Unjuk Rasa Tanpa Pemberitahuan Diancam 1 Tahun Penjara, Pasal Rancangan KUHP Ancam Kebebasan
SabangMerauke News - Rancangan KUHP kembali menyentak publik. Sebab, pasal-pasal yang mengekang hak-hak bagi publik menyampaikan kritikan ke negara muncul dengan ancaman penjara. Salah satunya soal demonstrasi tanpa izin.
Draft terakhir yang beredar saat ini adalah draft Rancangan KUHP 2019. Pemerintah dan DPR hingga hari ini enggan membukanya ke publik tanpa alasan yang jelas. Padahal, rencananya akan disahkan bulan depan.
Salah satunya pasal 273 yang berbunyi:
Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
Penjelasan Pasal 273 yaitu:
Yang dimaksud dengan "pawai" adalah arak-arakan di jalan, misalnya pawai pembangunan.
Delik di atas berubah dari yang diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Sebab dalam UU 9/1998, domonstrasi tanpa izin cukup dikenakan tindakan administrasi yaitu pembubaran. Pasal 15 UU Nomor 9/1998 berbunyi:
Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dibubarkan apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10 dan Pasal 11.
Pasal 10 yang dimaksud yaitu:
(1)Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri.
(2)pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok.
(3)pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambatlambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat.
(4)Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.
Ketua YLBHI, M Isnur, sangat menyayangkan adanya delik pidana bagi demonstrasi tanpa izin. Sebab banyak demonstrasi yang dilakukan spontan sebagai bentuk aksi.
"Kalau kasus penggusuran, kadang masyarakat tidak tahu kapan akan digusur. Lalu bagaimana mengurus izin demonya?" kata Isnur.
Selain itu, frase 'yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara' juga multitafsir. Kerap aparat memakai alasan kemacetan jalan untuk menindak demonstran.
"Ini yang sangat dikhawatirkan," pungkas M Isnur. (*)