Kasus Dugaan Investasi Bodong Fikasa Grup: Ini Deretan Perusahaan yang Terima Aliran Dana Dikumpul dari Korban 10 Miliuner Pekanbaru
SM News, Pekanbaru - Kasus dugaan investasi bodong tanpa izin otoritas keuangan dengan terdakwa 4 bersaudara keluarga Salim pemimpin Fikasa Grup telah bergulir di persidangan Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Senin (22/11/2021) lalu. Keempat terdakwa dikenakan tiga dakwaan berlapis yang merugikan sebanyak 10 mitranya warga Pekanbaru sebesar Rp 84,9 miliar.
Dua perusahaan terafiliasi Fikasa Grup tersebut yakni PT Wahana Bersama Nusantara dan PT Tiara Global Propertindo. Kedua perusahaan yang bergerak di bidang costumer product, properti dan perhotelan serta usaha lainnya.
Keempat terdakwanya adalah Bhakti Salim alias Bhakti yang merupakan Direktur Utama PT Wahana Bersama Nusantara sekaligus juga Direktur Utama PT Tiara Global Propertindo. Terdakwa Agung Salim alias Agung sebagai Komisaris Utama PT Wahana Bersama Nusantara.
Terdakwa ketiga yakni Elly Salim alias Elly selaku Direktur PT Wahana Bersama Nusantara sekaligus Komisaris PT Tiara Global Propertindo. Seorang terdakwa lain dari keluarga Salim yakni Christian Salim selaku Direktur PT Tiara Global Propertindo.
Ada seorang terdakwa lain yang ikut dijerat dalam berkas perkara berbeda yakni Maryani selaku marketing PT Wahana Bersama Nusantara merangkap marketing PT Tiara Global Propertindo. Diduga Maryani menjadi operator lapangan dalam mengumpulkan dana dari masyarakat dengan janji investasi berbunga di atas perbankan yakni 9-12 persen per tahun.
Dalam surat dakwaan jaksa penuntut Lastarida Sitanggang SH, terungkap kalau dana yang dihimpun diduga secara ilegal oleh Bhakti Salim cs mengalir ke sejumlah perusahaan lain dalam afiliasi Fikasa Grup. Penggunaan dana dilakukan secara sepihak tanpa ada persetujuan pengalihan uang dari pemilik dana.
Berikut daftar perusahaan yang menerima aliran dana investasi yang disebut dalam surat dakwaan jaksa:
1. PT Tirta Mas Lestari. Perusahaan ini memiliki usaha air minum di Sukabumi, Pasuruan dan di Banyuwangi.
2. PT Delapan Bintang Baswara, perusahaan ini memiliki usaha air minum di Mojokerto, Jatim.
3. PT Alam Bali Internasional perusahaan mengelola Hotel Tennason di Bali.
4. PT Bintang Buana Sarana mengelola sebuah hotel di Ubud, Bali.
5. PT Cakrawala Usaha Nusantara, mengelola sebuah hotel di Kuta, Badung, Bali.
6. PT Tiara Inti Mulia, mengelola Hotel Antara, Bali.
7. PT Inti Putra Fikasa, mengelola Taman Putri Hijau Permata, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Jaksa juga menyebut kalau uang dana investasi yang dihimpun masuk ke rekening pribadi ke 4 terdakwa, termasuk Maryani yang merupakan marketing PT Wahana Bersama Nusantara dan PT Tiara Global Propertindo.
"Selain masuk ke sejumlah perusahaan, uang dana investasi juga masuk ke rekening pribadi terdakwa I, II, III, IV dan saksi Mariyani," kata jaksa dalam surat dakwaannya.
Diwartakan sebelumnya, sebanyak 10 orang berduit di Pekanbaru menjadi korban dugaan investasi bodong yang digencarkan oleh PT Wahana Bersama Nusantara dan PT Tiara Global Propertindo. Kesepuluh korban tersebut yakni:
1. Archenius Napitupulu. Dari total enam kali penempatan dana investasi, kerugian Archenius Napitupulu sebesar Rp 20,39 miliar.
