Oligarki Diperkaya Negara, Ketua DPD RI: Lingkaran Setan Ini Harus Dipotong!
SabangMerauke News, Jatim - Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, AA La Nyalla Mahmud Mattalitti mengungkap soal ketimpangan sosial yang terjadi di negara super-kaya sumber daya alam Indonesia. Pengelolaan sumber daya alam justru menimbulkan kesenjangan sosial dan kemiskinan terhadap rakyat. Di sisi lain, segelintir oligarki makin diperkaya akibat pengelolaan SDA yang melenceng dari cita-cita luhur pendiri bangsa.
"Oligarki yang diperkaya negara telah merusak tatanan berbangsa dan bernegara. Lingkaran setan ini harus kita potong dan akhiri. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan tidak boleh kalah oleh Oligarki yang menempel dan berlindung di balik kekuasaan," kata La Nyalla saat menyampaikan pokok pikirannya dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Provinsi Jawa Timur, Selasa (19/4/2022).
La Nyalla yang diundang Pemprov Jatim dalam acara tersebut menegaskan kalau Indonesia mendapat anugerah dan rahmat dari Allah dengan limpahan kekayaan SDA. Mulai dari tambang mineral hingga minyak dan gas. Tapi nyatanya, ketimpangan sosial dan gap kekayaan masih sangat terasa.
"Dari 34 provinsi yang sudah saya kunjungi, persoalannya nyaris sama. Yakni masih lebarnya gap atau kesenjangan kemiskinan dan persoalan pengelolaan sumber daya alam yang dirasakan masih jauh dari keadilan sosial. Saya simpulkan kalau persoalan ini tidak bisa diselesaikan sendiri oleh daerah. Karena persoalan ini adalah persoalan fundamental yang berkaitan dengan arah kebijakan negara," jelas La Nyalla di hadapan Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa.
Dia menegaskan, persoalan yang muncul di daerah muaranya ada di hulu, bukan hilir. Banyak kebijakan yang dibuat pemerintah pusat membuat gelisah stakeholder di daerah.
"Sumber daya alam itu ada di hadapan mereka, di kampung mereka, di desa mereka, bahkan ada di halaman rumah mereka. Tetapi tidak jarang, kemudian mereka harus tergusur, dan menjadi penonton ketika perusahaan-perusahaan besar menguras SDA yang ada. Sekali lagi persoalan ini tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan karitatif atau kuratif. Karena memang hal ini berkaitan erat dengan pola dan arah kebijakan negara," ucapnya.
Menurut La Nyalla, kebijakan pengelolaan Sumber Daya Alam yang dianut oleh pemerintah saat ini, tidak sesuai dengan cita-cita luhur para pendiri bangsa.
"Tapi pola yang dianut sejak amandemen konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002
semakin menjauh dari amanat dan cita-cita luhur para pendiri bangsa, yang mengharapkan negara ini menjadi negara yang mensejahterakan," tegasnya.
La Nyalla mengutip data lembaga internasional OXFAM soal ketimpangan sosial dan gap kekayaan masih sangat senjang.
"Bayangkan saja, harta dari empat orang terkaya di Indonesia, setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang miskin di Indonesia. OXFAM juga mencatat, sejak amandemen konstitusi tahun 2002, jumlah milyuner di Indonesia telah meningkat 20 kali lipat. Sementara ratusan juta penduduk Indonesia tetap berada dalam kemiskinan. Mengapa ini terjadi? Pasti ada yang salah dengan sistem atau metode yang dipilih oleh bangsa ini dalam mengelola kakayaan yang diberikan oleh Allah kepada bangsa ini," ucap LaNyalla.
Padahal kata La Nyalla, UUD 1945 pasal 33 yang menjadi norma dari penguasaan negara terhadap sumber daya alam didasarkan kepada kedaulatan negara. Karenanya sumber daya alam harus dikuasai negara untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat.
"Tetapi hari ini kita menyaksikan dan mengetahui bahwa konsepsi pengelolaan sumber daya alam dijalankan dengan pola pemberian hak konsesi tambang dan lahan hutan kepada swasta dan asing. Negara hanya mendapat uang royalti dan bea pajak ekspor ketika mereka menjual mineral dan hasil bumi kita ke luar negeri," kritiknya keras. (*)