Rusli Zainal Selesai Jalani Masa Hukuman Korupsi Kehutanan, Tapi 9 Perusahaan Ini Tetap Nikmati Keuntungan Izin yang Diterbitkannya, Lucu Gak?
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal dinyatakan bebas bersyarat dalam kasus korupsi pemberian izin terhadap 9 perusahaan kehutanan di Riau.
Hingga lebih 6 tahun lamanya ia meringkuk di sel penjara dan sejak Kamis (21/7/2022) lalu sudah kembali ke rumahnya, namun hingga kini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak kunjung mengusut keterlibatan sejumlah perusahaan yang mendapat izin yang diteken oleh Rusli Zainal.
"Rusli Zainal telah jalani hukuman, korporasi hutan tanaman industri (HTI) belum jelas proses hukumnya. Perusahaan pemegang izin kapan?" demikian pertanyaan kritis yang diunggah di laman Facebook Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Sabtu (23/7/2022) kemarin.
Jikalahari dalam poster yang diposting, juga mengutip pledoi (nota pembelaan) Rusli Zainal saat disidang di Pengadilan Tipikor Pekanbaru pada 27 Februari 2014 silam. Dalam potongan kalimat di pledoi tersebut, Rusli mempersoalkan tidak dijeratnya korporasi pemegang izin hutan tanaman industri (HTI) yang menikmati keuntungan dari izin-izin yang diterbitkan itu.
"Hingga perkara para pejabat sudah berkekuatan hukum tetap, tidak pernah terdengar kabar KPK memproses perusahaan yang menurut KPK diperkaya oleh para terpidana tersebut," tulis Jikalahari.
Berdasarkan penelusuran SabangMerauke News, Rusli Zainal didakwa melanggar pasal 2 ayat 1 jo pasal 1 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rusli juga dikenakan dakwaan subsider yakni pasal 3 jo pasal 18 dengan undang undang yang sama.
Dalam kasus ini, Rusli Zainal dijerat hukum karena telah menerbitkan izin Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (BKUPHHK-HT) pada 2004 kepada 9 perusahaan kehutanan di Riau.
Menurut jaksa, pemberian izin bagan kerja tersebut bertentangan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 151/Kpts-II/2003 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman. Atas perbuatan Rusli Zainal, negara telah dirugikan sebesar Rp 265,9 miliar lebih.
9 Perusahaan Diuntungkan
Adapun 9 perusahaan yang mendapat izin Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (BKUPHHK-HT) berada di Kabupaten Siak dan Pelalawan.
Sebanyak 8 perusahaan terdapat di Pelalawan yakni PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Mitra Taninusa Sejati, PT Rimba Mutiara Permai dan PT Selaras Abadi Utama. Juga izin diberikan kepada CV Bhakti Praja Mulia, PT Mitra Hutani Jaya, PT Satria Perkasa Agung dan CV Putri Lindung Bulan.
Sementara satu perusahaan di Siak yang mendapatkan izin tersebut yakni CV Seraya Sumber Lestari.
Dalam putusan tingkat akhir yakni peninjauan kembali (PK), Mahkamah Agung (MA) mendiskon sendiri hukuman terhadap Rusli menjadi 10 tahun. Padahal, sebelumnya dalam putusan kasasinya, MA menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara terhadap politisi senior Partai Golkar ini.
Dalam perkara korupsi izin kehutanan yang melibatkan sejumlah perusahaan lain, sejumlah pejabat di Riau meliputi bupati dan kepala dinas kehutanan juga sudah divonis bersalah dan selesai menjalani masa hukuman.
Di antaranya mantan Bupati Pelalawan, Tengku Azmun Jafar yang divonis 11 tahun. Selanjutnya Bupati Siak, Arwin AS divonis 4 tahun. Mantan Kepala Dishut Riau, Burhanudin yang juga mantan Bupati Kampar dihukum 3,5 tahun. Serta mantan Kadishut Riau, Syuhada Tasman yang divonis 5 tahun penjara.
Digugat Yayasan Wahana Sinergi Nusantara
Ikhwal kejanggalan terhadap proses hukum penerbitan izin kehutanan yang menjerat sejumlah pejabat di Riau itu, juga telah tercium oleh Yayasan Wahana Sinergi Nusantara (Wasinus). Yayasan ini selalu concern terhadap isu kehutanan dan lingkungan hidup.
Yayasan Wasinus bahkan telah mendaftarkan gugatan terhadap perusahaan hutan tanaman industri CV Bhakti Praja Mulya di Pelalawan. Gugatan tersebut mempersoalkan legalitas surat izin hutan tanaman industri (HTI) untuk CV Bhakti Praja Mulya, salah satu perusahaan kehutanan yang izinnya diterbitkan mantan Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar.
Sementara, dalam perkara tindak pidana korupsi yang dulu ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu, masih ada 14 izin HTI perusahaan lain yang juga ditandatangani Azmun Jaafar.
Tengku Azmun Jaafar sudah divonis bersalah hingga tingkatan Mahkamah Agung dengan hukuman 11 tahun penjara dan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 12,3 miliar.
