Tajuk Redaksi
Setahun PHR Kelola Blok Rokan: Jerit Perih Kontraktor Lokal Jadi Penonton di Negeri Sendiri, Korban PHP?
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Besok, Selasa (9/8/2022), tepat setahun PT Pertamina melalui cucunya PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) menjadi penguasa di Blok Rokan. Sebuah ladang minyak yang pernah bertengger puluhan tahun sebagai penghasil minyak terbesar di republik ini.
Perut Bumi Lancang Kuning tentu saja telah membiayai perjalanan negara yang sebentar lagi berusia 77 tahun. Meski kini, Blok Rokan tak lagi berjaya seperti dulu, karena posisinya dikalahkan oleh Blok Cepu yang lebih besar menghisap dollar hitam saat ini.
Blok Rokan Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi. Itulah jargon setahun silam, ketika Chevron yang habis masa konsesinya lalu hijrah tak lagi melanjutkan kontraknya.
Keputusan negara, dua tahun silam yang diumumkan Presiden Jokowi, kala itu memang terkesan nasionalistik. Aura politik agak terasa, mempertontonkan ke rakyat tentang keputusan politik-ekonomi yang luar biasa. Tentu rakyat senang bukan kepalang. Warga Riau girang gembira.
PT PHR boleh saja mengklaim telah bekerja ekstra keras dalam menambah sumur baru. Media nasional hari ini digempur pemberitaan soal kampanye gerak cepat PHR mengebor sumur baru. Klaimnya ada sebanyak 370 sumur sejak alih kelola sehingga Juni 2022 lalu.
Pertamina, induk besar PT PHR mengklaim, semula produksi Blok Rokan hanya berkisar 120 ribu barel per hari. Namun saat ini Pertamina bisa mempertahankan produksi rata rata harian di angka 159 ribu barel per hari. Bahkan pada Juli kemarin, Blok Rokan disebut sempat memproduksi hingga 161,9 ribu barel per hari.
"Agresifitas pengeboran juga tercermin dari rig yang kami operasikan. Jika sebelumnya Blok Rokan hanya mengoperasikan 9 rig, saat ini kami mengoperasikan 21 rig dan bisa mencapai 27 rig pada akhir 2022," terang Direktur Utama PT Pertamina Persero, Nicke Widyawati.
'Cerita' dan klaim sukses Pertamina di Blok Rokan itu boleh-boleh saja. Tapi, janji 'Blok Rokan Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi', tak melulu soal angka-angka dan statistik sumur bor serta produksi ini. Ada unsur elementer yang paling pokok: penguatan ekonomi daerah dan naik kelasnya kontraktor lokal. Ini terkait dengan citarasa sosial sebagai daerah penghasil.
Faktanya, sejak beberapa bulan terakhir, atau bahkan tiga bulan pasca-alih kelola dari Chevron ke PHR, kalangan kontraktor lokal justru mulai ribut. Pengakuan mereka, PHR tak lebih baik memperlakukan mereka dibanding era Chevron dulu.
Bahkan, akhir tahun lalu Asosiasi Kontraktor Migas Riau (AKMR) sempat mengancam stop operasional, akibat kebijakan tender di Blok Rokan yang menyisihkan peran anggota asosiasi dan terlalu didominasi anak cucu cicit BUMN.
Bisa saja, perasaan kontraktor lokal itu subjektif belaka. Mungkin, karena mereka dulu kerap dimanja dengan kontrak-kontrak besar ala rezim cost recovery.
Tapi, bukan itu substansinya. Di balik kekecewaan kontraktor lokal itu, ada hal pokok yang patut dievaluasi. Sasarannya yakni pola kebijakan pengadaan barang dan jasa (tender).
PHR dituding tidak melakukan mekanisme tender secara terbuka dan fairness. Dalihnya, sistem sudah berubah dari cost recovery menjadi gross split. Rezim gross split seakan-akan sudah memastikan dirinya lebih efisien ketimbang cost recovery.
Jikapun alibi efisiensi itu jadi jargon, hal itu bisa saja diperdebatkan. Apa jaminan skema gross split akan lebih efisien ketimbang cost recovery?
