Mengungkap Tabir Korupsi
Pengakuan Plt Kadis PUPR Pelalawan: Saya Dijadikan Tumbal Proyek Gagal Konstruksi Ambruknya Turap Danau Tajwid!
SABANGMERAUKE, RIAU - Mantan Plt Kepala Dinas PUPR Pelalawan, MD Rizal menuangkan segala isi hatinya pada kesempatan terakhir persidangan kasus dugaan korupsi akibat ambruknya turap Danau Tajwid di Pelalawan pada 12 September 2020 lalu.
Melalui nota pledoi, MD Rizal lewat kuasa hukumnya Megawati Matondang SH, mengajukan pembelaan sekaligus membeberkan fakta-fakta persidangan yang menyimpulkan ambruknya turap yang dikerjakan oleh PT Raja Oloan itu, diduga kuat karena tidak sesuainya spesifikasi pekerjaan.
"Saya jadi tumbal proyek gagal konstruksi yang menyebabkan ambruknya turap Danau Tajwid. Seakan-akan turap ambruk karena saya, padahal karena pekerjaan tidak sesuai spesifikasi," kata MD Rizal.
Fakta persidangan menohok lain yang diungkap adalah tidak adanya seorang pun saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum yang melihat adanya alat berat (eskavator) saat turap itu runtuh.
Justru sebaliknya seorang saksi mata Nazrudin yang menjadi saksi meringankan (a de charge), melihat turap ambruk seketika, saat ia sedang bekerja menjaring ikan di dekat turap yang runtuh.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh majelis hakim ketua, Dr Dahlan SH, MH, Kamis (14/10/2021), kuasa hukum MD Rizal membeberkan fakta-fakta persidangan yang digelar sebanyak 10 kali. Pledoi MD Rizal kemudian dibalas jaksa penuntut umum lewat pembacaan replik pada persidangan, Jumat (15/10/2021).
MD Rizal bersama pegawai honorer Dinas PUPR Tengku Pirda menjadi terdakwa kasus dugaan korupsi akibat ambruknya turap menuju Danau Tajwid. Proyek itu disebut dengan pekerjaan paket I Revertmen Sungai Kampar—Danau Tajwid yang dibiayai APBD Pelalawan 2018 sebesar Rp 6 miliar lebih. Kontraktor PT Raja Oloan yang memenangi lelang telah menerima pencairan dana pertama sebesar Rp 2 miliar lebih.
MD Rizal bersama Tengku Pirda dituntut masing-masing pidana penjara 3 tahun dan pidana denda Rp 100 juta subsidair 6 bulan kurungan. Oleh jaksa, keduanya dikenakan pasal 10 huruf a UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana. MD Rizal dan Pirda dituduh melakukan pengrusakan menggunakan alat berat (escavator) sehingga turap ambruk.
Dalam nota pembelaanya, kuasa hukum MD Rizal menyatakan segala dasar tuntutan jaksa tidak sesuai dengan fakta persidangan. Soalnya, fakta hukum yang terungkap baik lewat keterangan saksi, surat maupun ahli tidak mendukung dan juga tidak membuktikan kebenaran tuntutan jaksa.
Kuasa hukum terdakwa dalam pembelaannya menyatakan berdasarkan keterangan ahli dalam persidangan, kuat dugaan kalau pekerjaan pembangunan turap tersebut tidak sesuai spesifikasi. Hal ini menguatkan indikasi kegagalan konstruksi yang memungkinkan bangunan turap ambruk.
Soalnya kata kuasa hukum terdakwa berdasarkan temuan tim joint audit, jumlah sheet pile yang seharusnya 200 batang, namun yang terpasang hanya 185 batang. Sementara, jumlah sheet pile ukurang panjang 9 meter yang seharusnya hanya 66 batang, namun yang dipasang sebanyak 81 batang.
"Artinya sheet pile itu (terpasang, red) menggantung. Ada sebanyak 15 sheet pile yang menggantung," terang kuasa hukum terdakwa.
Selain itu, ditemukan pula pemasangan rigid beton yang tidak sesuai mutu. Dari yang seharusnya memiliki mutu beton K225, namun berdasarkan uji laboratorium mutu beton hanya K167.
Kuasa hukum terdakwa juga menilai adanya kejanggalan, karena saat pelaksanaan joint audit antara Inspektorat dengan Fakultas Teknik Unilak, tim tidak mendapatkan adanya laporan harian, mingguan dan laporan bulanan pelaksanaan pekerjaan dari kontraktor pelaksana proyek.
Kuasa hukum terdakwa juga meragukan kualitas turap tersebut berdasarkan keterangan saksi yang menyebut adanya keretakan pada chapping beam sebanyak 3 titik, salah satunya disebabkan karena pembesian yang terputus di antara sisi-sisi pembetonan yang retak.
Soal adanya keretakan turap, tim kuasa hukum terdakwa juga mengutip adanya pemberitaan di media massa Riau pada 14 April 2019 lalu, jauh sebelum turap runtuh. Dalam berita media itu disebutkan berdasarkan pantauan lapangan, di sisi dinding-dinding terlihat lubang-lubang yang cukup menganga. Sementara pada bagian sisi-sisi di ujung ada retak-retak. Berita itu memuat adanya kekhawatiran proyek bakal tidak bertahan lama.
Selain itu, kuasa hukum terdakwa juga menyinggung kejadian runtuhnya kembali bagian turap di sisi lain, pada bulan Desember 2020 atau sekitar 2 bulan setelah ambruknya turap yang pertama.
