Profesor Universitas Riau Jadi Penasihat Tim Dokter Forensik Autopsi Ulang Jenazah Brigadir J, Ini Dia Orangnya
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Kepolisian melakukan autopsi ulang (ekshumasi) terhadap jenazah Brigadir J yang tewas secara misterius di rumah dinas Kadiv Propam Polri, Irjen Pol Ferdy Sambo. Pembongkaran makam dilakukan kemarin dan dilanjutkan dengan proses autopsi ulang secara forensik di RSUD Sungai Bahar, Jambi.
Di balik hebohnya kasus ini, seorang dosen Universitas Riau ternyata ikut terlibat dalam proses autopsi ulang jenazah Brigadir J.
Dia adalah Prof Dr dr Dedi Afandi, DFM, Sp.FM (K). Prof Dedi terlibat sebagai tim penasihat dari tim dokter forensik berjumlah 7 orang yang diturunkan oleh kepolisian.
Sementara, dalam tim penasihat, Prof Dedi didampingi dua orang dokter ahli forensik yakni Prof Agus Purwadianto berasal dari Fakultas Kedokteran UI dan Prof Ahmad Dwiyanto guru besar dari Ilmu Kedokteran Forensik dari Universitas Airlangga.
Siapa sebenarnya sosok Dedi Afandi?
Prof Dedi Afandi merupakan penyandang guru besar pertama di Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Pria kelahiran Jambi ini dikukuhkan sebagai guru besar pada sidang senat Unri 30 Agustus 2019 lalu. Saat itu, ia juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Unri.
Hingga saat ia dikukuhkan sebagai profesor, Dedi merupakan guru besar bidang forensik kelima di Indonesia. Sebelumnya, guru besar forensik berjumlah empat orang, tiga berada di Fakultas Kedokteran UI dan satu orang lainnya di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Prof Dedi adalah ahli forensik berpengalaman. Ia menamatkan pendidikan dokter (S1) dari Universitas Andalas. Kemudian, melanjutkan program S2 (DFM) di Groningen State University pada 2004 lalu.
Pendidikan spesialisasi forensik medikolegal (Sp FM) diperolehnya dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 2005. Kemudian, Dedi melanjutkan pendidikan doktoral (S3) di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tamat tahun 2010 lalu.
Ia juga berhasil peraih gelar Master in Bioethics and Global Public Health, dari American University Sovereign Nation (AUSN). Hingga saat ini, ia tercatat sebagai konsultan Sp.FM(K) dan anggota Kolegium Ilmu Kedokteran Forensik Indonesia.
Prof Dedi mengikuti program Postgraduate Dipl Biomedical Ethic di SIUT Pakistan pada tahun 2012 dan Medicolegal Expert Witness Course on Clinical Negligence di London pada 2015 lalu.
Selain itu, ia juga ikut dalam Ethic’s Teacher Training Course, UNESCO serta mengantongi sertifikat Advokasi dan Hukum Transplantasi Organ, RSCM Kementerian Kesehatan RI.
Prof Dedi selain sebagai dosen Fakultas Kedokteran Unri juga aktif mengajar di sejumlah kampus. Antara lain dosen Pascasarjana Unri, Dosen Etika dan Hukum Rumah Sakit di STIKES Hang Tuah Pekanbaru.
ia juga bertugas sebagai dokter spesialis forensik RSUD Arifin Achmad serta dokter spesialis forensik dan konsultan Etiko-Medikolegal di RS Bhayangkara dan RS Prima Pekanbaru serta konsultan Etiko-Medikolegal RS Aulia Pekanbaru.
Dokter Luhur karena Menjalankan Etika
Dalam pidato pengukuhan guru besarnya di Fakultas Kedokteran Unri pada 30 Agustus 2019 lalu, Prof Dedi sempat menyinggung soal etika profesi dokter. Menurutnya, seorang dokter disebut luhur jika mampu menjalankan etika profesinya.
"Dokter yang pintar adalah dokter yang kompeten. Dokter yang luhur adalah dokter yang menjalankan etikanya. Dokter yang beradab adalah dokter yang memahami aspek medikolegal. Dokter yang menjalankan ketiganya adalah dokter paripurna," ungkapnya tiga tahun silam.
"Saya mengajak kalangan kedokteran untuk dapat bersama-sama berusaha mewujudkan dokter paripurna demi kepentingan pasien dan masyarakat, demi kepentingan profesi kita. Sejarah panjang profesi kedokteran harus senantiasa kita jaga keluhurannya,'' katanya lagi saat itu.
Prof Dedi merasa ada sebuah kebanggaan tersendiri menjadi dokter forensik yang sudah digelutinya selama puluhan tahun. Ia sudah menangani puluhan ribu manusia yang masih hidup dan ribuan mayat yang diungkapnya terkait masalah forensik. (*)