Tudingan KLHK Terbukti: Greenpeace Akui Pernah Kerja Sama dengan APP/ Sinar Mas, Tapi Mengaku Tak Terima Kompensasi Apapun
SM News, Jakarta - Greenpeace Indonesia menjawab tudingan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyebut LSM internasional di bidang lingkungan tersebut berkolaborasi dengan perusahaan yang ikut membabat hutan dan terlibat kebakaran hutan lahan. Greenpeace mengakui pernah bekerja sama dengan Asian Pulp Paper (APP)/ Sinar Mas.
"Kerjasama kami dengan APP dan Sinar Mas sudah berakhir sejak 2018. Kami juga mengumumkan hal ini kepada publik melalui siaran pers di web kami," kata Kiki Taufik, Kepala Global Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia lewat keterangan tertulis yang dikirim ke SM News, Rabu (17/11/2021) siang.
Meski mengakui pernah bekerja sama, Greenpeace menyatakan tidak pernah meminta dan menerima kompensasi apapun dari APP/ Sinar Mas. Menurut Kiki Taufik, kerjasama bersifat setara, murni hanya dukungan agar APP/ Sinar Mas berhenti melakukan deforestasi.
"Mari kita jangan menutup mata dengan apa yang saat ini terjadi di depan mata kita," terang Kiki.
Sebelumnya diwartakan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menuding Greenpeace Indonesia bekerja sama dengan sejumlah perusahaan sawit hingga kertas (pulp paper) yang terlibat dalam penebangan hutan atau deforestasi dalam rentang waktu 2011-2018.
Sekretaris Jenderal KLHK, Bambang Hendroyono menyebut Greenpeace mulai berkolaborasi dengan perusahaan sawit yang cukup besar pada 2011 silam. Pada saat itu, kata Bambang, perusahaan sawit ini turut andil dalam deforestasi, pengeringan gambut, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Baca Juga: Inikah Perusahaan Pulp Paper Terlibat Karhutla yang Dituding KLHK Berkolaborasi dengan Greenpeace?
Tak hanya itu, KLHK juga menuding Greenpeace pernah berkolaborasi dengan grup perusahaan industri pulp dan kertas di Sumatera pada 2013. Selama berkolaborasi dengan Greenpeace, perusahaan tersebut terkait dengan aktivitas deforestasi, pengeringan gambut, pembukaan kanal-kanal baru sepanjang ratusan kilometer.
"Sehingga perusahaan tersebut mengalami karhutla yang luas," kata Bambang Hendroyono, Rabu (17/11/2021) kepada media.
Kiki tak menjelaskan ikhwal tudingan keras yang disampaikan KLHK bahwa Greenpeace tebang pilih dan melindungi data-data perusahaan mitranya tersebut. Ia justru mengalihkan persoalan pada laju kerusakan lingkungan, seperti dampak deforestasi di Kalimantan akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan atau pertambangan telah nyata terasa.
"Di wilayah Kalsel, Kalbar, Kalteng tak pernah luput dari ancaman titik panas, saat ini banjir juga telah meluas selama beberapa minggu, ini merupakan dampak nyata dari deforestasi yang terjadi di Kalimantan. Deforestasi tidak hanya mengancam ribuan orang yang harus mengungsi karena asap maupun banjir, namun juga satwa liar akan kehilangan rumah mereka. Masa depan generasi mendatang dipertaruhkan jika kita tidak bertindak hari ini," kata Kiki.
Sebelumnya tuduhan serius KLHK itu menimbulkan tanda tanya besar pihak yang menjadi mitra Greenpreace tersebut, ikhwal label nama perusahaan yang menjadi mitra kolaborasi Greenpeace. Hingga akhirnya diakui Greenpeace bahwa organisasi ini pernah menjalin kerjasama dengan APP/ Sinar Mas kurun periode 2013-2018 lalu.
Di Provinsi Riau, cuma ada dua perusahaan bubur kertas (pulp paper). Yakni PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) dan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).
IKPP disebut terafiliasi dengan Asia Pulp and Paper (APP). Publik kerap juga mengaitkannya dengan grup Sinar Mas Forestry. Grup ini juga disebut terangkai bersama dengan rumah besar bernama SMART Tbk (Sinar Mas Agro Resources and Technology) yang secara khusus menangani sektor usaha kelapa sawit dari hulu hingga hilir.
Sementara PT RAPP terafiliasi dalam APRIL Grup (Asia Pacific Resources International Limited).
Kedua perusahaan tersebut adalah raksasa industri kehutanan berbasis tanaman industri dan pulp and paper.
Baca Juga: KLHK Serang Balik Greenpeace, Tuding Bekerjasama dengan Perusahaan Pengrusak Hutan
Penelurusan SM News, Greenpeace memang pernah menjalin kerjasama dengan APP/ Sinar Mas pada 2013 lalu. Namun kerja sama tersebut diputus sepihak oleh Greenpeace pada Mei 2018 lalu atau sekitar 5 tahun setelah kerja sama berlangsung.
Tidak diketahui secara persis apa bentuk kerjasama antara Greenpeace dengan APP/ Sinar Mas tersebut. Namun kerjasama diduga terkait komitmen APP/ Sinar Mas untuk tidak lagi membabat hutan dan penyelamatan gambut.
"Pada tahun 2013 perusahaan ini ( APP/ Sinar Mas, red) berkomitmen mengakhiri praktik deforestasi dengan menerapkan kebijakan konservasi. Terdapat perkembangan positif dan negatif dalam implementasinya, tetapi sekarang kondisi dalam bahaya, karena perusahaan ini kembali terlibat dalam kegiatan pengrusakan hutan, ” kata Kiki Taufik, Kepala Global Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia dalam situs resmi Greenpeace.org termuat pada 16 Mei 2018 lalu.
