Dugaan Korupsi Bansos Siak: Antara Fakta dan Bayang-bayang Sandera?
SabangMerauke News - Hampir dua tahun sudah proses hukum dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) Kabupaten Siak naik ke tahap penyidikan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau. Pada September tahun ini, penyidikan kasus akan berulang tahun yang kedua.
Selama proses itu pula, puluhan kali demonstrasi digelar sejumlah kelompok massa. Aksi demonstrasi tak hanya digelar di Kota Pekanbaru, namun juga di Jakarta.
Tuntutannya hampir sama: memeriksa Gubernur Riau, Syamsuar dan mengevaluasi kinerja Kepala Kejati Riau, Jaja Subagja. Sejumlah nama disebut sebagai orang-orang dekat Syamsuar, ikut terseret di dalam pusaran kasus ini.
Kasus dugaan korupsi yang disidik oleh Kejati Riau ini, terjadi saat Gubernur Syamsuar menjabat sebagai Bupati Siak. Disebut-sebut lebih dari Rp 57 miliar dana bansos digelontorkan untuk belasan kelompok penerima. Mulai dari ormas kepemudaan, penyandang cacat, fakir miskin dan beasiswa pendidikan serta sejumlah item lainnya.
Perkara ini naik ke penyidikan saat Kajati Riau dijabat oleh Mia Amiati. Belakangan, Mia dipromosi menjadi salah satu pejabat di lingkaran Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel).
Terakhir, beberapa bulan lalu, Mia dipromosi menjadi Kajati Jawa Timur. Sementara, Asisten Pidana Khusus Kejati Riau, saat itu dijabat oleh Hilman Azasi yang dimutasi ke Kejati Nusa Tenggara Barat (NTB).
Bisa dikatakan, Kajati Riau saat ini Jaja Subagja hanya menerima 'PR' lama dari pejabat sebelumnya. Meski demikian, di awal menjabat pada 17 Februari 2021 lalu, Jaja berjanji akan mengusut tuntas perkara ini.
Kejaksaan Tinggi Riau berdalih, penyidikan kasus ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Alasannya, penyidik harus memeriksa satu per satu orang dan kelompok penerima dana bansos yang jumlahnya mencapai ribuan orang.
Belakangan, Kejati Riau melalui Asisten Intelijen Raharjo Budi Kisnanto menyebut kalau pihaknya sedang menunggu hasil perhitungan kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sebelum menetapkan siapa tersangka dalam kasus ini. Sampai kapan BPKP merampungkan hasil auditnya, belum diketahui secara pasti.
Yang jelas, sepanjang kasus dugaan korupsi bansos ini naik ke proses hukum, beragam dinamika sosial terjadi. Warna-warni demonstrasi, apapun motif di baliknya menghiasi pemberitaan di media konvensional maupun media sosial.
Secara sosial politik, kasus ini telah menyerap banyak energi, kegusaran, syak wasangka dan juga derita, khususnya bagi pihak yang namanya disebut-sebut dalam perkara tersebut.
Secara khusus, bagi Gubernur Syamsuar, perkara yang menyeret-nyeret namanya ini telah menjadi beban sosial dan politik. Di tengah proses penyidikan yang berlangsung lama dan panjang, namanya kian terus terbawa-bawa.
Citranya terancam tergerus oleh opini yang terbangun. Prasangka publik terbangun meredupkan tagline-nya saat menjadi Gubernur Riau: Membangun Riau Lebih Baik. Publik bahkan mulai memprediksi karir politik Syamsuar di 2024 mendatang.
Penegakan hukum seyogianya adalah olah fakta dan data. Ia berjalan dalam ranah yang jelas dan mesti terukur, tidak remang-remang. Alur dan tahapannya mestinya pasti, tidak mengada-ada, apalagi merekayasa.
Kita mendukung penegakan hukum yang beradab, tegas dan keras. Apalagi, dalam kasus dugaan korupsi yang membuat rakyat susah dan kian merana, hukum harus menjadi pedang keadilan.
Siapapun pelakunya, harus dihadapkan ke muka hukum, diberi ganjaran dan sanksi yang setimpal, termasuk efek jera. Penegakan hukum, utamanya dalam kasus korupsi sebagai tindak kejahatan luar biasa, harus berjalan maju, tak boleh main lobi-lobi.
Tapi harus diakui, efek samping penegakan hukum yang menyangkut kalangan pejabat elit daerah itu sangat nyata. Era keterbukaan informasi dan serangan badai media sosial membuat opini yang terbentuk seakan menjadi sesuatu kebenaran.
Kian sering demo kasus korupsi digelar hingga berjilid-jilid, maka publik kian 'terhasut' untuk mempercayai isu korupsi itu. Asas hukum praduga tak bersalah (presumption of innocence), kini seakan hanya teori belaka. Opini publik menjadi segala-galanya.
Maka, dengan semakin lamanya waktu tunggu proses penyidikan kasus dugaan korupsi bansos Siak ini, tak pelak akan semakin merugikan reputasi dan citra Gubernur Syamsuar.
Pemberitaan yang gencar ke segala penjuru, membangun stigma keterlibatan Ketua DPD I Partai Golkar Provinsi Riau itu, seakan-akan terlibat dalam pusaran perkara.
Padahal, itu semua masih sekadar praduga. Namun, praduga itu bisa bermetamorfosis menjadi alat sandera. Kelompok kepentingan akan terus memainkannya untuk ragam motif dan tujuan.
Dalam kondisi ini, posisi Kejati Riau harus jelas dan lugas. Jangan sampai publik berasumsi Korps Adhyaksa sengaja mengulur proses hukum yang berlangsung.
Percepatan penyidikan harus digesa. Siapa aktor dugaan korupsi ini harus dibuka. Agar jelas dan pasti siapa pelakunya. Jangan sampai proses hukum ditunggangi menjadi alat sandera.
Kita ingat adagium hukum tafsiran asas In Dubio Pro Reo: Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah, daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. (*)