Demo ke DLHK Riau Tak Tepat Sasaran, Praktisi Hukum: Pahami Dulu Undang-undang Cipta Kerja di Sektor Kehutanan dan Turunannya!
SabangMerauke News, Pekanbaru - Sejumlah aksi demo yang digelar oleh kelompok tertentu ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau dalam kurun sebulan terakhir, dinilai tidak tepat sasaran. Pendemo diduga tidak memahami tentang regulasi baru di sektor kehutanan pasca-pemberlakuan Undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan produk ketentuan turunannya.
Hal tersebut disampaikan praktisi hukum yang juga pegiat agraria, Marthen Ade SH menanggapi beruntunnya aksi demo ke Dinas LHK Riau dalam beberapa pekan terakhir. Di antaranya, demo menuntut pencabutan izin PT Inecda dan PT Indrawan Perkasa yang beroperasi di Indragiri Hulu.
BERITA TERKAIT: Wow! Menteri LHK Terjunkan 439 Personil Mendata Kebun Sawit Ilegal di Kawasan Hutan Riau, Tapi Pemda Tak Dilibatkan
Menurut Marthen Ade, tujuan demo tersebut sumir dan tidak relevan. Pasalnya, tuntutan pendemo menyangkut perizinan sektor perkebunan kelapa sawit. Sementara, tupoksi Dinas LHK tidak berkaitan dengan perkebunan, namun pada aspek kehutanan, itu pun kewenangannya sangat terbatas saat ini.
"Seharusnya, demo ditujukan pada instansi sektoral yang terkait dan yang mengurusi persoalan yang dituntut tersebut. Jadi, agak aneh kalau yang didemo itu Dinas LHK," kata Marthen.
Menurutnya, demo tersebut pun terkesan tendensius, bias dan subjektif. Apalagi, tuntutannya secara mendadak ingin mencopot Kepala Dinas LHK Riau. Ia menduga bisa jadi demo tersebut dijadikan alat kepentingan tertentu yang ingin menekan Dinas LHK.
"Secara mendadak, ujug-ujug para pengunjuk rasa meminta Kadis LHK Riau dicabut. Tapi, substansi persoalannya justru tidak tepat dan tidak relevan. Apa yang menjadi latar belakangnya juga tidak diketahui dengan pasti secara substantif. Jangan sampai ini dinilai aksi akrobatik," tegas Marthen.
Ia menilai, kebebasan berekspresi kini memang menjadi hak masyarakat dan mahasiswa. Namun, kebebasan tersebut harusnya berlandaskan pada data dan analisis fakta yang melandasi tuntutan.
"Kebebasan itu harusnya tidak melukai, menuduh dan menuding tanpa fakta yang jelas. Ini akan kontraproduktif dan bisa berisiko," kata Marthen.
Soal banyaknya tekanan kepada Dinas LHK Riau menyangkut tanggung jawab di sektor kehutanan, Marthen mengingatkan agar pihak-pihak tersebut mestinya memahami secara utuh dan terang soal kewenangan sektor kehutanan pasca-penerapan Undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Menurut Marthen, dengan beleid tersebut, tanggung jawab dan kewenangan Dinas LHK Provinsi menjadi amat terbatas. Kewenangan pokok yang lebih luas sektor kehutanan, justru dipegang dan berada di Kementerian LHK di Jakarta.
"Publik perlu memahami secara utuh kalau kewenangan daerah di sektor kehutanan itu menjadi sangat terbatas dan lebih banyak dikendalikan oleh Kementerian LHK," tegas Marthen.
Marthen juga menyinggung soal Peraturan Pemerintah (PP) nomor 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan. Dengan PP tersebut, aspek pidana kehutanan telah bersifat ultimum remidium. Yakni penyelesaian masalah dengan pendekatan perdata dan administratif. Dimana proses tersebut saat ini sedang dijalankan oleh Kementerian LHK bersama instansi pusat terkait lainnya.
Pemprov Riau Tak Dilibatkan
Marthen Ade mencontohkan soal tidak dilibatkannya secara struktural Dinas LHK Riau dalam Tim Identifikasi dan Konsolidasi Kegiatan Usaha yang Tidak Memiliki Perizinan Bidang Kehutanan di Provinsi Riau. Tim tersebut dibentuk oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya berdasarkan Surat Keputusan nomor: SK.331/Men-LHK/Setjen/Kum.0/4/2022 tanggal 14 April 2022.
Menurut Marthen, tidak dilibatkannya unsur pemda di Riau dalam tim tersebut sebagai bentuk dominasi kewenangan Kementerian LHK di sektor kehutanan. Hal tersebut mencerminkan kalau memang kewenangan daerah di sektor kehutanan jadi amat terbatas.
"Bayangkan saja, pemda tak terlibat dalam tim yang ditugaskan untuk melakukan pendataan kawasan hutan di wilayahnya sendiri. Jadi, bagaimana mungkin, kewenangan lain dituntut ke Dinas LHK Riau. Seharusnya, lebih tepat tuntutan disampaikan ke Kementerian LHK," tegas Marthen.
Diwartakan sebelumnya, Menteri LHK Siti Nurbaya telah meneken surat tugas Tim Identifikasi dan Konsolidasi Kegiatan Usaha yang Tidak Memiliki Perizinan Bidang Kehutanan di Provinsi Riau pada 28 April 2022 lalu.
Dalam surat tugas tersebut, hanya menugaskan pejabat dan pegawai dari unsur Kementerian LHK. Sementara, unsur pemerintah daerah (provinsi/ kabupaten dan kota) tidak terlibat di dalam tim.
"Melaksanakan identifikasi dan konsolidasi data dan informasi kegiatan usaha terbangun dan tidak memiliki perizinan bidang kehutanan di Provinsi Riau" demikian perintah yang tercantum dalam surat tugas tersebut.
Adapun identifikasi dan pendataan yang dilakukan, tidak saja soal keberadaan perkebunan ilegal. Namun juga menyasar usaha lain yakni sektor pertambangan dan kegiatan ilegal lain tanpa izin.
Dalam butir kedua surat tugas tersebut, tim hanya ditugaskan melakukan koordinasi dan komunikasi dengan bupati dan pengelola kawasan hutan serta pihak lain yang terkait dengan tugas identifikasi usaha ilegal tanpa izin kehutanan. Tidak tercantum soal koordinasi tim dengan Gubernur Riau sebagai otoritas wilayah di Riau.
Adapun durasi waktu kerja tim identifikasi dan pendataan ini dibatasi hanya sekitar 72 hari. Yakni, tim mulai bekerja sejak 19 Mei hingga 31 Juli mendatang dan harus melaporkannya ke Dirjen Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK selaku Ketua Tim Identifikasi dan Konsolidasi Kegiatan Usaha Ilegal di Kawasan Hutan serta Menteri LHK sebagai tembusan. (*)