2. Pormian Simanungkalit. Ada sebanyak lima kali penempatan dana investasi yang dilakukan Pormian dengan total Rp 17 miliar.
3 Melly Novrianti melakukan sekali penempatan dana sebesar Rp 10 miliar
4. Oki Yulis Gea melakukan sekali penempatan dana investasi sebesar Rp 2 miliar.
5. Pandapotan Lumbantoruan melakukan sekali penempatan dana investasi sebesar Rp 2 miliar.
6. Darto Jonson M Siagian menyetor sekali dana investasi sebesar Rp 2 miliar.
7. Agus Yanto M Pardede menyetor sebanyak 5 kali dana investasi dengan total 22,25 miliar
8. Timbul S Pardede menyetor sekali dana investasi sebesar Rp 2 miliar
9. Sumardi Siagian menyetor dua kali dana investasi dengan total Rp 5,27 miliar
10. Natalia Napitupulu menyetor sekali dana investasi sebesar Rp 2 miliar.
Jaksa penuntut menjerat keempat terdakwa dengan tiga dakwaan berlapis yakni dakwaan pasal 46 ayat 1 Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Adapun ancaman hukumannya yakni sekurang-kurangnya 5 tahun dan paling lama 15 tahun penjara serta denda sekurang-kurangnya Rp 10 miliar dan paling banyak Rp 200 miliar.
Dakwaan kedua yakni pasal 378 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Sementara dakwaan ketiga yakni pasal 372 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana.
Surat dakwaan jaksa penuntut menyebut uang investasi yang dikumpulkan masuk ke dalam sejumlah perusahaan lain yang tergabung dalam Fikasa Grup. Para korban tergiur dengan janji bunga investasi tinggi di atas rata-rata perbankan.
"Lagipula terdakwa adalah orang yang sangat kaya dan konglomerat. Sudah banyak nasabah yang ikut dan berhasil mendapatkan bunga keuntungan," demikian jaksa menyebut iming-iming investasi tersebut.
Saat menyetorkan uang investasi, para nasabah mendapatkan semacam surat perjanjian dan semacam sertifikat deposito berisi nominal dana yang disetor, bunga keuntungan dan tanggal jatuh tempo penerimaan bunga dan keuntungan investasi. Surat perjanjian dan sertifikat ditandatangani oleh keempat terdakwa dan nasabah.
Pada akhirnya, janji investasi tersebut gagal bayar. Saat para korban menagih bunga dan keuntungan sesuai waktu jatuh tempo, para terdakwa tidak dapat membayarnya. Lama ditunggu pencairan tak kunjung jelas, para korban melaporkan kasus ini ke kepolisian hingga akhirnya perkara naik ke pengadilan. Para terdakwa kini sudah ditahan di Rutan Sialang Bungkuk, Pekanbaru.
Tim kuasa hukum terdakwa akan mengajukan eksepsi (keberatan) atas dakwaan jaksa dalam persidangan pekan depan.
Janji Investasi Bunga Tinggi
Tawaran investasi berbunga tinggi kerap membuat banyak masyarakat tergiur tanpa menyadari risiko dan legalitas perusahaan pengumpul dana.
Dikutip dari situs Kontan.co.id pada Maret 2018 lalu, Grup Fikasa Raya telah menggencarkan penawaran investasi surat sanggup bayar (promissory note). Dari temuan yang ada, promissory note tersebut diterbitkan oleh PT Wahana Bersama Nusantara (Wahana Bersama) yang masih menjadi bagian usaha Grup Fikasa.
Wahana Bersama dipimpin oleh Bhakti Salim, putera dari Kayo Salim. Adapun Kayo Salim, awalnya merupakan salah satu pemegang saham PT Miwon Indonesia, produsen bumbu penyedap merek Mi-Won yang sudah tak asing lagi terdengar di telinga masyarakat Indonesia.
