa Polri di mata publik bisa ambruk.
"Jika tindakan tegas, seperti pemberhentian dengan tidak hormat terhadap Irjen S tidak dilakukan. Maka yang terjadi Polri secara institusi akan semakin kehilangan marwah dan wibawanya di hadapan publik," kata dia.
Karena itu, Ma'ruf mengatakan kasus tewasnya Brigadir J menjadi ujian bagi institusi Polri. Kapolri harus bisa benar-benar menunjukan bahwa slogan responsibilitas, transparasi, dan berkeadilan (Presisi) yang sering digembar-gemborkannya bukan jargon belaka.
"Jika Polri secara institusi tidak menegakan Presisi dalam penanganan kasus ini, maka bisa dikatakan saat ini Polri telah dibajak oleh segelintir orang untuk menjadi alat penutup kebenaran yang ada," katanya. (*)