Jakarta Main Tunjuk Penjabat Kepala Daerah, Indonesia Kembali ke Rezim Sentralistik
SabangMerauke News, Jakarta - Ahli hukum tata negara dari Themis Indonesia, Feri Amsari, mengatakan, kondisi Indonesia akan sentralistik setelah pengangkatan penjabat kepala daerah di 271 wilayah sepanjang 2022 dan 2023. Pasalnya, menurut dia, proses penunjukan penjabat kepala daerah itu tak memperhatikan aspirasi daerah, tidak tranparan, dan tanpa pembentukan peraturan pelaksana.
"Bagaimana kondisi Indonesia setelah penunjukan penjabat termasuk Papua, saya pikir memang kondisinya akan sangat sentralistik," ujar Feri dalam diskusi daring yang disiarkan Youtube Public Virtue Research Institute, Rabu (25/5/2022) kemarin.
Dia mengatakan, sebenarnya kondisi sentralistik sudah sangat dirasakan ketika disahkan Undang-Undang tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Dia menyebutkan, dalam UU Ciptaker, seluruh kewenangan pemerintah daerah ditarik ke pusat.
Sementara itu, dia menjelaskan, kewenangan penjabat kepala daerah memang dibatasi dengan adanya ketentuan empat larangan. Namun, larangan ini dikecualikan apabila mendapatkan persetujuan tertulis dari menteri dalam negeri (mendagri).
Feri melanjutkan, sentralistik juga terasa dalam keputusan pemekaran daerah di Tanah Papua. Klaim pemerintah pusat yang menerima aspirasi adanya pemekaran wilayah dinilai belum diungkapkan dan tidak bisa mewakili masyarakat Papua.
Menurut dia, Rancangan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua tidak dibarengi dengan naskah akademik yang menjelaskan hasil penelitian serta kajian yuridis, sosilologis, dan filosofis terkait pemekaran Papua. Dia mengatakan, yang terjadi justru draf UU Otsus Papua disahkan dalam waktu yang singkat.
"Saya yakin ini ada misi yang disembunyikan, karena mengambang semua. Ini maunya masyarakat Papua, masyarakat yang mana tidak terjawab. Ini untuk kepentingan ekonomi Papua, kajiannya mana tidak terungkap. Ini demi daerah otonom yang bisa memecah posisi ekonomi sehingga orang bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, mana naskah akademiknya, mana draf Undang-Undangnya yang kemudian bisa dibahas. Ini tidak bisa ujug-ujug," jelas Feri. (*)