"Jadi, kami ingin majelis hakim menyatakan surat izin IUPHHK-HT salah satu perusahaan yang diteken Bupati Azmun Jaafar, yakni CV Bhakti Praja Mulya tidak sah. Azmun Jaafar sesuai putusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran dalam penerbitan izin tersebut dan sudah divonis penjara," kata Ketua Umum Yayasan Wasinus, Surya Darma SAg, SH, MH, Minggu (17/7/2022) lalu.
Surya tak menampik masih ada sejumlah perusahaan lain yang izinnya dipersoalkan dan dinyatakan penerbitannya dilakukan secara melawan hukum oleh pengadilan.
"Fokus kami pada satu perusahaan dulu. Dan nantinya, putusan hukum terhadap gugatan kami ini diharapkan bisa diterapkan untuk perusahaan lainnya," tegas Surya.
Isi Gugatan Yayasan Wasinus
Yayasan Wahana Sinergi Nusantara (Wasinus) telah menggugat CV Bhakti Praja Mulya sebesar Rp 580 miliar. Gugatan dalam jumlah uang jumbo tersebut sebagai dana jaminan pemulihan hutan karena perusahaan HTI itu diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam pengelolaan 5.800 hektar kawasan hutan. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Pelalawan juga didudukkan sebagai turut tergugat.
Yayasan Wasinus telah mendaftarkan gugatannya ke Pengadilan Negeri Pelalawan pada 1 Juli 2022 lalu dengan nomor register perkara: 15/Pdt.G/LH/2022/PN Plw. Gugatan organisasi lingkungan ini terklasifikasi dalam perkara hal-hal yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Azmun Jaafar telah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor: 06/Pid.B/TPK/2008/PN.JKT Pst tanggal 16 September 2008. Kemudian diperkuat kembali lewat putusan kasasi Mahkamah Agung nomor: 736K/Pid.Sus/2009 tanggal 9 Agustus 2019.
Ketua Umum Yayasan Wasinus, Surya Darma SAg, SH, MH menerangkan, berdasarkan putusan perkara pidana korupsi tersebut, tindakan Azmun Jaafar menerbitkan izin HTI atas CV Bhakti Praja Mulya melanggar ketentuan pasal 3 ayat (4) Keputusan Menteri Kehutanan nomor: 10.1/Kpts-II/2000 tentang Pedoman Pemberian IUPHHK-HT. Putusan majelis hakim terang benderang menjadikan Keputusan Menteri Kehutanan tersebut sebagai salah satu pertimbangan hukum.
"Maka, seharusnya surat yang diterbitkan dengan cara melawan hukum harus dinyatakan tidak berkekuatan hukum. Tindakan tergugat CV Bhakti Praja Mulya juga diduga terkualifikasi sebagai perbuatan melawan itu. Surat izin itu yang kami gugat agar dinyatakan tidak sah" kata Surya Darma.
Ia menjelaskan, meski surat izin Bupati Pelalawan tersebut hingga saat ini tak kunjung pernah dibatalkan, namun kata Surya, CV Bhakti Praja Mulya tidak berarti secara otomatis dapat menggunakannya. Karena surat tersebut, jelas Surya, diterbitkan tidak berdasarkan hukum dan pelakunya sudah dinyatakan bersalah dan menjalani hukuman.
"Tapi faktanya, tergugat tetap melakukan kegiatan usaha hutan tanaman di atas objek sengketa seluas 5.800 hektar. Ini sangat ironi menurut kami," tegas Surya.
Dalam provisi gugatan yang didaftarkan, Yayasan Wasinus meminta majelis hakim PN Pelalawan menghukum tergugat CV Bhakti Praja Mulya agar menghentikan seluruh kegiatan di atas objek sengketa, meskipun perkara belum berkekuatan hukum tetap.
Yayasan Wasinus juga memohon kepada majelis hakim menyatakan surat izin diterbitkan untuk tergugat tidak berkekuatan hukum serta menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Tebang Akasia 5.800 Hektar
Yayasan Wahana Sinergi Nusantara (Wasinus) dalam gugatannya juga meminta majelis hakim menghukum CV Bhakti Praja Mulya memulihkan kembali objek sengketa seluas 5.800 hektar. Caranya dengan menebang seluruh tanaman akasia yang ada di atas lahan hutan tersebut dan kemudian menanam kembali lahan hutan dengan tanaman kehutanan, kemudian menyerahkannya kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
"Menghukum tergugat untuk menyetorkan dana jaminan pemulihan hutan kepada Kementerian LHK sebesar Rp 580 miliar atau sebesar Rp 100 juta per hektar," demikian bunyi gugatan Yayasan Wasinus.
Yayasan Wasinus juga meminta majelis hakim menghukum tergugat CV Bhakti untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 10 juta per hari, apabila tergugat lalai melaksanakan putusan jika dikabulkan majelis hakim.
"Menghukum turut tergugat (Bupati Pelalawan) untuk tunduk dan patuh pada putusan ini," tutup Yayasan Wasinus dalam gugatannya.
