Tapal Batas Desa di Kepulauan Meranti Picu Konflik, Keputusan Dibuat Sepihak Hanya dengan Peraturan Bupati?
SabangMerauke News, Selatpanjang - Sengkarut persoalan tapal batas beberapa desa di Kabupaten Kepulauan Meranti belum menemukan titik terang. Persoalan ini makin berlarut dan runyam tatkala tapal batas hanya diputuskan sepihak dengan penerbitan Peraturan Bupati (Perbup).
Adapun tapal batas desa yang bermasalah adalah antara Desa Anak Setatah dengan Desa Segomeng, Desa Lemang dengan DesaTelaga Baru Kecamatan Rangsang Barat dan antara Desa Pelantai dengan Desa Mekar Sari Kecamatan Merbau.
Persoalan tersebut dibahas dalam rapat Komisi I DPRD Kepulauan Meranti yang dihadiri seluruh anggota komisi, OPD terkait dan kepala desa yang bersangkutan, Rabu (22/6/2022).
Dalam pertemuan itu, para kepala desa meminta kepada DPRD Kepulauan Meranti untuk mencari solusi sengketa tapal batas yang selama ini menjadi dan tak kunjung adanya penyelesaian. Mereka juga tidak ingin sengketa ini berlarut-larut hingga sampai menimbulkan konflik.
Kepala Desa Telaga Baru, Noeradi mengatakan, sejak awal tidak ada persoalan terkait batas desa. Persengketaan tapal batas dengan Desa Lemang karena peta desa sebelumnya sudah berubah-ubah dan tidak sesuai lagi dengan peta yang ditandatangani Gubernur Riau.
"Kami hadir untuk menunjukkan bukti hukum batas desa yang dipertikaikan saat ini sebagai legalitas batas desa. SK Desa Telaga Baru yang ditandatangani oleh Gubernur Riau tahun 1993 dilengkapi dengan peta desa," ujarnya.
Menurutnya, polemik terjadi pada tahun 2019 karena peta sudah diotak atik dengan pembuatan peta desa dibiayai oleh Pemdes sebesar Rp 40 juta.
"Dan di tahun 2021, dibuat lagi peta desa dengan menghabiskan anggaran Rp 35 juta. Oleh karena itu, hampir seluruh masyarakat Telaga Baru menolak tegas adanya upaya pemindahan tapal batas desa ini," ujar Noeradi.
Menurutnya, penetapan batas desa yang diatur melalui Perbup dinilai sangat merugikan dan terkesan berat sebelah.
"Tapal batas desa kami yang sudah ditetapkan dan diatur dalam Perbup sangat tidak adil dan terkesan berat sebelah. Dimana banyak aset desa kami yang hilang yang sudah kami danai menggunakan APBDes yang nilainya mencapai ratusan juta," jelasnya.
Pihaknya merasa kecewa dan sangat menyesalkan ulah tim survei dari kabupaten yang merubah peta desa atau tapal batas desa secara sepihak sehingga merugikan sejumlah desa dan terkesan berpihak salah satu desa. Sehingga kata Noeradi, keputusan bupati untuk menyelesaikan, malah menimbulkan persoalan dan berdampak buruk kepada bupati," ungkapnya.
Sementara itu, Sekretaris Desa Anak Setatah, Tut Irawan mengatakan, mediasi antara Desa Segomeng dengan Desa Anak Setatah untuk menyepakati tentang tapal batas desa tidak mendapat kesepakatan.
Diceritakan ketika tapal batas desa ini diserahkan ke pihak kecamatan juga tidak bisa diselesaikan, sehingga pihak kecamatan mengajukan ke Tim PPB Des Kabupaten yang langsung diketuai Asisten III, Sudandri Jauzah untuk langsung turun ke lokasi pada tanggal 14 Desember 2021.
Setelah turun bersama tim yang ditunjuk oleh Dinas PMD selaku pihak ke tiga untuk melakukan pemetaan, maka rencana pemetaan atas hasil survei Tim PPB Des bersama tim kecamatan yang dihadiri oleh pihak aparat hukum kepolisian, setelah itu terbitlah peta rencana pada bulan April 2021.
"Seyogyanya berdasarkan peta rencana ini kami rujuk ke peta asal Anak Setatah, dan kami membantu pihak kabupaten untuk menyelesaikan ini. Jika berdasarkan peta lama tahun 1961 yang disahkan pada tahun 1963, maka wilayah desa anak setatah tidak seperti ini, lebih luas lagi. Sudah ¼ wilayah Desa Anak Setatah diberikan kepada Desa Segomeng. Selanjutnya terbitlah Peraturan Bupati Nomor 043 tahun 2022 tentang penetapan tapal batas Desa Anak Setatah. Terbitnya Perbup ini tidak dipersoalkan sebelumnya, akan tetapi setelah melihat peta, terjadi perubahan masuknya sekitar 600 meter dari Jalan Poros menuju ke Dusun Padi batas wilayah Desa Segomeng yang mengurangi luas wilayah Desa Anak Setatah," ungkap Tut Irawan.
