Malaysia Krisis Buruh Kelapa Sawit, Indonesia Batal Kirimkan TKI: Perbudakan Modern?
SabangMerauke News - Indonesia membatalkan rencana mengirim warga untuk bekerja di perkebunan sawit di negara tetangga Malaysia, yang sedang menghadapi kekurangan tenaga kerja.
Malaysia sedianya akan menyambut gelombang besar pertama pekerja migran dari Indonesia sejak pembukaan kembali perbatasan sebagai dorongan bagi industri yang menghadapi kekurangan lebih dari 100.000 pekerja.
Krisis tenaga kerja telah memangkas produksi minyak sawit Malaysia, yang bergantung pada tenaga kerja asing, ke posisi terendah multi-tahun ketika dunia menghadapi kekurangan minyak nabati yang lebih luas karena perang Rusia-Ukraina dan pembatasan ekspor di produsen utama Indonesia.
Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia untuk Malaysia Hermono mengatakan kepada Reuters, bahwa sebanyak 164 pekerja dari pulau Lombok di Indonesia sedianya diperkirakan bakal tiba di Kuala Lumpur, Malaysia dengan penerbangan carteran pada Selasa (31/5/2022) malam.
Tetapi, kata dia, otoritas Indonesia yang bertanggung jawab atas perlindungan pekerja migran membatalkan proses perekrutan dan tidak mengizinkan para pekerja untuk terbang.
"Mungkin ada kesalahpahaman tentang peraturan Malaysia dalam proses penerbitan izin kerja. Saya memberikan rekomendasi dan jaminan bahwa semua pekerja akan mendapatkan izin kerja setelah mereka lulus pemeriksaan kesehatan di Malaysia," kata Hermono.
Kementerian sumber daya manusia Malaysia yang telah menjadwalkan sesi pemantauan pada Selasa malam pada kedatangan para pekerja pun membatalkan acara tersebut dengan alasan "keadaan yang tidak dapat dihindari".
Malaysia diketahui mengandalkan tenaga kerja asing, yang sebagian besar berasal dari Indonesia, Bangladesh, dan Nepal, untuk mengisi pekerjaan pabrik dan perkebunan yang dijauhi oleh penduduk setempat.
Namun, ada kekhawatiran yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir atas perlakuan terhadap pekerja migran, dengan tujuh perusahaan Malaysia di-banned oleh Amerika Serikat (AS) dalam dua tahun terakhir karena penggunaan apa yang oleh otoritas AS dianggap sebagai "kerja paksa". (*)