Ternyata Inilah Penyebab Harga Sawit Petani masih Murah
SabangMerauke News - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan ekspor produk minyak sawit Indonesia April 2022 sebesar 2.018 ribu ton, lebih rendah dari ekspor April 2021 sebesar 2.636 ribu ton.
“Rendahnya ekspor disebabkan upaya pemerintah menambah pasokan minyak goreng dalam negeri, karena sampai dengan bulan April harga minyak goreng masih belum seperti yang diharapkan,” ujar Direktur Eksekutif GAPKI Mukti Sardjono melalui keterangan tertulis, Kamis, 23 Juni 2022.
Ia menyebutkan harga crude palm oil (CPO) Cif Rotterdam pada April US$ 1.719 yang turun dari US$ 1.813 pada Maret. Sejalan dengan harga, nilai ekspor turun dari US$ 3.513 juta pada bulan Maret menjadi US$ 3.435 juta pada April.
Menurutnya, penurunan ekspor terjadi untuk tujuan ke Pakistan, USA, Cina dan India sedangkan ekspor ke Belanda, Rusia dan Bangladesh naik. Konsumsi dalam negeri menunjukkan kenaikan dari 1.507 ribu ton pada Maret menjadi 1.751 ribu ton pada April.
Mukti berujar kenaikan terbanyak terjadi untuk industri pangan, yaitu dari 635 ribu ton pada Maret menjadi 812 ribu ton pada bulan April, produk biodiesel juga naik dari 1507 ribu ton pada bulan Maret menjadi 1.751 ribu ton pada April. Dalam hal produksi, kata Mukti, terjadi kenaikan produksi CPO sebesar 100 ribu ton dari 3.782 ribu ton pada bulan Maret menjadi 3.882 ribu ton pada bulan April.
“Sedangkan produksi (palm kernel oil) PKO nya naik dari 368 ribu ton menjadi 373 ribu ton. Dengan produksi, konsumsi dan ekspor demikian, diperkirakan stok minyak sawit pada April 2022 mencapai 6.103 ribu ton, naik dari 5.683 ribu ton pada bulan Maret,” tuturnya.
Ia menuturkan dengan cuaca yang relatif mendukung dan harga yang tinggi, momentum kenaikan produksi harus dijaga agar penerimaan mencapai hasil yang optimal. Namun, kenaikan stok perlu diwaspadai untuk mencegah penuhnya tangki akibat larangan ekspor. Menurut Mukti, jika tangki penuh maka pabrik kelapa sawit (PKS) akan berhenti beroperasi. Hal itu akan berakibat pada tidak adanya pembelian TBS petani.
Adapun menurut Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira pabrik CPO masih memprioritaskan serapan tandan buah segar (TBS) yang masih antre akibat pelarangan ekspor sebelumnya. Di sisi lain, turunnya permintaan CPO di luar negeri itu terjadi mengikuti fluktuasi harga acuan CPO yang belakangan mencapai 4.998 RM per ton.
"Sinyal resesi dan naiknya inflasi membuat konsumen dan industri di negara tujuan ekspor mengurangi permintaan CPO dari Indonesia," ujarnya saat dihubungi Tempo, Kamis 23 Juni 2022. (*)