Larangan Ekspor CPO Dicabut Tapi Harga Kelapa Sawit Justru Anjlok, Ini Kata Ekonom
SABANGMERAUKE NEWS - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan alasan crude palm oil atau CPO tak kunjung naik. Salah satu faktor pemicunya adalah pelarangan ekspor yang diterapkan pemerintah pada April hingga Mei 2022.
"Ketika pelarangan dibuka pasokan CPO akhirnya banjir di pasar internasional," ujarnya, Sabtu, 9 Juli 2022.
Menurut dia, negara tetangga, Malaysia, memanfaatkan momen pelarangan ekspor CPO di Indonesia untuk menggenjot produksi sawit. Hal tersebut menyebabkan kekhawatiran resesi ekonomi.
"Dari sisi permintaan tentu ada kekhawatiran resesi ekonomi membuat sebagian komoditas yang sebelumnya rally mulai terkoreksi cukup tajam."
Jika resesi tersebut terjadi, permintaan CPO untuk industri makanan minuman hingga energi mengalami penurunan. Bisa jadi, Bhima melanjutkan, CPO yang harganya sudah melalui titik puncak, terkoreksi turun terus menerus.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan menuding harga tandan buah segar (TBS) sulit diprediksi akibat situasi pasar dunia saat ini. Ia mengklaim harga TBS anjlok karena tingginya pasokan ekspor minyak bunga matahari atau sunflower oil dari Ukraina. Hal itu membuat permintaan pasar dunia akan minyak sawit menurun dan stabilisasi harga menjadi sulit.
"Selama ini harga minyak di Ukraina, minyak sunflower, sudah lama tak terekspor berapa bulan, tuh? Empat-lima bulan kan. Sekarang dia turunin pajak dia bawa ekspor pengaruh lah ke yg lain," tutur Luhut.
Luhut Pandjaitan kembali menegaskan bahwa dia tidak bisa memprediksi kenaikan harga TBS. Dia pun akan melihat perkembangan ekspor minyak bunga matahari.
"Kita harus lihat Ukraina, cadangan sunflowernya gede sekali, tuh. Eggak terekspor, kan," ucapnya.
Luhut Pandjaitan menjelaslkan bahwa pasar minyak bunga matahari Ukraina menjadi lebih diminati karena Pemerintah Ukraina telah mengurangi pajak ekspor. Kebijakan pengurangan ekspor dibuat oleh Ukraina untuk memulihkan perekonomiannya pada masa perang Ukraina Rusia.
"Maka itu kita harus cari ekuilibrium, dan tak gampang," kata Luhut. (*)