Sebuah sistem pengadaan barang dan jasa, di belahan dunia mana pun, mestilah berlangsung terbuka, fairness dan kompetitif. Bahkan, negara ini telah memiliki aturan khusus, yakni Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Sejumlah pasal dalam undang-undang tersebut (pasal 17 sampai pasal 28) memuat aneka larangan kepada pelaku usaha. Secara spesifik, pada pasal 17 hingga pasal 24, larangan keras tercantum yakni monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan.
Pola penunjukkan langsung (PL) yang dilakukan PHR dalam pengadaan barang jasa saat ini di Blok Rokan, oleh kontraktor lokal Riau, disebut sebagai sistem terburuk yang pernah ada. Salah satu indikatornya, pengumuman tender tidak pernah dilakukan transparan.
Pola tender seakan berlangsung di kamar kecil, hanya ditentukan oleh segelintir orang saja. Tidak diumumkannya tender secara transparan, menyebabkan panitia tender seakan dapat mencomot begitu saja calon rekanan untuk mengikuti penawaran.
"Kami sekarang harus banyak berdoa. Syukur-syukur doa didengar Tuhan, sehingga panitia tender PHR terketuk hatinya mengundang kami untuk mengajukan penawaran," kata seorang kontraktor Riau yang malang melintang di Blok Rokan era Chevron.
Kondisi kian parah manakala aksi ekspansi massif anak cucu cicit perusahaan BUMN makin bercokol di Blok Rokan. Kontras ketika dulu Blok Rokan di bawah pengelolaan bendera Chevron, anak cucu cicit BUMN itu tak pernah seagresif saat ini. Hal ini memperkuat kesan kalau perusahaan BUMN cuma jago kandang, bahkan berburu di kandang sendiri.
Peraturan Menteri BUMN nomor 08/MBU/12/2019 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara dinilai sebagai biang keroknya. Beleid ini diteken oleh Menteri BUMN, Erick Thohir pada 12 Desember 2019 silam, beberapa bulan setelah Presiden Jokowi mendapuknya sebagai orang nomor satu di Kementerian BUMN.
Kini, lewat jargon Sinergis BUMN, seakan-akan prinsip pengadaan barang yang transparan dan fairness serta kompetitif bisa diabaikan begitu saja.
Ini patut untuk ditelisik. BUMN memang representasi negara. Namun, memberikan jalan tol kepada BUMN dengan melabrak prinsip-prinsip dasar mendapatkan bisnis proyek, tidak boleh dibiarkan dan harusnya dicegah.
Dalam hal inilah, peran lembaga audit maupun lembaga penegak hukum sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu turun tangan. Apakah mekanisme seleksi terbatas dan penunjukkan langsung (PL) tidak justru menyebabkan in-efiensi yang berpeluang terjadinya kerugian negara.
Praktik PL tentu saja rawan terhadap penyimpangan dan kongkalikong alias persekongkolan. Di dalamnya pengaturan pemenang proyek jumbo bisa leluasa terjadi. Tidak ada mekanisme kontrol, fairness dan kompetisi yang dibangun. Sistem ini mirip pola zaman baholak, era orde baru dulu.
Kini, perayaan satu tahun Pertamina di Blok Rokan justru dirasakan bak derita oleh kontraktor lokal. Sejumlah pengusaha sambil berseloroh menyebut kondisi saat ini ibarat istilah anak muda zaman now: PHP.
Rencana menggugat Peraturan Menteri BUMN nomor 08/MBU/12/2019 ke Mahkamah Agung terkesan hanya gertakan belaka. Buktinya, sampai kini hal itu tak pernah terjadi.
Disayangkan, Pemprov Riau sebagai otoritas daerah pun bungkam dan terkesan tak mengambil tindakan apapun. Dikonfirmasi wartawan, Gubernur sampai pada jajaran anak buahnya tak kunjung berkomentar.
Sama halnya, manajemen PHR juga tak kunjung mau membuka informasi dan klarifikasi atas tudingan tertutup serta tidak fairness-nya kebijakan pengadaan barang jasa di Blok Rokan juncto pemanjaaan anak cucu cicit BUMN tersebut. Saat dikonfirmasi media, VP Corporate Affairs, Sukamto Thamrin mengaku belum mendapat informasi detil soal itu.
Selamat berulang tahun pertama PHR di Bumi Lancang Kuning. (*)