Kontraktor Lokal 'Menjerit' karena Anak Perusahaan BUMN di PHR, Menteri Erick Thohir Bicara Soal Kolaborasi
SM News, Pekanbaru - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir bicara soal kolaborasi BUMN dengan pemda dan BUMD di Riau. Ia menyebut kerjasama dengan daerah bisa dilakukan sepanjang saling menguntungkan kedua belah pihak.
Erick Tohir menyampaikan hal tersebut saat melakukan kunjungan ke Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Jumat (26/11/21).
Menurutnya, kerjasama antar BUMN dengan BUMD dinilai sangat penting guna mendukung pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional terlebih di tengah kondisi pandemi saat ini.
"Kami membuka diri bagaimana BUMN berkolaborasi dengan BUMD dan Pemda untuk membangun iklim investasi yang saling menguntungkan. Jika ada di Riau memiliki potensi-potensi yang saling menguntungkan, ya silahkan saja, kami terbuka untuk bekerjasama," kata Erick Thohir dilansir MRC, Jumat siang.
Pernyataan kolaborasi BUMN dengan daerah yang saling menguntungkan menurut Menteri BUMN Erick Thohir tersebut, agaknya kontras realita yang terjadi saat ini. Justru sejumlah kontraktor lokal di Riau menjerit akibat dugaan mobilisasi anak perusahaan PT Pertamina dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan Blok Rokan, sejak dikelola oleh PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) setelah diambil alih oleh PT Chevron 9 Agustus 2021 lalu.
Perusahaan kontraktor lokal dikabarkan tertekan dan merasa pahit akibat rantai proyek yang begitu panjang membuat bisnis pengadaan barang dan jasa di lingkungan PHR Blok Rokan makin rumit. Ada kesan pengelolaan proyek menggunakan mekanisme broker atau perantara secara berjenjang.
SM News mendapatkan salinan rencana dokumen pekerjaan proyek di Blok Rokan yang diduga dikendalikan oleh PT Pertamina Patra Drilling Contractor ( Pertamina PDC), anak perusahaan PT Pertamina. Kegiatan proyek ini bernama pekerjaan konstruksi penyiapan lokasi pemboran sumur minyak yang kerap disebut dengan istilah well ped Blok Rokan Riau.
Disebutkan dalam ringkasan pekerjaan bahwa proyek dimiliki oleh PT Pertamina PDC (owner) dan sebuah perusahaan lain bertindak sebagai main contractor, sebut saja perusahaan PT SSS.
PT SSS kemudian menggaet sub kontraktor lain kita sebut dengan nama PT WWW yang akan membentuk konsorsium bersama perusahaan sub kontraktor lainnya dalam bentuk kerjasama (KSO) maupun joint operation (JO). PT WWW akan mencari lagi mitra kerja untuk pengerjaan well ped, kita sebut dengan PT ZZZ. Disebutkan dalam ringkasan tersebut estimasi jumlah sumur yang akan dibangun well pad-nya lebih dari 40 buah.
Untuk anggaran biaya pengerjaan well pad per unit tercantum sebesar Rp 1,5 miliar. Sumber informasi menyebut kalau pada saat Blok Rokan dikelola oleh PT Chevron, nilai kontrak per satu well ped mencapai Rp 4 miliar.
Masih dalam dokumen yang sama disebutkan kalau PT WWW menawarkan kerjasama KSO dan JO kepada PT ZZZ dengan sharing profit perbandingan 60:40 persen. Sebesar 60 persen akan menjadi milik PT ZZZ, sisanya 40 persen lagi merupakan jatah PT WWW.
Untuk mendapatkan paket pekerjaan itu, PT ZZZ harus menyiapkan modal kerja yang disebut dengan istilah support finansial minimal sebesar Rp 20 miliar di rekening koran perusahaan 3 bulan terakhir. Juga melampirkan data peralatan alat berat pendukung.
RiauBisa.com juga memperoleh salinan rencana surat perjanjian kerja sama jasa kemitraan proyek (KSO) yang berada di bawah kendali PT SSS. Dalam dokumen tersebut tertera beberapa pasal perjanjian antara PT WWW dengan calon mitranya PT ZZZ.