Masih dalam situs tersebut, Greenpeace menyebut pada Maret 2013, APP tunduk pada tekanan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dan kliennya untuk menerapkan Kebijakan Konservasi Hutan (Forest Conservation Policy/FCP). APP berkomitmen untuk mengakhiri pembukaan hutan di dalam konsesi mereka sendiri dan pemasok, melindungi hutan yang tersisa di area tersebut, meningkatkan pengelolaan lahan gambut dan bekerja sama dengan masyarakat untuk menyelesaikan konflik sosial.
Greenomics Indonesia Nilai Kerja Sama Gagal
Kolaborasi antara Greenpeace dengan APP/ Sinar Mas sempat disorot oleh sesama organisasi lingkungan hidup, Greenomics Indonesia. Pada tahun 2015, kasus kebakaran lahan dan hutan terjadi secara massif yang melumpuhkan aktivitas ekonomi dan penerbangan. Diduga, sejumlah perusahaan terafiliasi dengan APP/ Sinar Mas terlibat dalam karhutla tersebut. Walhi Indonesia menyebut ada sebanyak 19 perusahaan yang terafiliasi dengan APP/ Sinar Mas diduga terlibat dalam karhutla.
Greenomics Indonesia pada 25 September 2019 meminta Greenpeace untuk menjelaskan ke publik mengapa grup APP/ Sinarmas menjadi grup terbesar yang mengalami kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2015, pada saat Greenpeace berkolaborasi dengan raksasa kertas dan sawit tersebut.
Greenomics Indonesia menilai Greenpeace dan grup Sinarmas terbukti gagal dalam mengimplementasikan kebijakan konservasi hutan karena konsesi-konsesi hutan tanaman industri (HTI) dan sawit grup Sinarmas menjadi kontributor terbesar karhutla 2015.
“Tentu Greenpeace perlu berbagi pengalaman kepada publik, mengapa kolaborasinya dengan grup Sinarmas tidak berhasil mencegah dan mengendalikan karhutla pada 2015,” jelas Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Vanda Mutia Dewi, di Jakarta, Rabu (25/9/2019) kepada media.
Greenpeace Dituding Tebang Pilih
Sekretaris Jenderal KLHK, Bambang Hendroyono menilai Greenpeace tebang pilih terhadap kampanye pencabutan izin-izin usaha. Ia menyebut Greenpeace tak pernah menjadikan syarat untuk menyerahkan izin-izin usaha grup perusahaan yang menjadi mitra kolaborasinya yang berada di lahan gambut.
Selain itu, kata Bambang, Greenpeace tak pernah meminta pemerintah untuk mencabut izin-izin usaha perusahaan yang berkolaborasi dengan mereka beberapa tahun lalu.
"Saya saksi sejarah, bagaimana proses kolaborasi Greenpeace dengan grup perusahaan besar tertentu itu dideklarasikan pada tahun 2013 tersebut," ujarnya.
"Mengapa Greenpeace sekarang mendesak pemerintah untuk mencabut izin-izin usaha di lahan gambut? Ini menunjukkan posisi Greenpeace yang tidak konsisten," kata Bambang.
Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin mengatakan pihaknya tengah menyiapkan respons atas tudingan KLHK tersebut.
Sebelumnya, Greenpeace Indonesia mengkritik pidato Jokowi di COP26 dan pernyataan KLHK terkait angka deforestasi turun. Menurut Greenpeace, pernyataan itu tidak benar. Greenpeace menyebut, deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019).
Menko Luhut akan Audit LSM/ NGO
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan mengatakan akan mengaudit non-government organisation (NGO) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia. Itu dilakukan karena ia menilai ada LSM yang telah menyebarkan informasi tidak benar.
Hal tersebut disampaikannya saat dimintai tanggapan atas bantahan dari kalangan aktivis lingkungan mengenai data deforestasi yang pemerintah klaim menurun.
"NGO-NGO ini kita mau audit (diaudit pemerintah). Jadi jangan menyebarkan berita-berita yang enggak benar, ya. Saya udah bilang kita mau audit. Enggak bener dong kamu memberikan berita yang enggak benar," kata Luhut, Minggu lalu.
Mantan Dubes RI di Singapura ini tak menjelaskan menjelaskan audit seperti apa yang akan dilakukan. Ia hanya mempertanyakan sumber data-data yang dimiliki para LSM yang mengungkapkan data deforestasi tersebut.
Ia mengklaim, data yang dirilis tidak hanya dihimpun pemerintah, melainkan sejumlah lembaga internasional. Di sisi lain, menurutnya, saat ini terdapat teknologi satelit yang tidak bisa dibohongi.
"Gini ya, yang bikin NGO-NGO ini dari mana data dia? Kita kan yang membuat bukan hanya kita, internasional. Dan sekarang satelit itu kan nggak bisa dibohongin, enggak bisa," tegas Luhut.
Luhut menyebut, data yang dirilis pemerintah sesuai pula yang dengan apa yang diutarakan oleh mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) John Kerry.
Kerry yang merupakan utusan khusus AS untuk perubahan iklim, kata Luhut, berbicara kepada dirinya bahwa selama 4 tahun terakhir tingkat deforestasi di Indonesia menurun dengan sangat baik.
"John Kerry saja ngakui sendiri ke saya kok. Amerika itu ngakuin bahwa kita selama empat tahun terakhir itu deforestasi itu menurun sangat baik," ujar Luhut.
Ia pun mengaku berani adu data dengan sejumlah LSM yang meragukan pemerintah soal kondisi lahan di Indonesia.
"Sangat berani, sangat berani (adu data dengan LSM)," kata Luhut. (*)