Menelisik Ulang Jejak Korupsi Kredit Rp 35,2 Miliar Bank Riau Kepri: Masih Adakah yang Tersisa?
SabangMerauke News, Pekanbaru - Kasus lawas korupsi kredit senilai Rp 35,2 miliar di Bank Riau Kepri (BRK) yang menjerat tersangka utama mantan direktur utama, Zulkifli Thalib kembali mengemuka. Ini lantaran tertangkapnya buron terpidana Arya Wijaya di Banten, Kamis (21/4/2022) lalu, setelah 6 tahun lamanya bersembunyi pasca-vonis bersalah oleh Mahkamah Agung pada 2016 lalu.
Tim gabungan kejaksaan menangkap Arya yang merupakan Direktur PT Saras Perkasa selaku debitur di Bank Riau Kepri (dulunya bernama Bank Pembangunan Daerah/ BPD Riau) cabang Batam.
Pria berusia 57 tahun tersebut sempat divonis putusan lepas alias Onslaacht oleh Pengadilan Tipikor Pekanbaru pada 24 Mei 2014 silam. Putusan lepas yang diketuk ketua majelis hakim saat itu, Isnurul S Arif adalah vonis bebas pertama kali yang terjadi di Pengadilan Tipikor Pekanbaru setelah 3 tahun terbentuk.
Atas putusan lepas tersebut, jaksa pun mengajukan kasasi. Hingga akhirnya pada 11 Januari 2016 silam, Mahkamah Agung menyatakan Arya bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama 15 tahun. Ia juga dihukum membayar denda sebesar Rp 1 miliar subsider kurungan badan selama 8 bulan.
Pelarian Arya berakhir sudah. Kemarin, Jumat (22/3/2022), ia sudah tiba di Pekanbaru dan langsung dijebloskan ke Lapas Pekanbaru untuk menjalani hukumannya.
Praktik Akal-akalan Kredit
Kasus korupsi kredit fiktif yang melibatkan Arya Wijaya adalah salah satu potret buruk tata kelola bisnis di Bank Riau Kepri yang dulunya bernama Bank Pembangunan Daerah (BPD) Riau. Terungkap adanya praktik lancung dalam menutupi borok keuangan akibat tingginya kredit macet. Pengajuan kredit baru pun disulap sedemikian rupa. Borok terungkap, nyatanya kredit itu di kemudian hari bermasalah dan menjadi kasus korupsi sektor perbankan.
Dalam perkara ini, mantan Direktur Utama, Zulkifli Thalib sudah divonis hukuman 4 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp 300 juta subsider 2 bulan kurungan.
Perkara ini sebenarnya cukup lama dan berbelit saat ditangani oleh Bareskrim Mabes Polri. Hingga akhirnya pada 2012 silam, Bareskrim menetapkan empat orang tersangka dan proses hukum berlanjut hingga ke pengadilan.
Selain Zulkifli Thalib dan Arya Wijaya, ada dua orang tersangka lainnya yang merupakan petinggi BPD Riau (kini Bank Riau Kepri) yakni mantan Direktur Pemasaran, Buchari A Rahim dan mantan Kepala Cabang Batam, Yumadris.
Buchari A Rahim juga sudah divonis bersalah dalam kasus korupsi secara bersama-sama itu. Ia dijatuhi hukuman 4 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Pekanbaru. Selain itu ia juga dihukum pidana denda sebesar Rp 300 juta subsider 1 bulan kurungan. Buchari maupun jaksa penuntut tak melakukan upaya banding, sehingga putusannya dinyatakan inkrah.
Hukuman Yumadris lebih berat lagi. Divonis 4 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, ia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Bukannya berkurang, vonisnya justru lebih berat menjadi 5 tahun dan pidana denda sebesar Rp 300 juta subsider 1 bulan kurungan penjara.
Upaya kasasi yang diajukan Yumadris juga menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru tersebut. Peninjauan kembali (PK) yang ditempuhnya juga tak dikabulkan Mahkamah Agung.
Petinggi BRK Diduga Terseret
Kasus korupsi kredit fiktif ini sempat menyeret nama sejumlah petinggi Bank Riau Kepri (BPD Riau) lainnya. Sedikitnya ada dua orang yang diperiksa sebagai saksi dalam perkara ini.
Di antaranya yakni mantan Direktur Kepatuhan dan Manajemen Risiko, Sarjono Amnan. Belakangan, Sarjono terpilih pada 2013 lalu sebagai Komisaris Independen Bank Kepri.
Satu nama lain yang juga sempat disebut dan menjadi saksi adalah Syahrul Ilyas yang merupakan mantan Kepala Divisi Penyaluran Bank Riau Kepri.
Berdasarkan penelusuran media, Sarjono Amnan pernah diperiksa sebagai saksi untuk terdakwa Zulkifli Thalib di Pengadilan Tipikor Pekanbaru pada akhir 2012 lalu. Saat itu, Sarjono mengakui kalau syarat pengajuan take over 'kredit' dari PT Karyawira Wanatama kepada PT Saras Perkasa belum dapat terpenuhi.