Jenis pekerjaan proyek sama seperti yang disebutkan di atas yakni pembangunan well pad (wellpad construction) dengan pola work unit rate (WUR). Secara tegas disebutkan lagi kalau PT SSS adalah pemilik proyek yang mendapatkannya dari PT Pertamina PDC. Well pad adalah lahan tapak persiapan pembuatan sumur minyak.
Tertulis dalam dokumen tersebut nilai proyek sebesar lebih dari Rp 30 miliar. Nilai proyek belum termasuk kewajiban pembayaran pajak pertambahan nilai (PPN) namun sudah termasuk pajak penghasilan (PPh).
Soal pembagian keuntungan lebih aneh lagi. PT SSS selaku main contractor secara otomatis akan mendapat jatah sebesar 5 persen dari nilai kontrak yang ditetapkan. Artinya, PT SSS tanpa bekerja akan mendapat bagian 5 persen dari besaran kontrak.
Jatah 5 persen itu disebut sebagai biaya marketing fee team sukses (mediator). Separuhnya dibayarkan kepada PT SSS di depan dan sisanya dibayarkan per termin pencairan.
Lantas soal pembagian hasil keuntungan antara PT WWW dengan PT ZZZ ditetapkan sebesar 30:70 persen. PT WWW akan mendapat jatah 30 persen dari keuntungan bersih setelah dikurangi modal kerja dan biaya-biaya lain. Sementara PT ZZZ mendapat jatah 70 persen keuntungan. PT ZZZ adalah pelaksana kegiatan proyek di lapangan, termasuk yang menalangi biaya proyek di awal.
Empat jenjang rantai proyek pengadaan di lingkungan Blok Rokan tersebut sudah menjadi buah bibir di kalangan pelaku usaha kontraktor lokal di Riau. Pada era PT Chevron berkuasa di Blok Rokan, tidak pernah ada pola bisnis seperti ini. Namun mereka tidak bisa bertindak melakukan apa-apa atas pola bisnis yang panjang tersebut.
"Pengusaha kontraktor lokal di Riau tidak kompak. Alhasil sekarang posisinya makin tergencet. Dominasi anak perusahaan Pertamina gak bisa dilawan," kata seorang kontraktor lokal.
Vice President Communication PHR wilayah kerja Rokan, Sukamto Tamrin enggan menanggapi model bisnis yang dikeluhkan oleh kontraktor lokal tersebut. Ia hanya menyebut kalau pengadaan barang dan jasa di lingkjngan PHR WK Rokan sudah sesuai aturan dan ketentuan yang berlaku.
Kontraktor Lokal Modali Proyek Blok Rokan
Seorang kontraktor yang bisa bermain di Blok Rokan menyatakan, penunjukkan langsung anak perusahaan Pertamina telah berdampak sistemik dan serius terhadap keberlanjutan usaha kontraktor lokal. Soalnya, meski tidak dalam bentuk kebijakan tertulis, anak perusahaan PT Pertamina tersebut hanya menjadikan kontraktor lokal sebagai pelaksana teknis sekaligus pembiaya proyek.
Padahal, selama ini kontraktor lokal di Riau berkontrak langsung dengan Chevron, tanpa melalui semacam fungsi perantara (broker). Kemampuan finansial dan SDM kontraktor lokal juga sudah amat memadai untuk menggarap proyek migas di wilayah kerja Blok Rokan.
"Tidak ada perubahan dan sama sekali tidak ada komunikasi soal masa depan bisnis proyek di Blok Rokan yang menyangkut keberadaan perusahaan kontraktor lokal. Hanya didominasi anak perusahaan Pertamina dan anak perusahaan BUMN. Ini kondisi yang sangat sulit sekaligus memprihatinkan. Kontraktor lokal masih wait and see melihat kebijakan proyek Blok Rokan ke depan," kata sumber tersebut kepada, Senin (25/10/2021) lalu.
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan, anak perusahaan PT Pertamina yang menggarap proyek-proyek Blok Rokan antara lain PT Pertamina Patra Drilling Contractor ( PertaminaPDC), PT Elnusa dan PT PGN Solution (PGASOL).
