Daftar Gunung Utang BUMN, Ada yang Utangnya Lebih Besar dari Aset
SM News, Jakarta - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan 'pelat merah' memiliki utang yang menumpuk. Selama lima tahun terakhir (2016-2020), BUMN terus menumpuk utang.
Ditambah lagi pandemi Covid-19 yang mengakibatkan perusahaan milik negara tersebut menanggung lebih banyak utang.
Pada 2020, total kewajiban perusahaan pelat merah mencapai Rp 6.710 triliun atau meningkat 9,6 persen dibandingkan pada 2019.
Berikut daftar BUMN yang menanggung utang menggunung dilansir dari Kompas.com:
1. PT. PLN
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) diketahui memiliki utang sebesar Rp 649,2 triliun berdasarkan laporan keuangan hingga akhir 2020.
Dikutip dari Kompas.com, Rabu (26/5/2021), jumlah tersebut terdiri dari utang jangka panjang sebesar Rp 499,58 triliun dan utang jangka pendek Rp 149,65 triliun.
Berdasarkan laporan keuangan PLN, utang jangka panjang PLN didominasi oleh obligasi dan sukuk sebesar Rp 192,8 triliun, utang bank sebesar Rp 154,48 triliun, utang imbalan kerja Rp 54,6 triliun, liabilitas pajak tangguhan Rp 31,7 triliun, dan penerusan pinjaman Rp 35,61 triliun.
Kemudian, ada pendapatan ditangguhkan Rp 5,6 triliun, utang sewa Rp 14 triliun, utang kepada pemerintah dan lembaga keuangan non bank Rp 3,6 triliun.
Berikutnya, yakni utang listrik swasta Rp 6 triliun, utang KIK-EBA Rp 655 miliar, utang pihak berelasi Rp 9,4 miliar, dan utang lain-lain Rp 182 miliar.
2. PT Perkebunan Nusantara (PTPN)
Dihimpun dari Kontan, Kamis (23/92021), PTPN memiliki total utang mencapai Rp 43 triliun.
Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, adanya potensi perilaku koruptif dibalik utang jumbo yang dimiliki oleh PTPN.
Dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR RI, Erick mengungkapkan, utang yang menggunung di BUMN kebanyakan adalah utang lama.
Erick mencontohkan, utang di PTPN yang mencapai Rp 43 triliun sebagai penyakit lama, yang perlu diselesaikan dalam beberapa tahap.
Dia pun mencium ada korupsi terselubung di balik utang jumbo tersebut.
3. PT Waskita Karya
Dilansir dari Kontan, Jumat (26/3/2021), BUMN konstruksi, PT Waskita Karya juga tengah dalam kondisi sulit.
Sepanjang 2020, emiten berkode WSKT tersebut mengantongi pendapatan sebesar Rp 16,19 triliun, turun 48,42 persen dari realisasi pada 2019 yang mencapai Rp 31,39 triliun.
Penurunan pendapatan turut menekan bottom line WSKT. Apalagi jumlah beban pokok lebih besar dari pendapatan yang dibukukan yaitu mencapai Rp 18,17 triliun.
Padahal pada 2019 anggota indeks Kompas100 ini, masih membukukan laba bersih sebesar Rp 938,14 miliar.
Beban terus menekan kinerja keuangan lantaran adanya kenaikan beban umum dan administrasi dari Rp 1,32 triliun menjadi Rp 1,66 triliun. Kemudian beban lain-lain WSKT juga tercatat naik signifikan dari Rp 197,8 miliar menjadi Rp 1,38 triliun.
Per akhir 2020, Waskita Karya tercatat memiliki jumlah liabilitas sebesar Rp 89,01 triliun.
Liabilitas tersebut didominasi oleh liabilitas jangka pendek yaitu mencapai Rp 48,24 triliun. Sementara itu jumlah ekuitas WSKT tercatat sebesar Rp 16,58 triliun.
4. PT Krakatau Stell
Dilansir dari Kompas.com, Rabu (29/9/2021), akumulasi utang KRAS yang dimulai pada 2011-2018 mencapai Rp 31 triliun.
KRAS terus melakukan pembenahan di seluruh lini dan aktivitas usaha.
Manajemen baru Krakatau Steel telah melakukan restrukturisasi utang pada Januari 2020 sehingga beban cicilan dan bunga menjadi lebih ringan guna memperbaiki kinerja keuangan.
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengatakan, proses pembenahan Krakatau Steel ini membutuhkan waktu setidaknya tiga tahun untuk melihat hasilnya.
5. PT Garuda Indonesia
Diberitakan Kompas.com, Selasa (9/11/2021), kondisi keuangan Garuda Indonesia saat ini memiliki ekuitas negatif sebesar 2,8 milliar dollar AS atau sekitar Rp 40 triliun per September 2021.
Saat ini, liabilitas atau kewajiban Garuda Indonesia mencapai 9,8 miliar dollar AS, sedangkan asetnya hanya sebesar 6,9 miliar dollar AS.
Dengan kata lain, perusahaan memiliki utang yang lebih besar ketimbang asetnya.
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoarmodjo bahkan menyebut, PT Garuda Indonesia secara teknis sudah mengalami bangkrut, namun belum secara legal.
Ia menjelaskan, liabilitas Garuda Indonesia mayoritas berasal dari utang kepada lessor yang nilainya mencapai 6,35 miliar dollar AS.
Selebihnya, ada utang ke bank sekitar 967 juta dollar AS, dan utang dalam bentuk obligasi wajib konversi, sukuk, dan KIK EBA sebesar 630 juta dollar AS. (*)