Ia mengaku dilema soal adanya take over tersebut. Belakangan, dana kredit sebesar Rp 35,2 miliar tetap dikucurkan ke PT Saras Perkasa.
PT Karyawira Wanatama diduga adalah 'debitur palsu' yang pernah mendapat kucuran kredit fiktif dari BPD Riau cabang Batam pada tahun 2002 lalu. Kala itu, Kepala Cabang BPD Riau, Said Zainal Abidin mengucurkan kredit kepada sebanyak 168 debitur masing-masing sebesar Rp 250 juta dengan total Rp 42 miliar.
Belakangan, diketahui kalau kredit itu hanya akal-akalan dan uangnya diduga mengalir ke PT Karyawira yang disebut untuk pembangunan ruko dan mal di kawasan pertokoan Batavia di Batuaji, Batam.
Beberapa waktu kemudian, pada 2002, Bank Indonesia menemukan adanya indikasi kuat kredit bermasalah di Bank Riau Kepri, salah satunya yakni 'kredit' yang diberikan oleh 162 debitur palsu yang menyeret PT Karyawira tersebut.
Sarjono dalam kesaksiannya menyebut, langkah take over kredit fiktif bermasalah itu sebagai upaya penyelamatan BPD Riau. Soalnya, jika itu tak dilakukan, maka angka kemacetan kredit (NPL) bank akan berada di atas 5 persen. Kondisi itu akan menyebabkan BPD Riau masuk dalam pengawasan Bank Indonesia.
Dalam persidangan tersebut, hakim juga sempat mencecar Sarjono mengapa bank tidak melakukan pelelangan terhadap jaminan kredit. Menurut Sarjono, keputusan lelang jaminan sebenarnya sudah disetujui dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) pada tahun 2009 dan 2010 lalu.
"Namun direksi Bank Riau tidak melaksanakannya," kata Sarjono seperti dikutip media yang meliput persidangan yang digelar 9 tahun silam.
Syahrul Ilyas yang merupakan mantan Kepala Divisi Penyaluran Bank Riau Kepri juga pernah diperiksa sebagai saksi pada sidang 3 Januari 2013 lalu di Pengadikan Tipikor Pekanbaru. Saat itu, majelis hakim yang diketuai oleh Ida Bagus Dwiyantara sempat mengingatkannya berisiko duduk dalam kursi pesakitan bersama terdakwa Zulkifli Thalib.
Ini diduga karena notisi yang diberikannya telah menyebabkan kerugian negara atas kredit macet tersebut.
"Hati-hati Saudara saksi. Anda bisa menemani Dirut Zulkifli Thalib. Akibat notisi yang Anda berikan menimbulkan potensi lose yang besar," kata hakim Ida Bagus.
Menurut pernyataan hakim Ida Bagus saat itu, akibat notisi yang diterbitkan tidak hati-hati, telah menyebabkan persetujuan kredit kepada PT Saras Perkasa berujung pada kredit macet yang merugikan keuangan negara.
Misi 'Penyelamatan' Berujung Bui
Tindakan mengutak-atik laporan kredit macet bermasalah melalui aksi take over 'kredit fiktif' ke PT Saras Perkasa justru berujung bui. Misi BPD Riau berhasil selamat dari zona pengawasan Bank Indonesia karena kredit macet bermasalah terpenuhi, namun Direktur PT Saras Perkasa, Arya Wijaya yang justru jadi korbannya.
Mantan Direktur Kepatuhan dan Manajemen Risiko BPD Riau, Sarjono Amnan dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor Pekanbaru yang diliput media, mengakui kalau Direktur PT Saras Perkasa, Arya Wijaya meyakinkan akan melanjutkan pembangunan mal dan ruko yang sebelumnya ditangani oleh PT Karyawira Wanatama. Syaratnya yakni pengajuan kredit baru sebesar Rp 55 miliar dari BPD Riau.
Adapun jaminannya adalah berupa 'cash collateral' sebesar Rp 100 miliar yang diklaim berada di BNI 46. Namun, jaminan tersebut tak kunjung diserahkan, kredit keburu dikucurkan sebesar Rp 35,2 miliar.
Sebesar Rp 32 miliar lebih dipakai untuk 'take over' satu bangunan mal dan 38 unit ruko. Sisanya dipergunakan untuk biaya operasional dan biaya take over.
Sarjono menyatakan, sejak take over dilakukan maka NPL BPD Riau turun menjadi 2,71 persen dari sebelumnya hampir menyentuh garis merah di angka 4,92 persen.
Namun, akibat pengucuran dana yang tak tuntas, proyek mal dan ruko tersebut pun tak bisa dituntaskan. Pada sisi lain, Arya Wijaya tak mampu membayar utang pinjaman kepada bank dan menjadi kredit macet.
SabangMerauke News belum dapat mengonfirmasi Sarjono Amnan dan Syahrul Ilyas ikhwal pemberitaan ini. (*)