Bikin Malu Riau Negeri Kaya, Tapi Meja Kursi SLB Ditarik Vendor karena Tak Dibayar
SabangMerauke, Pekanbaru - Ada temuan fakta baru terkait kisruh penarikan sejumlah kursi dan meja di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Pekanbaru, Senin (20/6/2022) lalu.
Proyek yang seharusnya melalui proses pelelangan alias ditenderkan itu, diduga dipecah oleh oknum di Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Riau menjadi beberapa paket Penunjukan Langsung (PL) kepada pihak tertentu.
Anggota Komisi I DPRD Provinsi Riau Mardianto Manan saat ditemui, Kamis, menyayangkan hal itu karena dinilai merusak citra pemerintah dan dinas terkait."Bagi saya kejadian ini seperti menampar Riau, negeri yang kaya seakan tak mampu melunasi, bahkan diambil alih kontraktor pengadaan," ujarnya.
Terkait apapun persoalan yang terjadi di antara kedua belah pihak, ia merasalucu pengadaan barang dan jasa pada 2018 tapi baru ditarik di tahun ini.
"Bila seandainya SPK (Surat Perintah Kerja) sudah didapat pada 2018 lalu tidak dibayar oleh pemerintah, harusnya pada masa itu bisa di PTUN-kan secara tata negara, bisa digugat secara hukum,"sebut politisi PAN ini.
Dari info yang didapatkan Mardianto, proyek pengadaan kursi dan meja untuk SLB itu bernilai kontrak lebih kurang Rp1,4 miliar pada 2018 lalu.
"Jumlah Rp1,4 miliar itu dalam proses pengadaan barang dan jasa itu wajib tender. Bila Rp200 juta lebih harus tender, Rp200 juta ke bawah itu PL," sebutnya.
Kendati demikian, masih penjelasan dari Mardianto, konon kabarnya proyek PBJ yang nilainya sekitar Rp1,4 M itu diduga dipecah-pecah menjadi beberapa paket yang nominalnya di bawah Rp200 juta sehingga terjadilah penunjukan langsung.
Menurutnya, penarikan kursi dan meja di SLB Sri Mujinab Pekanbaru itu terjadi karena vendor PBJ sudah terlanjur memasukkan barang tersebut ke sekolah yang ditunjuk, sementara uang tidak bisa dicairkan.
Secara legalitas, Mardianto menilai barang yang dimasukkan ke SLB Sri Mujinab itu tidak ada kekuatan hukum, sebab kontrak hanya ditandatangani salah satu pihak.
"Walaupun kontrak ada, namun pihak lain yang terlibat tak menandatangani, artinya kontrak tidak sah, tak mengikat," terangnya.
Sementara itu, koordinator vendor Hendrik baru mengetahui bahwa pengadaan barang dan jasa tersebut yang seharusnya ditenderkan dan bukan dipecah-pecah menjadi PL. Dalam pengadaan tersebut, dirinya mendapat jatah dua paket pengadaan dengan total nilai Rp240 juta.
"Barang itu satu paket Rp120 juta, dua paket berarti Rp240 juta. Total kerugian saya mengadakan ini hampir Rp200 juta," ujar Hendrik.
Untuk membuat kontrak, Hendrik telah membayar uang sekitar Rp4 juta kepada pembuat kontrak di Dinas Pendidikan.
"Kontrak sudah siap, uang kontrak sudah ku bayar, namun pejabat pengadaan tak mau menandatangani. Rupanya karena barang ini barang lelang dipecah-pecah" kata Hendrik.
Alasan Hendrik baru menariknya setelah empat tahun berlalu, sebab pihak Disdik selalu menjanjikan proyek lainnya, namun tak kunjung dibuktikan.
"Oleh karena itu baru saya lakukan penarikan. Agar cepat selesai dan cepat dibayar. Saya sudah temui pihak Disdik, mereka inginnya diselesaikan dengan baik," pungkasnya.
Saat berusaha diwawancarai awak media, Sekretaris Disdik Riau Tuti Linda Wati menolak untuk ditemui. (*)