Demi Pembebasan Irian, Bung Karno Enggan Berobat Sakit Ginjal
SABANGMERAUKE NEWS - Presiden Sukarno dikabarkan Antara akan berkunjung ke Wina, Austria. Perjalanan ini bukanlah kunjungan kenegaraan. Untuk alasan kesehatannya, Bung Karno ke Austria dalam rangka menjalani pengobatan. Keberangkatan Sukarno dan rombongan dijadwalkan pada hari Kamis, 19 Oktober 1961.
“Presiden sudah sejak beberapa waktu menderita penyakit kencing batu dan para dokter ahli memandang perlu Presiden pergi ke luar negeri selekas mungkin untuk keperluan diagnostik dan terapi,” 16 Oktober 1961.
Menurut keterangan Menteri Sekretaris Negara Mr. Mohammad Ichsan, dalam periode 7 Januari 1959 sampai Juni 1961, Presiden Sukarno telah mengencingkan sembilan buah batu. Tim dokter kepresidenan berulang kali mendesak Sukarno untuk berobat di luar negeri di sela-sela kunjungan kenegaraan. Namun, Sukarno jarang punya kesempatan dan tidak bersedia menjalani operasi. Akhirnya, diputuskan bahwa diagnosa dan terapi serta tindakan medis lainnya dilakukan di Wina, Austria.
Operasi Setelah Irian Barat
Keengganan Sukarno untuk berobat pernah dikeluhkan dokter pribadinya, dr. Soeharto. Ia bahkan telah mendiagnosa penyakit ginjal Sukarno sejak zaman Jepang. Sekali waktu pada akhir 1942, Sukarno datang kepada dr. Soeharto dengan keluhan nyeri pada pinggang dan mual. Rasa nyerinya menusuk di perut bagian bawah diikuti gejala muntah-muntah dan kencing darah. Riwayat nyeri itu sudah dialami Sukarno sejak menjadi mahasiswa THS Bandung namun kadang-kadang segera hilang secara spontan.
“Hasil pemeriksaan menunjukkan Bung Karno menderita urolithiasis, kencing batu,” kata dr. Soeharto dalam otobiografinya, Saksi Sejarah. Adapun Kristal yang secara konstan ditemukan dalam urine Bung Karno menurut dr. Soeharto adalah jenis urat.
Ketika menjabat presiden, kegiatan Sukarno yang padat makin memberatkan kinerja ginjalnya. Kesibukan Sukarno di tahun 1955, misalnya, pada bulan April Konferensi Asia Afrika, bulan Juli menunaikan ibadah naik haji, dan bulan Juli menyelesaikan krisis kabinet. Itu semua sungguh menyita energi sehingga Sukarno kerap mengalami keletihan fisik.
Hasil pemeriksaan Bung Karno secara berkala menunjukkan bahwa urinenya selalu mengandung kristal urat. Untuk mengendalikan kadar kristal itu, dr. Soeharto menyarankan Sukarno untuk selalu banyak minum, cukup beristirahat dan diet makanan tinggi purine seperti daging dan jeroan. Bila perlu, Sukarno bahkan dianjurkan untuk menjalami tindakan pembedahan guna mengeluarkan batu dari ginjalnya.
Sukarno hampir mengalami celaka ketika berkunjung ke Ternate untuk meninjau perbatasan Irian Barat pada 1960. Saat berpidato, Sukarno terserang nyeri luar biasa namun masih dapat menyelesaikan orasinya. Begitu memasuk kamar tidur, ia merangkak kesakitan. Sukarno kemudian buang air kecil, dan keluarlah beberapa butir batu sebesar kacang hijau. Sukarno menyadari fungsi organ ginjalnya kian terganggu. Namun, ia baru bersedia memeriksakan diri setahun kemudian, tepatnya Oktober 1961. Untuk itu, dr. Soeharto merekomendasikan nama Prof. dr. Karel Fellinger, spesialis penyakit dalam dan ginjal Fakultas Kedokteran Universitas Wina.
Hasil pemeriksaan tim dokter di Wina mendiagnosa ginjal kiri Sukarno sudah tidak berfungsi sama sekali. Selain itu juga ditemukan penyumbatan dalam ureter (saluran kencing) sebelah kiri. Felinger menyarankan agar ginjal kiri itu dibuang saja lewat tindakan operasi. Jika tidak, ginjal yang rusak akan mengakibatkan infeksi yang berujung komplikasi ke jantung bahkan kanker.
