Audit BPK Soal Proyek Jalan Lingkar Bengkalis Dinilai Cacat Hukum, Auditor Tak Miliki Keilmuan yang Sesuai
SabangMerauke News, Pekanbaru - Tim penasihat hukum terdakwa kasus jalan lingkar Bengkalis angkat bicara terkait hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam proyek tersebut. Pelaksanaan dan hasil audit yang dipakai KPK dalam pengusutan perkara tersebut, dinilai cacat hukum karena proses pelaksanaannya tidak memadai. Selain itu, auditor tidak memiliki kecakapan dan latar belakang keilmuan yang sesuai.
"Dari proses audit yang dilakukan BPK, kami menyimpulkan terjadi proses yang cacat. Menyebabkan hasil audit yang tak bisa dipercaya dan dijadikan dasar dalam menghukum klien kami. Ini sudah berantakan proses auditnya," kata Yakubus Welianto SH, MHum, tim penasihat hukum Petrus Edy Susanto (PES) yang menjadi salah satu terdakwa dalam perkara tersebut, Senin (16/5/2022).
Yakubus menilai, keterangan ahli dari Politeknik Bandung telah dicabut karena lalai dalam menghitung kerugian negara. Selain itu, ahli juga tidak mengetahui di mana letak temuan audit.
"Apakah ini yang dinamakan ahli itu? Keterangan hasil laporan hasil pemeriksaan dicabut. LHP hasil audit investigatif yang dibuat BPK dengan standar audit dengan tujuan tertentu yang mengadopsi dari hasil Politeknik Bandung," kata Yakubus.
Tim penasihat hukum pun heran karena berdasarkan audit yang pernah dilakukan oleh BPKP Perwakilan Riau, tidak pernah ada ditemukan kerugian negara. Pemkab Bengkalis juga sudah meminta bantuan Fakultas Teknik UIR untuk melakukan audit teknis kualitas dan kuantitas proyek yang hasilnya tidak ditemukan kerugian negara.
"Kalau standar audit dengan tujuan tertentu oleh BPKP sudah tidak dipercaya lagi, maka lebih baik BPKP di seluruh Indonesia dibubarkan. Daripada membuang-buang uang rakyat yang dipungut lewat pajak," tegas Yakubus.
Pihaknya juga mempertanyakan kemampuan auditor BPK yang berlatar belakang teknik sipil, ternyata dalam melakukan audit diduga secara serampangan dan tidak independen.
"Semoga Ketua BPK mengevaluasi penempatan auditor tersebut. Juga kepada penanggung jawab hasil audit hendaknya perlu dikaji penempatan dan keilmuannya dalam bekerja karena tidak cermat," jelas Yakubus.
Menurutnya, proses hukum penetapan tersangka kliennya telah melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi nomor: 31/PUU-X/2012. Dalam putusan itu, penetapan tersangka harus didukung adanya penghitungan kerugian negara oleh BPK. Sedangkan dalam kasus yang menimpa kliennya, PES justru ditetapkan lebih dulu sebagai tersangka dan baru beberapa tahun kemudian ada hasil audit kerugian negara.
"Dan ternyata, pelaksanaan audit oleh BPK selaku lembaga negara yang dibiayai negara dengan dana besar oleh rakyat, justru melakukan audit seperti itu. Audit yang cacat dan serampangan," kata Yakubus.
Yakubus juga menegaskan kalau hasil audit BPK yang menetapkan kerugian negara sebesar Rp 59 miliar tersebut mengada-ada dan tak bisa dipertanggungjawabkan. Menurutnya, proses audit yang cacat dan tak kredibel seharusnya tidak bisa dijadikan dasar untuk menersangkakan kliennya yang telah membuat nasib usaha konstruksi milik kliennya hancur akibat penegakan hukum yang diduga serampangan.
"Ada kecacatan yang telah terjadi dalam proses audit yang tentunya berkaitan dengan hasil audit tersebut. Kami berharap majelis hakim mempertimbangkan hal ini," kata Yakubus.
Dalam penjelasannya, Yakubus menyebut hasil pemeriksaan BPK bertentangan dengan Undang-undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Selain itu, juga bertentangan dengan Undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
"BPK dalam melakukan pemeriksaan diduga tidak konsisten. Perhitungan kerugian negara dilakukan secara tidak benar dan tidak ada kerugian negara dalam perkara ini," pungkas Yakubus. (*)