Ketua Umum Asosiasi Kontraktor Migas Riau (AKMR) Azwir Effendy enggan memberikan penjelasan soal keluhan perusahaan kontraktor lokal yang menjadi mitra PT Pertamina PDC ikhwal pencairan invoice.
"Sejauh ini belum ada anggota AKMR yang melaporkan hal tersebut ke kami. Nanti kalau ada akan kami respon," kata Azwir.
Pernah Ultimatum Stop Operasional di Blok Rokan
Protes keras terhadap mobilisasi anak perusahaan PT Pertamina untuk menggarap proyek di Blok Rokan pernah dilayangkan oleh Asosiasi Kontraktor Migas Riau (AKMR), akhir September lalu. Organisasi yang menaungi sebanyak 84 perusahaan sebagai members yang mempekerjakan lebih dari 22 ribu tenaga kerja ini merespon aspirasi anggotanya.
Sebuah petisi keras dilayangkan ke PT PHR yang dianggap mengeluarkan kebijakan tidak pro pada kontraktor lokal.
"Dulu saat Blok Rokan dikelola Chevron, kami pengusaha lokal tak pernah diperlakukan seperti ini. Kami tidak bisa menerima, karena ini menyangkut hajat dan nasib ribuan tenaga kerja kontraktor lokal," kata Azwir kala itu.
Azwir saat itu menjelaskan, akibat kebijakan penunjukkan langsung (PL) pengadaan barang dan jasa, PT PHR telah memilih sejumlah anak perusahaan PT Pertamina dan BUMN lain sebagai pemenang proyek. Dalam praktiknya, anak perusahaan Pertamina tersebut menjadikan perusahaan lokal sebagai mitra lokal (sub sub kontraktor) untuk mengerjakan proyek tersebut.
Ironisnya, anak perusahaan Pertamina (BUMN) tersebut tidak bekerja, namun beban modal pembiayaan proyek menjadi tanggung jawab kontraktor lokal. Lebih aneh, diterapkan pula skema bagi hasil sebesar 60:40 antara kontraktor lokal dengan anak perusahaan Pertamina (BUMN) tersebut.
"Ini konyol kan namanya. Mereka (anak perusahaan Pertamina, red) tidak bekerja, tapi menyuruh kontraktor lokal bekerja dan memodali pekerjaan proyek tersebut. Bagi hasil pula. Ini dimana rasionalitasnya," kata Azwir dengan nada meninggi.
Menurut Azwir, kontraktor lokal sanggup untuk berkompetisi sehat dengan sejumlah anak perusahaan BUMN tersebut. Oleh karena itu, seharusnya tender terbuka dilakukan oleh PT PHR.
"Sewaktu Chevron, kontraktor lokal saja bisa menang nilai proyek Rp 1,3 triliun. Banyak perusahaan kontraktor lokal yang sanggup membiayai proyek ratusan miliar. Kok sekarang kontraktor lokal jadi membiayai proyek anak perusahaan BUMN. Kan ini aneh sekali," tegas Azwir.
Pada Rabu, 29 September 2021 lalu, AKMR melayangkan petisi dan protes keras kepada PT Pertamina Hulu Rokan. Ada tiga poin utama petisi tersebut yakni:
a. Asosiasi Kontraktor Migas Riau (AKMR) beserta seluruh anggotanya menolak dan tidak bersedia bekerja sebagai sub-kontraktor anak perusahaan Pertamina yang berada di Wilayah Kerja Rokan
b. Pengusaha lokal memiliki capability, integrity dan kemampuan finansial yang dapat bersaing dengan anak perusahaan Pertamina.
c. Jika Pertamina Hulu Rokan tidak dapat mengakomodir aspirasi di atas, maka pada hari Senin, tanggal 4 Oktober 2021 anggota AKMR yang melaksanakan Kontrak Mirorring saat ini, akan melakukan penghentian operasi secara serentak di Wilayah Kerja Rokan. (*)
BERITA TERKAIT :
Blok Rokan di Tangan Pertamina
Kontraktor Lokal Menjerit Pasca PT Pertamina Kelola Blok Migas Rokan, Begini Kondisinya