Sukarno dalam otobiografinya yang disusun Cindy Adams, Penyambung Lidah Rakyat, mengakui pada tahun 1961 dirinya mengalami sakit keras. “Di Wina para ahli mengeluarkan batu dari ginjalku,” kenangnya. Tapi, Sukarno menolak untuk dioperasi. Ia tidak mau pisau bedah menyentuh tubuhnya. Bujukan dr. Soeharto agar selekasnya dilakukan operasi bedah dimentahkannya begitu saja.
“Ndak, ah, nanti saja, jika Irian Barat sudah kita bebaskan,” kata Sukarno dengan entengnya, ditirukan dr. Soeharto. Salah seorang anggota tim dokter kepresidenan, dr. Satrio, mengeluhkan respon Sukarno yang sedemikian remehnya. Hal itu menyebabkan kemacetan pada terapi kesehatannya sendiri.
“Kami semua tidak mengerti sikap ‘kuno’ Presiden, namun tak tidak dapat berbuat apa-apa,” ungkap Satrio dalam Perjuangan dan Pengabdian: Mosaik Kenangan Prof. Dr. Satrio 1916—1986 yang disusunnya bersama Mona Lohanda.
Menurut desas-desus yang beredar, Sukarno ogah dioperasi lantaran berkonsultasi dengan penasihat spiritualnya. Konon, seperti disitir Rosihan Anwar dalam Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia, 1961—1965, apabila dipotong ginjalnya atau diambil salah satu bagian tubuhnya, maka kewibawaan dan kesaktian Sukarno akan hilang. “Apakah karena itu biarlah sang dukun alias ‘Muslim priest’ yang mengobatinya?” demikian kata Rosihan.
Tak Kunjung Sembuh
Untuk sementara waktu, Sukarno berhasil menghindari pisau bedah operasi. Ia mencoba pengobatan alternatif yang ditawarkan Perdana Menteri RRT Chou En Lai. Tim dokter RRT yang dipimpin Prof. dr. Wu Tsi Ping itu menggabungkan metode kedokteran modern dengan pengobatan tradisional Cina. Meski demikian, mereka tetap didampingi tim dokter kepresidenan pimpinan dr. Soeharto.
Menurut dr. Satrio, dengan kehadiran tim dokter RRT, kondisi Sukarno merasa lebih baik. Mereka terus dipergunakan sebagai tim pengobatan Presiden. Namun, pada 1964, Sukarno kembali berobat ke Austria, memenuhi janjinya setelah sengketa Irian Barat selesai. Tindakan medis berupa operasi penyedotan batu kristal pada ginjal berhasil mengumpulkan satu botol kecil penuh kristal urat. Karena Bung Karno tidak mau dioperasi lagi, sejarawan Asvi Warman Adam dalam Bung Karno Dibunuh Tiga Kali mengatakan pengobatan selanjutnya diterapi dengan ramuan herbal tradisional dan akupuntur dari tim dokter RRT.
Pada Juli 1965, Sukarno mengalami stroke ringan. Ia dikabarkan jatuh empat kali. Serangan itu katanya cukup parah. Menurut Victor M. Fic dalam Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi, tim dokter RRT, yang beberapa di antaranya telah mengobati Sukarno sejak tahun 1960, yakin bahwa ia tidak akan dapat hidup lagi jika datang serangan lain. Isu memburuknya kesehatan Sukarno ini nantinya memantik gonjang-ganjing politik perebutan kekuasaan di dalam negeri, antara PKI dengan Angkatan Darat.
Pasca-lengser dari kursi kepresidenan, kesehatan Sukarno terus merosot. Penyakit ginjalnya telah mengkomplikasi ke peredaran darah menuju otak dan jantung. Apalagi selama menjalani tahanan rumah di Wisma Yaso, pelayanan kesehatan yang diberikan pada Sukarno tidak memadai. Rasa kesepian turut menyiksa mental dan fisiknya yang melemah. Hingga akhirnya, Sukarno meninggal dunia pada 21 Juni 1970, tepat hari ini 52 tahun yang lalu. (*)