Keras! Wamenkum Tuding Penolak Pasal Penghinaan Presiden Orang Sesat
SabangMerauke News - Kementerian Hukum dan HAM memastikan tak akan menghapus pasal penghinaan presiden di rancangan kitab undang-undang hukum pidana (RKUHP).
Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy OS Hiariej mengungkap pihak-pihak yang menyebut pasal itu sebagai sikap anti kritik adalah orang-orang yang sesat berpikir.
"Tidak (antikritik), itu orang yang sesat berpikir, dia tidak bisa membedakan antara kritik dan penghinaan. Yang dilarang itu penghinaan lho, bukan kritik," ungkap Eddy kepada wartawan di kompleks parlemen, Jakarta Pusat, Selasa (28/6/2022).
"Dibaca enggak, kalau mengkritik tidak boleh dipidana. Kan ada di pasalnya, Jadi apalagi? Jadi yang mengatakan penghinaan sama dengan kritik itu mereka yang sesat pikir, yang tidak membaca," sambung Eddy.
Ia mengungkap pembentukan pasal-pasal penghinaan di dalam RKUHP tak bisa merujuk pada peraturan hukum negara lain. Sebab, menurutnya itu adalah pasal spesial.
Eddy menjabarkan pasal penghinaan dalam hukum pidana Indonesia dikategorikan sebagai mala in se atau perbuatan yang dinilai jahat berdasar akal sehat bangsa beradab.
Sementara negara lain utamanya negara barat mengategorikannya dalam mala in prohibita atau kejahatan karena telah dirumuskan sebagai kejahatan dalam perundang-undangan.
Menurutnya aturan itu sama sekali tak bertentangan dengan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sempat membatalkan pasal-pasal soal penghinaan terhadap penguasa umum.
Menurutnya, MK hanya mengabulkan permohonan pasal 134, 135, dan 136 namun menolak permohonan pasal 207. Eddy menyebut perintah MK adalah mengubah delik pasal itu menjadi delik aduan.
"Makanya kalau saya tantang, yang tidak setuju dibawa ke MK enggak berani, karena pasti ditolak," tegas Eddy yang sebelumnya juga dikenal sebagai Guru Besar Hukum Pidana UGM itu.
Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR Anggota Komisi III DPR tak menampik ada sejumlah norma dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang memang masih mengandung semangat kolonialisme.
"Memang tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada sejumlah norma di dalam perubahan RKUHP yang sebagian orang memandang bahwa ini seperti mengulang kembali semangat kolonialisme," kata Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil dalam diskusi daring dengan tema 'Quo Vadis RKUHP', Jumat (25/6).
Kendati demikian, Nasir, yang merupakan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, mengaku semuanya kembali lagi kepada pendapat masing-masing individu.
Pihaknya meminta agar ada titik temu antara parlemen dan masyarakat sipil agar tercapai pemahaman yang sama terkait pasal-pasal krusial dalam RKUHP.
Hal itu merespons pernyataan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti pada kesempatan yang sama yang menilai banyak pasal krusial di dalam RKUHP yang mereproduksi semangat kolonialisme Belanda. Dalam paparannya, Bivitri mengaku tidak melihat urgensi RKUHP apabila isinya tidak baru dan mengikuti paradigma lama.
Bivitri lantas mencontohkan sejumlah pasal 'kolonialisme' seperti penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 240 RKUHP), penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (Pasal 353 dan 354 RKUHP), serta penyelenggaraan unjuk rasa dan demonstrasi tanpa izin (Pasal 273 RKUHP).
"Pasal harkat dan martabat presiden itu dulu ya dibuat karena kita sebagai pribumi yang dianggap tidak beradab dan dirasa perlu ditertibkan karena suka menghina ratu. Jadi paradigma lama tuh, tapi direproduksi sekarang, kita bukan pribumi versus penjajah," ujar Bivitri. (*)