Episode Panjang Matinya Gajah Sumatera di Riau: Menggugat Tanggung Jawab Negara dan Korporasi
SabangMerauke News, Bengkalis - Kematian satwa liar dilindungi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) kembali terjadi. Yang terbaru, seekor gajah indukan betina berumur 25 tahun ditemukan tewas tergeletak di kawasan konsesi hutan tanaman industri (HTI) PT Riau Abadi Lestari di Desa Koto Pait Beringin, Kecamatan Talang Muandau, Bengkalis, Rabu (25/5/2022). Gajah itu mati diduga akibat diracun oleh oknum keji tak bertanggung jawab.
Ironisnya, gajah tersebut ternyata sedang mengandung (hamil) tua. Menunggu beberapa hari lagi, gajah itu segera akan melahirkan.
Tewasnya indukan gajah membuat calon bayinya tak bisa diselamatkan. Dua nyawa gajah hilang sekaligus. Peluang untuk menambah populasi gajah yang amat terbatas hilang sudah.
Kematian Didominasi di Areal Konsesi Hutan
Kematian mamalia raksasa di PT Riau Abadi Lestari tersebut semakin menambah daftar panjang tewasnya satwa liar dilindungi yang terancam punah di Riau. Ini merupakan kasus kesekian kali satwa liar dilindungi tewas.
Dari banyak kasus kematian satwa liar dilindungi, didominasi terjadi di area konsesi kehutanan yakni hutan tanaman industri (HTI). Sebagian lagi kematian satwa terjadi di area perkebunan kelapa sawit, baik yang dikelola korporasi maupun kelompok masyarakat dan individu. Industri kehutanan dan perkebunan menjadi locus delicti peristiwa ini.
Sayang, belum ada data terperinci dan lengkap soal jumlah kematian satwa liar dilindungi di Provinsi Riau. Pejabat Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau mengaku kalau instansinya masih sedang melakukan kompilasi data kematian satwa yang tiap tahun kian meningkat dan marak terjadi.
Kematian satwa liar dilindungi yang paling fenomenal terjadi di Riau yakni Gajah Sumatera, Harimau Sumatera, tapir dan beruang serta satwa lainnya. Khusus Gajah Sumatera dan Harimau Sumatera, populasinya kini sudah diambang kepunahan dan kritis.
Lantas, siapa yang paling bertanggung jawab dalam persoalan ini?
Bukan bermaksud dan bertendensi negatif. Patut kita mempertanyakan sejauh mana otoritas negara hadir dalam persoalan yang sudah sangat rumit ini.
Negara melalui instansi dan tangan-tangan kekuasaannya seakan tak berdaya. Tanggung jawab Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) patut dipertanyakan. Penegakan hukum kehutanan dan lingkungan amat lemah dan sarat kepentingan.
Langkah preventif maupun koersif cenderung dilakukan sepotong-sepotong alias kumat-kumatan. Tidak ada penanganan secara terintegrasi yang dilakukan. Bisa jadi, negara sudah kewalahan, bingung sekaligus bosan mengurusi kondisi yang semakin tak bisa dikendalikan.
Di mana Tanggung Jawab Lingkungan Korporasi?
Pengerusakan hutan akibat alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan maupun kehutanan secara legal dan ilegal adalah pemicunya. Pemberian izin kelola kehutanan yang kadung massif dilakukan dalam jangka panjang, telah merusak keseimbangan ruang habitat satwa liar dilindungi. Eksploitasi hutan secara besar-besaran mengancam eksistensi satwa.
Perebutan ruang kehidupan yang makin terbatas kian menyulitkan kehidupan satwa. Manusia yang memiliki segalanya dapat seenaknya memusnahkan satwa-satwa tersebut.
Konflik terjadi secara tak seimbang. Korban jatuh baik di kubu satwa maupun manusia dalam jumlah yang tak seimbang. 'Perang' kematian ini diprediksi akan terus terjadi. Ancaman kepunahan satwa liar dilindungi ada di depan mata.