"Kepala Desa Segomeng bisa saja diintervensi oleh beberapa oknum dari masyarakat Segomeng, begitu juga dengan Bupati. Akan tetapi, Desa Anak Setatah memiliki hak dan memiliki wewenang atas wilayah kami dan juga memiliki ketentuan hukum, maka kami tidak dapat memberikan wilayah tersebut kepada Desa Segomeng atas Peta Desa yang diterbitkan lewat Peraturan Bupati. Untuk itu kami minta kepada tim PPB Des untuk mereview ulang tentang tapal batas desa antara Anak Setatah dengan Segomeng. Maunya masyarakat kami adalah mempertahankan peta desa terbitan tahun 1961," ungkapnya lagi.
Kepala Desa Pelantai, Khairi mengatakan Desa Mekar Sari merupakan pemekaran dari Desa Pelantai pada tahun 2004, pada saat itu juga langsung dibuatkan peta tapal batas desa yang dihadiri oleh konsultan.
Diceritakan, pada saat itu kepala Desa Mekar Sari tidak mau hadir tanpa ada alasan. Pihak Desa Pelantai melanjutkan pengukuran, namun setelah berkoordinasi pihak Desa Mekar Sari tetap tidak mau melakukan pengukuran.
"Hingga saat ini batas desa antara Pelantai dengan Mekar Sari tidak diukur sama sekali oleh tim tapal batas Mekar Sari, yang sangat disayangkan dan disesalkan adalah peta terbit tanpa adanya pengukuran dari konsultan. Sewaktu Desa Mekar Sari di mekarkan tahun 2004, dan tidak mencukupi KK sehingga diadakan negosiasi bahwa warga yang berada di Desa Pelantai,
Akan tetapi Tapal Batas Desa tetap batas alam. Sehingga sampai hari ini, penduduk berdomisili di Desa Pelantai, namun secara administrasi mereka berada diwilayah Desa Mekar Sari.
"Sejak 15 tahun berlalu tidak pernah terjadi persoalan tapal batas desa ini. Akan tetapi, ketika Jais digantikan dengan Herman selaku kepala desa yang baru menjabat, batas telah berubah bahwa Desa Mekar Sari dari tapal batas desa pertama ke arah Desa Pelantai seluas 150 meter diklaim sebagai hak Desa Mekar Sari dengan alasan ada penduduk mereka berdomisili di situ. Padahal mereka lupa adanya kesepakatan terdahulu terkait kurangnya KK pada pemekaran Desa Mekar Sari. Pada tahun 2006," ungkap Khairi.
Terkait hal itu, pihak Desa Pelantai meminta kepada Pemkab Kepulauan Meranti untuk menetapkan peta batas desa seperti awal.
"Kami Desa Pelantai meminta kepada Pemkab Kepulauan Meranti agar tapal batas Desa Pelantai tetap seperti peta yang ditandatangani oleh mantan Bupati Bengkalis, Syamsurizal. Karena tapal batas Pelantai dengan Meranti Bunting, Sungai Tengah dan Lukit tidak ada masalah. Selain itu kami membuat peta kembali dengan mempertemukan kepala Desa Mekar Sari dengan sesepuh pemekaran dan tidak ada perubahan, masih tetap mengacu pada panduan peta yang lama," ujarnya.
Batas Desa Jangan Diselesaikan Secara Politis
Menanggapi persoalan tersebut, Ketua Komisi I DPRD, Tengku Mohd Nasir mengatakan Pemkab Kepulauan Meranti harus serius mengatasi persoalan tapal batas desa tersebut.
"Kami minta Pemda lebih serius dalam mengatasi persoalan ini. Jangan sampai kebijakan yang diambil terkait tapal batas ini bernuansa politis sehingga menyusahkan masyarakat, persoalan ini harus diselesaikan secara adil. Komisi I tidak memihak ke desa manapun terkait persoalan ini, kami hanya meminta persoalan ini diselesaikan dengan cara yang terbaik," kata Tengku Mohd Nasir.
Sementara itu anggota DPRD, Dedi Putra memberikan opsi untuk menjawab keluhan dengan dilakukannya mediasi dan keluhan tersebut nantinya akan disampaikan kepada Bupati.
"Bahwa apabila terjadi perselisihan yang tidak dapat didudukkan, 6 bulan setelah itu Bupati telah bisa membuat keputusan dan ini tidak bisa digugat lagi oleh karena itu, untuk mengubah ini perlu duduk bersama. Kita coba langsung duduk bersama saat ini, Anak Setatah dengan Segomeng, yang saat ini sekitar 600 meter wilayah Anak Setatah menjadi wilayah Segomeng. Mau tidak kira-kira disepakati agar Segomeng membagi wilayah 600 meter ini ke Anak Setatah, sehingga sama-sama menang. Masing-masing Kades menghadap bersama ke Bupati menyampaikan apa saja batas desa yang disepakati, dan persoalan ini selesai," ujarnya.
