Editorial
Penjabat Kepala Daerah Selera Elit Jakarta, Rakyat Bisa Apa?
SabangMerauke News - Penunjukkan Penjabat Wali Kota Pekanbaru dan Bupati Kampar berakhir antiklimaks. Setelah hampir dua pekan riuh gosip politik bersiliweran, Mendagri akhirnya mengambil keputusan.
Tanpa ada penjelasan, alasan serta transparansi prosesnya, dua nama baru muncul dan telah ditetapkan. Bukan berasal dari usulan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, namun kali ini Mendagri punya pilihan dan selera sendiri.
Enam orang kandidat yang diajukan Gubernur Riau, Syamsuar kena tikung dan gagal total di lintasan lobi politik di detik-detik injury time. Mendagri menetapkan Kamsol sebagai Penjabat Bupati Kampar dan Muflihun diplot sebagai Penjabat Wali Kota Pekanbaru untuk masa tugas 2022-2024.
Proses munculnya kedua nama tersebut memang masih misterius. Para elit daerah, termasuk Gubernur Syamsuar dinilai tak berdaya. Apalagi rakyat, hanya bisa pasrah. Patut dianalogikan kalau keduanya masuk lewat 'jalur langit', sesuatu yang sulit terdeteksi, muncul secara dadakan.
Tak kita ketahui, apakah Kamsol atau Muflihun sempat pamit dengan pimpinan keduanya, yakni Gubernur Syamsuar. Atau keduanya nyelonong sendiri tanpa izin, kita pun tak bisa menerka. Tapi, itu urusan mereka berdua dengan Syamsuar. Rakyat tak bisa ikut campur. Terserah.
Gubernur Belum Bersikap
Kabar munculnya nama baru Muflihun dan Kamsol bukan baru terdengar. Sejak pekan lalu, kedua nama itu santer akan menduduki orang nomor satu di Pekanbaru dan Kampar, tanpa lewat mekanisme pilkada.
Tapi, Gubernur Riau Syamsuar seolah cuek. Namun, bisa jadi ia kesal, marah namun memendam kekecewaannya.
Sejak Mendagri kemarin menyerahkan surat keputusan penetapan Penjabat Wali Kota Pekanbaru dan Bupati Kampar, hingga kini Gubernur Syamsuar pun belum bersuara. Ia tak menjawab pesan konfirmasi yang dilayangkan media soal sikapnya atas penjabat kepala daerah pilihan Mendagri tersebut.
Mungkin Syamsuar dalam posisi ibarat makan buah simalakama. Dimakan mati anak, tak dimakan mati ayah. Hendak melawan berhadapan dengan risiko politik. Tapi, jika dibiarkan dianggap lemah.
Kepala Dinas Kominfo Provinsi Riau, Erisman Yahya juga belum mengetahui sikap pimpinannya itu. Bahkan, ia belum bisa memastikan siapa yang akan melantik Muflihun dan Kamsol. Apakah gubernur, wakil gubernur atau sekretaris daerah provinsi.
Proses Sangat Tertutup
Sejak awal, proses pengajuan Penjabat Wali Kota Pekanbaru dan Penjabat Bupati Kampar memang berlangsung tertutup. Enam nama usulan Gubernur Syamsuar sama sekali tidak pernah diketahui bagaimana proses penilaiannya.
DPRD Pekanbaru dan Kampar yang bakal menjadi tandem Penjabat Wali Kota dan Bupati tak dilibatkan. Konon lagi masyarakat, sama sekali tak tahu siapa sosok mereka. Belakangan, nama-nama itu bocor ke media, setelah ada gejala kalau Mendagri tak merestui keenam nama itu.
Proses yang berlangsung tertutup mengindikasikan sesuatu yang tidak baik di era keterbukaan dan demokrasi saat ini.
Gubernur seolah memiliki veto tanpa pelibatan seluruh stakeholder terkait. Apa parameter, profil, portofolio dan kriteria penjabat kepala daerah tidak jelas, selain ukuran umum yakni syarat pejabat tinggi pratama (eselon dua). Selebihnya, ukuran yang dipakai tak jelas, subjektif dan sesuka selera.
Hal itu kembali berulang, ketika Mendagri mengambil keputusan. Publik tak tahu alat ukur yang digunakan Mendagri dalam menunjuk penjabat kepala daerah.
Jika dalam pilkada ada istilah membeli kucing dalam karung, maka dalam rezim penunjukkan kepala daerah oleh Mendagri lebih parah lagi. Seperti menikah tanpa ada saksi. Benar-benar tertutup dan sama sekali tidak partisipatif, nir-demokrasi.
Tak Ada Jaminan Perubahan
Dari modus pengangkatan penjabat kepala daerah yang berlangsung, tidak saja di Riau namun juga di provinsi lain, memang sama sekali tidak memberi adanya harapan perubahan.
Tak ada jaminan kalau seandainya calon penjabat kepala daerah jagoan gubernur diakomodir Mendagri, kualitas sosok yang ditetapkan cukup mumpuni. Proses tertutup yang dilakukan oleh gubernur pun bermasalah dari sisi substansinya.
Sama halnya dengan penjabat kepala daerah pilihan Mendagri, juga belum bisa dipastikan akan lebih baik. Apalagi, proses yang dilakukan nyaris tanpa pilihan figur. Mendagri mengambil alih veto.
Istilahnya, perubahan yang diharapkan masih fifty-fifty. Bisa baik, bisa buruk. Bisa lebih baik, namun juga berpotensi lebih buruk. Nyaris tanpa kepastian rakyat bisa mendapat pemimpin daerah yang handal.
Pengambilkan keputusan dalam penetapan (penunjukkan) penjabat kepala daerah ini memang benar-benar dilakukan dalam ruang tertutup dan sangat terbatas. Rakyat tak bisa memiliki akses apapun, semua diborong oleh elit. Baik elit daerah maupun Jakarta.
Dalam kondisi itulah, peran pemodal dan oligarki bisa leluasa bermain. Mereka dapat menyetir siapa sosok yang akan ditempatkan. Jika ini terjadi, maka masa depan daerah dapat tergadai. Kebijakan berpotensi disetir, proyek bisa saja diijon lebih awal.
Rakyat harus Bersikap
Penurunan kualitas demokrasi substansial kian tajam akhir-akhir ini. Parade demokrasi prosedural sudah terbukti banyak menguras energi dan uang. Taruhannya demokrasi di tingkatan lokal pun terlibas dan dibabat.
Rakyat sebagai pemilik kuasa harus bersikap. Mengandalkan lembaga-lembaga negara seperti DPRD sudah tak lagi ideal. Kita lihat saja, nyaris tak ada anggota Dewan di Pekanbaru dan Kampar bersuara dalam kondisi saat ini.
Kekuatan masyarakat sipil harus kembali dibangunkan. Front perjuangan rakyat mesti digalakkan. Konsolidasi kekuatan rakyat sudah saatnya digerakkan.
Menyerahkan masa depan kota dan daerah kepada elit kini tak bisa lagi jadi pilihan. Kerap mereka bersekongkol dengan pemodal, lalu mengabaikan hakekat pemerintahan.
Kini, masyarakat harus siuman, mengaktifkan nalar kritis untuk menentukan masa depannya. Ingat, kekuasaan itu cenderung korup.
Apalagi kekuasaan yang over, maka secara mutlak akan melakukan penyimpangan. Rakyat harus meningkatkan imun dan sadar kondisi saat ini tak baik-baik saja. (*)