Selain lemahnya negara dalam mengambil tindakan, publik patut mempertanyakan tanggung jawab dan moral etik (enviromental ethic) korporasi kakap di Riau dalam pelestarian dan perlindungan satwa. Keuntungan finansial korporasi berbasis lingkungan di Riau, tak sebanding dengan dampak ekologi yang diguncang mereka. Nyaris tidak ada program ekologi yang jelas dibebankan kepada mereka.
Bisnis global yang mensyaratkan pemenuhan etika lingkungan kerap disulap dengan aneka sertifikat dan award semata. Dalam kenyataannya, fakta di lapangan menunjukkan sesuatu yang jauh berbeda.
Ironis memang. Para konglomerat kehutanan dan perkebunan di Riau kini hidup super-kaya mewah dan berkelimpahan. Aset dan harta mereka berserak di mancanegara.
Tapi, dampak ekosistem Riau yang mereka ciptakan tak sebanding dengan apa yang diperoleh negara. Kerugian dampak ekologi (eksternality) tak pernah dihitung sebagai cost yang harus mereka tebus. Padahal dalam jangka panjang, risiko ekologi akan memberikan efek parah yang dampaknya akan menyedot banyak keuangan negara dan masyarakat, termasuk korban jiwa.
Kawasan Konservasi Hancur
Populasi satwa liar dilindungi yang kian terancam linear dengan kehancuran hutan di Riau. Kawasan hutan konservasi luluh lantak dan hutan produksi disulap jadi kebun sawit. Pemutihan kawasan hutan menjadi non hutan leluasa dilakukan.
Hampir semua kawasan hutan konservasi di Riau telah remuk. Sebut saja Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), Suaka Margasatwa Balairaja, Suaka Margasatwa Kerumutan dan Hutan Sungai Dumai serta kawasan konservasi lainnya telah porak-poranda.
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau seolah tak bisa lagi berbuat apa-apa. Personil dan peralatan pengawasan amat terbatas. Penindakan secara hukum cenderung tumpul dan tak bertaji. Nyaris, tak ada kekuatan yang bisa dihandalkan untuk mempertahankan, apalagi mengembalikan kawasan ke fungsi semula.
Alhasil, kegiatan konservasi cenderung dilakukan secara sporadis dan kasuistik. Terkadang diwarnai oleh pernak-pernik seremonial.
Penanganan konflik dan aksi pembunuhan satwa liar cenderung dilakukan kasuistik. Upaya preventif berjalan ala kadarnya. Tak sebanding dengan laju penghancuran hutan yang terus terjadi di banyak tempat.
Dunia Menyorot Tanggung Jawab Negara
Sebagai negara yang di atas kertas memiliki hutan tropis luas, Indonesia kerap jadi sorotan. Hutan tropis sebagai habitat alam satwa liar dilindungi telah hancur secara ekstrim. Dunia akan terus menyorot Indonesia yang dianggap tak mampu menjaganya.
Dibutuhkan eksekusi dari rencana-rencana top yang kerap digaungkan di rapat-rapat elit pemerintahan dan ruang seminar hotel. Jika hanya menjadi catatan hebat di atas kertas, tanpa eksekusi yang nyata, maka persoalan tidak akan pernah selesai namun justru makin parah.
Kematian aneka satwa liar dilindungi adalah bukti paling nyata di depan mata yang menunjukkan hutan di Riau sudah hancur lebur. Tidak dibutuhkan lagi retorika dan uraian makalah.
Penegakan hukum yang keras dan terukur menjadi solusinya. Tapi soal itu, kita masih ingat tentang rencana penyelamatan TNTN yang sempat heboh. Sejumlah otoritas dan lembaga kementerian beberapa tahun lalu sempat duduk semeja. Mulai dari KPK, Jampidsus Kejagung, Bareskrim Polri, Kementerian LHK dan otoritas lain bergabung dalam tim besar bersama. Kurang apa lagi?
Namun, hasilnya hingga saat ini boleh dikata masih nihil. Wacana masih sekadar retorika. Buktinya, penggarapan TNTN masih saja terjadi. Entah apa kabar terbaru dari tim hebat tersebut, kini makin redup dan tak terdengar lagi. (*)