"Begitu juga Desa Pelantai dan Mekar Sari, Desa Lemang dengan Telaga Baru. Yang namanya kebijakan diperlukan orang cerdas dan berhati mulia dalam membuat kebijakan, itu yang diminta kepada Dinas PMD dan Bagian Hukum. Klausul dalam setiap keputusan pasti ada, hal tersebut dikarenakan manusia memiliki sifat salah dan silap. Perbup ini tidak mungkin tidak bisa dirubah. Diminta kepada Pemda apapun keputusan yang dibuat inkrah dan pasti berdasarkan kesepakatan bersama.
Karena kita tidak mau lagi hal yang disahkan oleh Bupati A, besok berganti Bupati B keputusannya berubah lagi, jangan sampai masyarakat berkonflik akibat kebijakan yang dikeluarkan, dan ini menjadi masalah. Oleh karena itu, diminta kepada semua pihak untuk membuka pikiran untuk menyelesaikan ini," ujarnya lagi.
Anggota Komisi I lainnya, H Hatta mengatakan jika dasar yang dipakai adalah Peraturan Bupati (Perbup) maka tidak ada lagi yang diperdebatkan dan diperebutkan lagi. Sehingga solusi yang paling baik itu menurutnya adalah membuka pikiran untuk menyepakati hal itu.
"Dari seluruh pembicaraan, ini sudah jelas apabila antar desa bertikai terkait tapal batas, Perbup lah yang dipakai sebagai dasar hukum. Apa yang direbutkan dari tapal batas tersebut? tambang emas, minyak atau apa?. Jika persoalan administrasi kependudukan masyarakat, tentu dapat diperbaiki saja administrasi kependudukannya. Namun ada apa sebenarnya di wilayah perbatasan ini. Jikalau ini merupakan keinginan masyarakat, selaku kepala desa harus dijembatani dan buka pkiran untuk menyepakati hal ini. Jika tidak ada kesepakatan antar desa ini selama 6 bulan, maka itulah hak veto Bupati untuk memutuskan berdasarkan Permendagri," jelasnya.
"Jika sudah antar desa sudah ada kesepakatan maka Komisi I siap memediasi hingga ke Bupati Kepulauan Meranti dan mendukung atas keputusan demi kenyamanan bersama. Jika ditinjau, jelas ini bisa dirubah asal ada kesepakatan supaya ketika Bupati merubah Perbup terkait batas desa ini, tidak ada lagi tuntutan dan gejolak yang timbul ditengah masyarakat lagi. Selagi tidak ada kesepakatan secara damai, maka tidak akan berubah Perbup tersebut. itu saja kuncinya," pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pemerintah Desa, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa, H Edy M Nur mengatakan batas desa tidak perlu diperdebatkan, sehingga diharapkan kepala desa dapat meredam setiap konflik yang terjadi.
"Kami menyampaikan bahwa perlu dipahami, terkait batas Dldesa ini hanyalah batas administrasi saja, ini bukan merupakan konflik batas antar negara yang harus berdarah-darah untuk dibela. Selaku pemimpin di desa harus dapat meredam konflik yang terjadi," ujarnya.
Terhadap keputusan yang telah dibuat berdasarkan Peraturan Bupati, masih bisa ditinjau ulang. Sementara kepala desa diminta untuk melepaskan masing-masing egonya.
"Terhadap keputusannya apa, kami tidak bisa menyampaikan apa pertimbangan terkait dengan Perbup yang dikeluarkan
ini karena tidak terlibat langsung. Sehingga apa yang disampaikan tadi cenderung untuk dimediasi bahwa batas desa ini perlu ditinjau ulang. Terkait keputusan yang berkekuatan hukum seperti penetapan Perbup ini, diperlukan kedekatan emosional dalam menyampaikan kepada Bupati, mengingat didalam aturan Permendagri yang disebutkan tadi merupakan kewenangan Bupati dalam menentukan batas desa jika tidak ditemukan kata sepakat oleh masing-masing kedua belah pihak desa. Untuk itu antara kepala desa mohon jangan kedepankan ego dan kepentingan dalam menyepakati tapal batas desa, selesaikan dengan cara saling terbuka," kata H Edy.
"Sekali lagi, kepada Kades mohon melepaskan kepentingannya. Jika sebelumnya tapal desa belum mempertimbangkan kondisi sosiologinya, karena ada beberapa penduduk yang rentang kendalinya jauh ke desa A perlu dipindahkan ke desa B, dan ini tidak menjadi persoalan. Oleh karena itu peta tersebut disebut dengan peta partisipatif agar masing-masing pihak desa bisa duduk bersama menyepakati tersebut," pungkasnya. (R-01)