Pihak CV Bhakti Praja Mulya belum dapat dikonfirmasi ikhwal gugatan Yayasan Wasinus ini. Demikian halnya dengan Pemkab Pelalawan yang menjadi turut tergugat dalam perkara tersebut.
Azmun Jaafar Pernah Mengadu ke Presiden
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan SabangMerauke News, Tengku Azmun Jaafar pernah mengajukan protes terhadap proses hukum yang dikenakan dirinya. Ia menyebut telah dikorbankan untuk kepentingan bisnis pihak-pihak lain yang menikmati izin-izin HTI yang ia teken tersebut.
Pada Oktober 2009 lalu, Tengku Azmun pernah mengirimkan sepucuk surat kepada Presiden RI saat itu dijabat oleh Soesilo Bambang Yudhoyono. Dalam surat yang dikirim ke Istana Negara itu, ia mengungkap sejumlah kejanggalan dalam kasus yang melilit dirinya.
Azmun mengaku dirinya dihukum bersalah karena menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). Namun, hingga kini belasan perusahaan yang mengenyam keuntungan dari izin tersebut masih beroperasi.
“Kalau surat izin yang saya keluarkan dinyatakan tidak sah, mestinya perusahaan-perusahaan itu juga harus berhenti memanfaatkan hutan,” kata Azmun kala itu kepada media.
Kenyataannya, izin yang ia terbitkan itu masih dipakai oleh perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hutan tersebut.
“Sampai sekarang, izin yang saya terbitkan tidak pernah dicabut. Ini kan aneh,” ujar Azmun saat itu.
Dalam lampiran suratnya kepada Yudhoyono, Azmun mengaku telah menerbitkan izin untuk 15 perusahaan. Adapun daftar perusahaan tersebut yakni PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Selaras Abadi Utama, PT Uniseraya, CV Putri Lindung Bulan, CV Tuah Negeri, dan CV Mutiara Lestari.
Juga ada PT Rimba Mutiara Permai, PT Mitra Taninusa Sejati, CV Bhakti Praja Mulia, PT Triomas FDI, PT Satria Perkasa Agung, PT Mitra Hutani Jaya, CV Alam Lestari, CV Harapan Jaya, dan CV Madukoro. Perizinan itu dikeluarkan selama periode Desember 2002-Januari 2003.
“Kalau dinyatakan melakukan perbuatan korupsi bersama-sama, kenapa cuma saya yang dihukum? Ini tidak adil,” kata Azmun saat itu.
Soal uang pengganti sebesar Rp 12,3 miliar, ia juga tidak terima jika harus menanggung semuanya. Sebab, masih banyak orang yang menerima duit itu tapi belum tersentuh hukum.
“Upaya pemberantasan korupsi jangan tebang pilih,” kata Azmun.
KPK Dikritik Tebang Pilih
Kritik terhadap KPK juga saat itu sempat disuarakan Koalisi Anti Mafia Hutan. Mereka menyebut, para perusak hutan bisa disidik dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010, tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang telah mencantumkan kejahatan kehutanan sebagai salah satu kejahatan asal (proceeds of crime) pencucian uang.
Akan tetapi, hingga saat ini tidak satu pun perusak hutan yang dihukum dengan menggunakan undang-undang ini.
Boyamin Saiman, aktivis LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) juga pernah mengingatkan KPK agar tidak hanya membawa Teuku Azmun Jaafar ke Pengadilan Tipikor. Dia mendesak KPK juga menyeret pihak-pihak lain yang terlibat kasus ini.
Menurutnya, pimpinan sejumlah perusahaan yang menerima izin juga harus diusut secara tuntas oleh KPK agar kerugian negara yang mencapai Rp 1,2 triliun bisa dikembalikan ke kas negara.
“Sekarang masalahnya, KPK berani tidak menyeret bos perusahaan-perusahaan itu,” katanya waktu itu.
Boyamin menilai, kelihatan sekali kepala daerah dengan kekuasaannya memberikan kemudahan terhadap perusahaan-perusahaan rekanan. Maka, tak jarang korupsi terjadi dan hanya berhenti pada Bupati yang bersangkutan.
Untuk itu, kata Boyamin, manajemen 15 perusahaan yang menikmati korupsi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan hutan tanaman (IUPHHK-HT) harus diusut KPK juga.
“KPK harus menelusuri kasus penguasa yang memanfaatkan kewenangannya untuk kepentingan sendiri, apalagi mencari keuntungan dengan bekerjasama dengan swasta," tegas Boyamin.
Selain itu, menurut dia, apa yang diterima Bupati sebagai uang korupsi masih tergolong kecil dari keuntungan yang didapatkan atas terbitnya izin tersebut, karena negara dirugikan Rp 1,2 triliun.
Boyamin yakin, meski Azmun Jafaar sudah dihukum, tapi pelanggaran akan terus terjadi, karena izin tersebut sudah didapat perusahaan-perusahaan tersebut.
“Semua proses tentunya akan dilanggar juga. Maka KPK jangan berhenti di pelaku, tapi kejar juga jaringan lain yang merugikan negara lebih besar,” tandasnya. (R-05)