Dalam pledoinya, kuasa hukum juga mempertegas soal tidak adanya alat berat saat kejadian ambruknya turap tersebut. Dalam dakwaan, jaksa menyebut kalau MD Rizal memerintahkan Tengku Pirda mengerahkan alat berat untuk mengeruk tanah di sekitar turap yang dituding membuat turap ambruk.
Menurut kuasa hukum, tidak ada satu orang pun saksi mata yang melihat adanya alat berat di sekitar turap yang ambruk. Justru, saksi mata Nazaruddin yang berada berjarak sekitar 10 meter dari turap yang ambruk, melihat kalau turap itu ambruk dengan sendirinya.
Nazarudin dalam kesaksiannya pada dua pekan lalu, memang menyatakan saat itu tidak ada kendaraan apalagi alat berat yang melewati badan jalan yang bersebelahan dengan turap. Turap yang roboh menyentuh jaring ikan yang dipasangnya. Saat itu ia kaget sekali karena hempasan air akibat turap roboh ke sungai.
"Jangankan alat berat, sepeda motor pun tidak ada yang lewat. Saya melihat langsung turap rubuh. Saya kaget dan cemas. Saat itu saya di dekat turap sedang menjaring ikan," kata Nazarudin beberapa waktu lalu.
Fakta persidangan lain yang diungkap yakni soal panggilan telepon dari Meirizal Ade Herliyanto yang merupakan ajudan Bupati Pelalawan kepada MD Rizal. Pada 12 September 2020, sekitar pukul 1 siang, Ade menghubungi MD Rizal memberitahu kalau bagian turap rusak dan roboh. MD Rizal mengaku datang ke lokasi pukul 4 sore ketika turap sudah ambruk dan badan jalan ada yang retak. Badan jalan yang retak sudah ditutupi orang dengan daun akasia.
Kuasa hukum terdakwa juga memastikan tidak adanya kepentingan kliennya dengan proyek turap tersebut. Soalnya, MD Rizal sama sekali tidak terlibat dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan proyek tersebut. Proyek turap sudah selesai dikerjakan secara fisik sebelum MD Rizal menjabat sebagai Plt Kepala Dinas PUPR Pelalawan. Belakangan MD Rizal baru tahu sisa anggaran proyek sebesar Rp 4 miliar belum dibayar ke kontraktor, setelah rubuhnya turap.
Selain itu, hingga saat ini menurut keterangan sejumlah saksi, proyek turap tersebut belum diserahterimakan. Mantan PPK proyek yakni Hardian Syahputra diduga membuat dokumen PHO tanpa ditandatangani dan mendapat perintah dari kuasa pengguna anggaran (KPA) yakni Kepala Dinas PUPR Pelalawan yang menjabat saat itu bernama Hasan Tua Tanjung. Berita acara pemeriksaan hasil pekerjaan juga tidak ditandatangani oleh Hasan Tua.
Kuasa hukum terdakwa juga membeberkan kalau kontraktor PT Raja Oloan seharusnya diduga tidak bisa mengikuti tender proyek turap tersebut. Soalnya, PT Raja Oloan menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada 7 November 2016 lalu, terbukti melakukan praktik persekongkolan dalam proyek konstruksi di Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Sumatera Utara.
Sanksinya, PT Raja Oloan tidak bisa mengikuti tender selama dua tahun di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Dalam kenyataan pada 18 Oktober 2018, Direktur PT Raja Oloan, Hariman Tua Siregar menandatangani surat perjanjian kontrak proyek tersebut bersama Hardian Syahputra selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang disetujui Hasan Tua Tanjung, MT sebagai Kadis PUPR Pelalawan. Merujuk pada putusan KPPU tersebut, seharusnya PT Raja Oloan baru bisa ikut tender pada 7 November 2018.
"Hal ini telah diperkuat berdasarkan Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi Nomor:348 K/Pdt.Sus-KPPU/2020 jo Putusan Nomor 708/Pdt.Sus-KPPU/2016/PN Mdn tanggal 19 Juni 2017," terang kuasa hukum terdakwa dalam pledoinya.
Dalam kesimpulannya, kuasa hukum terdakwa menyatakan bahwa perbuatan kliennya bukanlah tindakan pengrusakan dan tidak terbukti memenuhi unsur dalam dakwaan pasal 10 huruf a UU Pemberantasan Tipikor. Perbuatan lain yang dituduhkan kepada terdakwa juga bukan merupakan tindak pidana korupsi.
"Kami memohon kepada majelis hakim yang mulia untuk membebaskan terdakwa dari segala dakwaan dan tuntutan. Dan melepaskan terdakwa dari semua tuntutan hukum (onstlaag van alle rechtvervolging)," kata Megawati Matondang, SH.
Menanggapi pledoi terdakwa, jaksa penuntut umum dalam repliknya bersikukuh pada surat tuntutan yang telah dibacakan pada Senin (11/10/2021) lalu.
"Kami penuntut umum berketetapan hati bahwa surat dakwaan sebagaimana kami sampaikan dalam tuntutan pidana didasarkan atas fakta-fakta hukum yang terbukti secara sah," terang jaksa Hendri Junaidi SH dalam repliknya.
Kuasa hukum terdakwa tidak mengajukan duplik atas replik jaksa dan bersikukuh pada pledoi yang sudah disampaikan. Majelis hakim akan memutus perkara ini pada Kamis (21/10/2021) mendatang. (*)