'Jalur Langit' Penjabat Wali Kota Pekanbaru dan Hari-hari Kritis Bagi Gubernur Syamsuar
SabangMerauke News, Pekanbaru - Dalam empat hari terakhir suhu politik di Riau panas. Bukan karena mau pilkada, tapi ini ikhwal pengangkatan Penjabat Wali Kota Pekanbaru dan Penjabat Bupati Kampar, tanpa pemilihan namun lewat mekanisme pengangkatan. Masa jabatan pemimpin kedua daerah itu akan habis pada 22 Mei mendatang.
Pergunjingan terjadi. Kabar berhembus kalau Menteri Dalam Negeri menolak 3 nama usulan Gubernur Riau yang diplot menjadi Penjabat Wali Kota Pekanbaru masa tugas 2022-2024.
Mendadak muncul nama baru yang santer disebut sudah disetujui Mendagri Tito Karnavian menjadi Pj Walikota Pekanbaru. Dia adalah Muflifun, Sekretaris DPRD Riau.
Uun, panggilan populer Muflifun tidak pernah diajukan Gubernur Riau, Syamsuar ke Mendagri. Namanya tak masuk dari 3 usulan kandidat. Syamsuar justru lebih dulu merekomendasikan tiga nama lain, yakni Masrul Kasmy, Bobby Rahmat dan Edy Afrizal ke Mendagri.
Memang kabar ini masih belum bisa dikonfirmasi ke pihak Kemendagri, termasuk kepada Uun. Siapa yang membonceng Uun ke Kemendagri, juga masih belum jelas.
Uun juga belum pernah berbicara ke media soal namanya yang mendadak muncul di masa injury time. Uun dianalogikan masuk lewat 'jalur langit'.
Pengamat politik dalam analisisnya menyebut kejadian ini sebagai preseden buruk hubungan pemerintah pusat dan daerah. Dimana terjadi sumbatan aspirasi daerah yang tidak diakomodir oleh pusat, tanpa alasan yang belum diketahui.
Padahal, posisi gubernur dalam aturan perundang-undangan merupakan wakil pemerintah pusat di daerah. Peristiwa politik ini, jika benar terjadi merupakan pukulan telak atas kewibawaan Gubernur Riau Syamsuar yang dipilih langsung oleh rakyat Riau.
Tentu saja, Gubernur Riau dalam mengajukan tiga nama sudah berdasarkan pertimbangan. Ketiganya merupakan kombinasi antara birokrat senior, generasi tengah dan juga birokrat junior.
Tapi, entah mengapa 'jalur langit' itu bisa 'mengalahkan' jagoan Gubernur Syamsuar. Terkesan, saluran formal yang tersedia tak cukup ampuh. Komunikasi dengan pemerintah pusat diindikasikan tersumbat. Atau barangkali lobi tak mempan.
Tidak transparan dan tiadanya partisipasi publik dalam pengajuan 3 nama tersebut, menurut akademisi FISIP Universitas Riau, Dr Tito Handoko menjadi salah satu akar masalah.
Memang, praktis tidak ada mekanisme public hearing yang ditempuh Gubernur Syamsuar sebelum mengajukan usulan nama ke Mendagri pada April lalu.
DPRD Pekanbaru sebagai representasi masyarakat, sama sekali tak dilibatkan. Dialog dan komunikasi publik tak berjalan. Awalnya, tiga nama yang diajukan masih misterius, belakangan bocor ke publik lewat media.
Saiman Pakpahan, pengamat pemerintahan dari Universitas Riau, menyebut kalau momen pengangkatan pejabat publik yang memegang peran strategis, termasuk Pj Wali Kota Pekanbaru, tak pernah lepas dari peran oligarki dan pemodal.
Tapi, oligarki sebenarnya tidak bisa by pass berinteraksi dengan pengambil keputusan. Biasanya mereka terhubung dengan pihak lain yang juga berasal dari elit atau kelompok kepentingan lainnya.
Para oligarki selalu ingin berburu rente. Kepentingan mereka hanya tunggal. Yakni, melipatgandakan 'mahar' yang sudah diserahkan dengan beragam cara pengembaliannya.
Ada yang akan menerima insentif kebijakan yang menguntungkan kelompok oligarki. Selain itu, biasanya dikembalikan dalam bentuk paket proyek. Akibatnya, APBD diijon lebih dulu. Kebijakan pemerintah disetel lebih awal. Tentu saja ini akan sangat merugikan masyarakat.
Di tengah santer isu peran oligarki lokal dalam proses pengangkatan Penjabat Wali Kota Pekanbaru bermain, muncul gerakan demonstrasi mendesak KPK untuk mengusut adanya aliran uang yang cukup besar.
Aliansi Mahasiswa Peduli Pekanbaru menyebut ada dugaan uang sebesar Rp 10 miliar yang dipasok untuk suksesi Penjabat Wali Kota Pekanbaru.
Isu panas ini memang harus ditelisik oleh KPK, agar bisa dipastikan benar atau tidaknya. Sebab, praktik lancung ini jika benar terjadi, merupakan noda besar bagi pemerintahan daerah. Nama Kemendagri pun bisa terseret-seret di dalamnya.
Apalagi, sebelumnya KPK lewat juru bicaranya, Ali Fikri telah menyatakan kalau momen pengangkatan kepala daerah rentan akan praktik transaksional dan koruptif.
KPK tentu harus membuktikan omongannya tersebut, agar tidak sekadar rumor yang terhembus begitu saja. Informasi dugaan awal dari demonstrasi mahasiswa haruslah diusut lebih lanjut.
Lantas, bagaimana sikap dan langkah Gubernur Riau Syamsuar di tengah simpang siurnya sosok Penjabat Wali Kota Pekanbaru pilihan Mendagri yang berbeda dengan usulannya tersebut?
Kemarin, kepada media Syamsuar mencoba tenang menjawabnya. Ia membantah sudah ada bocoran nama Pj Wako Pekanbaru dari Kemendagri. Ia lebih memilih ikut dalam kegiatan di Rokan Hulu. Terlihat dalam foto, Ketua DPD I Partai Golkar Riau itu menendang bola di tengah lapangan hijau.
Kemungkinan, tiga hari ke depan adalah saat-saat paling kritis bagi Syamsuar. Ia tak bisa diam begitu saja. Diam bisa saja diartikan pasrah dan mengakui kelihaian kelompok elit lain di Riau.
Isu penolakan tiga nama usulannya oleh Mendagri, jika benar terjadi, akan dikenang sepanjang masa. Ia bisa saja dinilai lemah dalam melakukan lobi dan pemimpin daerah yang lemah. Syamsuar harus memainkan jurus pamungkas agar tidak kalah dalam permainan ini. (*)