Gajah Mati dan Konflik Harimau vs Manusia Berkecamuk, Jikalahari: Evaluasi dan Cabut Izin APP Grup, BBKSDA Riau Gagal!
SabangMerauke News, Pekanbaru - Organisasi lingkungan hidup Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengevaluasi izin korporasi hutan tanaman industri APP Grup.
Hal tersebut menyusul tewasnya kembali seekor Gajah Sumatera betina bersama anak dalam kandungannya di dalam konsesi PT Riau Abadi Lestari, Desa Koto Pait Beringin, Kecamatan Talang Mandau, Kabupaten Bengkalis, pekan lalu.
Gajah Sumatera tersebut mati dengan mengeluarkan darah dari mulut dan anusnya. Diperkirakan gajah itu berumur 25 tahun dan diduga tewas karena diracun.
“Ini bentuk kegagalan PT Riau Abadi Lestari menjaga konsesinya dari perburuan satwa liar. Konsesi PT Riau Abadi Lestari tidak aman bagi satwa liar yang berada di sekitar landskap Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil,” kata Okto Yugo Setiyo, Wakil Koordinator Jikalahari lewat rilis, Kamis (2/6/2022).
Berdasarkan catatan Jikalahari, kasus kematian Gajah Sumatera ini, bukan kali pertama terjadi di konsesi APP Grup. Sebelumnya pada 2016 lalu, seekor gajah betina umur 25 tahun mati dalam kubangan air di Distrik II Duri.
Lalu pada November 2019, seekor gajah jantan berumur 40 tahun mati dengan kepala terpisah dari badannya di konsesi PT Arara Abadi Distrik II Duri.
Suaka Margasatwa (SM) Giam Siak Kecil (GSK), kata Okto Yugo dikelilingi oleh 7 anak perusahaan APP Grup. Yakni PT Arara Abadi, PT Balai Kayang Mandiri, PT Bukit Batu Hutani Alam, PT Riau Abadi Lestari, PT Rimba Mandau Lestari, PT Satria Perkasa Agung dan PT Sekato Pratama Makmur. Total luas konsesi APP Grup di Blok GSK seluas 287.204 hektar.
Menurut Jikalahari, keberadaan korporasi APP Grup mengakibatkan deforestasi di blok GSK dan menghancurkan habitat Harimau Sumatera dan gajah yang ada. Hasil analisis Jikalahari pada 2019, dari 888.965 hektar luas blok GSK, saat ini tinggal 137.265 hektar hutan alam.
“Secara langsung maupun tak langsung, PT Riau Abadi Lestari termasuk APP Grup turut serta melakukan pemusnahan satwa liar dilindungi oleh hukum Indonesia dengan membiarkan pemburu masuk ke konsesinya. Juga telah merusak hutan alam sebagai habitat satwa liar,” kata Okto.
Konflik Harimau Sumatera di APP Grup
Selain kematian gajah, konflik Harimau Sumatera dan manusia kerap terjadi di konsesi APP Grup.
Di antaranya terjadi pada 23 Mei 2019 lalu, dimana seorang warga bernama M Amri meninggal di kanal sekunder 41 konsesi PT Riau Indo Agropalma (RIA) APP Grup di Desa Tanjung Simpang, Pelangiran, Indragiri Hilir.
Kasus kedua terjadi pada 25 Agustus 2019. Warga bernama Darmawan alias Nang berusia 36 tahun itu tewas diterkam harimau di areal PT Bhara Induk (APP Grup) di Dusun Sinar Danau, Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran.
Kejadian ketiga yakni pada 24 Oktober 2019. Seorang buruh bernama Wahyu Kurniadi asal Aceh yang bekerja di perusahaan kontraktor PT Kencholin Jaya rekanan PT RIA (APP Grup), diterkam harimau di areal kerja PT RIA, Kecamatan Pelangiran, Indragiri Hilir.
Kasus terakhir terjadi pada 30 Januari 2020. Darmawan (42) tewas dimangsa Harimau Sumatera saat mencari kayu di konsesi PT Bhara induk (APP Grup), Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran, Inhil.
“Matinya Gajah Sumatera akibat perburuan dan terus bertambahnya korban konflik Harimau Sumatera dan manusia di konsesi APP Grup, perlu direspon oleh Menteri LHK dengan mengevaluasi dan mencabut izin untuk mengembalikan habitat satwa liar yang dilindungi,” kata Okto.
Jikalahari juga menyorot kegagalan BBKSDA Riau dalam menjalankan tugasnya.
“Ini juga bentuk kegagalan BBKSDA Riau mencegah terjadinya kematian satwa dilindungi di dalam konsesi HTI," kata Okto.
Jikalahari kata Okto Yugo, mendesak Menteri LHK segera menerbitkan peraturan khusus mengenai pencegahan kematian satwa dilindungi di dalam konsesi HTI.
“Agar ke depan pencegahan kematian satwa dilindungi tidak terjadi lagi. Dan kolaborasi multipihak khusus antar pemerintah pusat dan daerah mutlak diperlukan," pungkas Okto. (*)