Dari tawaran investasi promissory note Grup Fikasa yang beredar di sejumlah website, Kontan.co.id mendapat cerita dari salah seorang agen penjual. Kata sang agen, program investasi ini sudah mulai ditawarkan sekitar tahun 2012 silam.
Masyarakat yang berminat, bisa menempatkan dana investasi minimal Rp 100 juta. Adapun jangka waktu penempatan bervariasi mulai dari 3 bulan hingga 12 bulan dan tentunya bisa diperpanjang. Wahana Bersama menyiapkan imbal hasil mulai dari 9% hingga 11% per tahun, dengan pembayaran bunga dilakukan tiap bulan.
Adapun investor yang tertarik dan kemudian menempatkan dana pada promissory note itu, akan mendapat bukti bilyet dan perjanjian tertulis yang ditandatangani Bhakti Salim.
Dana investasi investor masuk melalui rekening PT Bank Central Asia Tbk (BCA) milik Wahana Bersama Nusantara dengan bernomor rekening 54603xxxxx dan 54603xxxxx. Selain itu, dana juga ditampung pada rekening BCA milik Tiara Global Propertindo bernomor 23703xxxxx dan 23705xxxxx.
Sang agen menambahkan, investasi tersebut akan dikelola pada dua perusahaan terbuka milik Grup Fikasa, yakni PT Tri Banyan Tirta Tbk (ALTO) dan PT Saraswati Griya Lestari Tbk (HOTL). Pada kedua emiten itu, Bhakti Salim pun menjabat sebagai Direktur Utama.
“Proyek yang baru selesai itu hotel Renaissance Bali, yang dibiayai dari program ini,” terang sang agen, Maret 2018 lalu.
Dari hasil menjajakan promissory note, sang agen mengaku mendapat komisi sebesar 2% dari nilai penempatan dana investor yang direkrutnya. Sang agen pun masih akan mendapat tambahan fee sebesar 0,5%, apabila investor yang telah direkrutnya, bisa menarik investor baru lainnya.
Sayangnya sang agen tidak bisa menunjukkan apakah promissory note tersebut sudah mengantongi izin dari Bank Indonesia (BI). Sebab sesuai Peraturan Bank Indonesia No.19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang, terutama pada pasal 8, diterangkan bahwa surat berharga komersial baik yang diterbitkan sekali atau berkelanjutan, wajib memperoleh persetujuan pendaftaran dari BI.
Selanjutnya pada pasal 4 Peraturan BI tersebut juga menegaskan pembelian surat berharga komersial oleh investor ditetapkan minimal sebesar Rp 500 juta. Adanya ketentuan pembatasan minimal pembelian merupakan cara regulator untuk menjaring investor yang benar-benar paham risiko investasi (qualified investor).
Saat itu, Kontan.co.id sudah mengonfirmasi Nanang Hendarsah, Kepala Departemen Pendalaman Pasar Keuangan BI. Ia menyatakan memang benar promissory note diatur dan diawasi lembaganya. Namun Nanang belum bisa memastikan status promissory note Wahana Bersama.
"Terima kasih infonya. Akan kami tindaklanjuti," tutur Nanang tiga tahun lalu.
Sekadar catatan, pada 2 Mei 2014 silam PT Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat menghentikan sementara (suspensi) perdagangan saham PT Tri Banyan Tirta Tbk dan PT Saraswati Griya Lestari Tbk. Hal itu terjadi karena BEI menemukan ada promissory note dan medium term note (MTN) yang diterbitkan atas nama kedua perusahaan itu namun tidak dicatatkan pada laporan keuangan masing-masing perusahaan.
Kala itu, manajemen kedua perusahaan menjelaskan bahwa dana hasil penerbitan promissory note dan MTN tidak dipakai oleh kedua perusahaan. Justru dana itu dipakai oleh induk usahanya masing-masing, yang merupakan penerbit asli promissory note dan MTN. Induk usaha HOTL tak lain adalah PT Tiara Global Propertindo dan induk usaha ALTO adalah PT Wahana Bersama Nusantara. (*)