125 Pabrik Kelapa Sawit di Riau Tak Punya Kebun: Langgar Undang-undang Perkebunan, Ancaman 5 Tahun Penjara!
SabangMerauke News, Pekanbaru - Sedikitnya 125 unit pabrik kelapa sawit (PKS) di Provinsi Riau ternyata tidak memiliki areal kebun sendiri milik perusahaan. Kondisi ini diyakini menyebabkan laju deforestasi atau alih fungsi hutan menjadi kebun sawit makin tak terkendali. Pemda dinilai tak berdaya untuk melakukan penertiban.
Berdasarkan data yang diperoleh SabangMerauke News, sebanyak 125 pabrik kelapa sawit (PKS) tanpa kebun sawit itu, tersebar di 11 kabupaten/ kota di Riau, kecuali Kota Pekanbaru dan Kepulauan Meranti. Ratusan pabrik tersebut mengolah tanda buah segar (TBS) dengan total kapasitas 4.700 ton per jam.
Masih berdasarkan data tersebut, di Riau hanya terdapat 136 PKS yang memiliki kebun sawit. Pabrik tersebut mengolah TBS dengan total kapasitas 6.960 ton/ jam. PKS itu tersebar di 11 kabupaten/ kota di Riau, minus Kepulauan Meranti.
Aktivis hukum, Martin Ade SH menyatakan, berdasarkan Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, setiap usaha industri pengolahan hasil perkebunan (IUP-P) harus memenuhi sekurang-kurangnya 20 persen dari keseluruhan bahan baku yang dibutuhkan berasal dari kebun yang diusahakan sendiri.
Adapun ancaman hukumannya diatur dalam pasal 105 undang-undang tersebut yakni pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling besar Rp 10 miliar bagi pemilik usaha.
Sementara, dalam pasal 106 disebutkan kalau gubernur, bupati dan walikota yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan, dipidana paling lama 5 tahun dan denda Rp 5 miliar.
"Jadi, sebenarnya undang-undang sudah mengaturnya secara detil disertai sanksi pidana dan denda. Bahwa setiap pabrik pengolah perkebunan dalam hal ini pabrik kelapa sawit, harus memiliki areal kebun sendiri sekurang-kurangnya 20 persen dari bahan baku," kata Martin, Senin (9/5/2022).
Martin juga menjelaskan, ketiadaan kebun sawit milik PKS tersebut, diduga membuat pemiliknya menghalalkan segala cara untuk mendapatkan pasokan buah sawit. Sumber yang paling dominan yakni sawit yang ditanam di dalam kawasan hutan milik negara.
Kebun sawit ilegal itu dikelola oleh masyarakat maupun oknum kelompok-kelompok tertentu bertamengkan kelompok tani maupun korporasi.
"Seakan-akan itu murni milik masyarakat. Namun, dalam banyak kasus pengolah kebun sawit ilegal itu terafiliasi dengan pemilik PKS," tegas Martin.
Ia menilai, wajar saja kawasan hutan di Riau habis dirambah untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit ilegal. Ia mengaku heran, mengapa pemda di Riau mengobral perizinan pembangunan PKS, tanpa menelisik lebih dulu sumber bahan baku kelapa sawit yang diolah oleh perusahaan.
"Ketimpangan jumlah PKS dengan areal kebun yang dimiliki, menyebabkan sumber pasokan bahan baku TBS dieksploitasi secara besar-besaran dari lahan yang tidak jelas, termasuk dari kawasan hutan," tegas Martin.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Zulfadil belum dapat dikonfirmasi soal pengawasan PKS yang tak memiliki kebun sawit sendiri ini.
Berdasarkan asumsi awal, sebuah PKS dengan kapasitas produksi 30 ton/ jam, sedikitnya membutuhkan areal kebun sawit seluas 6 ribu hektar. Dengan demikian, PKS tersebut wajib memiliki kebun inti seluas 1.200 hektar yakni 20 persen dari luasan lahan total tersebut. (*)