220 Tahun Negeri Tebingtinggi: Haul Perdana Tengku Busu Jadi Titik Balik Napas Sejarah

Bupati Kepulauan Meranti, AKBP (Purn) H. Asmar, didampingi Wakil Bupati Muzamil Baharudin, Ketua DPRD H. Khalid Ali, para pejabat Forkopimda dan kepala OPD, menyambut penuh kehormatan kehadiran Pangeran Tan Sri Syed Yusof Bin Tun Sri Syed Nasir—keturunan Kesultanan Siak dari Malaysia. Foto: SM News
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Pagi itu di Selatpanjang, aroma sejarah dan semangat persaudaraan serumpun Melayu terasa kental menyelimuti udara. Langit tampak teduh saat suara kompang menggema, mengiringi langkah para tamu agung yang datang bukan hanya membawa nama besar, tapi juga warisan leluhur yang tak lekang oleh zaman.
Bupati Kepulauan Meranti, AKBP (Purn) H. Asmar, didampingi Wakil Bupati Muzamil Baharudin, Ketua DPRD H. Khalid Ali, para pejabat Forkopimda dan kepala OPD, menyambut penuh kehormatan kehadiran Pangeran Tan Sri Syed Yusof Bin Tun Sri Syed Nasir—keturunan Kesultanan Siak dari Malaysia. Mereka tiba dalam balutan busana Melayu kerajaan, gagah dan anggun, disambut silat tradisional yang menari seperti melukis udara, membangkitkan aura kejayaan masa silam.
Hari itu, Sabtu (12/4/2025), bukan hanya sekadar agenda biasa. Itu adalah Haul Perdana Tengku Busu Syed Ali Bin Tengku Putera Syed Ahmad Shahab Banahsan, sang Mangkubumi Kesultanan Siak Sri Indrapura, dan pembukaan ikhtisar Makam Marhum Buntat, di kompleks pemakaman Tengku Sulung Cantik, Jalan Tengku Umar Selatpanjang.
Di sana, sejumlah masyarakat Kepulauan Meranti berkumpul dalam kekhusyukan, menyatukan hati untuk mengenang seorang tokoh yang tidak hanya dihormati karena garis bangsawan, tetapi karena keberanian dan ketulusannya dalam membela rakyat.
Almarhum juga menjabat sebagai Mangkubumi di era pemerintahan kesultanan Siak Sri Inderapura dan memiliki peran penting khususnya di Negeri Makmur Kencana Bandar Tebingtinggi, yang merupakan ibukota Kabupaten Kepulauan Meranti pada saat ini.
Di sana juga, antara lantunan doa dan alunan zikir yang mengalun lembut di antara tiupan angin menyapu kompleks pemakaman Marhum Buntat, generasi masa kini bersimpuh mengenang jasa-jasa leluhur yang telah menjaga marwah negeri. Tengku Busu Syed Ali bukan sekadar tokoh, ia adalah panglima, penopang sultan, dan penjaga harga diri Kesultanan Siak yang pernah berjaya hingga ke seantero Melayu.
Ribuan mata menyaksikan momen sakral ini. Hadir pula para bangsawan dari Singapura dan Malaysia, termasuk Permaisuri Sultan Malaka, Tuanku Putri Zaizatul Mardiah Yusuf, Pangeran Muda dari Selangor, Datok Syed Alwi mewakili Petronas, dan para keturunan kerajaan yang datang membawa rasa hormat serta kasih sayang kepada tanah kelahiran nenek moyang mereka.
Kompleks Makam Marhum Buntat kini tak lagi sekadar tempat bersemayamnya jasad para pahlawan dan bangsawan. Ia telah menjadi titik temu antara zaman, antara negeri, antara darah Melayu yang terpisah oleh selat namun disatukan oleh nilai.
Peringatan haul menjadi bentuk penghormatan sekaligus momen doa bersama bagi almarhum, dimana semasa hidupnya dikenal sebagai salah seorang panglima dalam membantu sultan.
Acara ini juga bertujuan untuk mengenang jasa-jasa Marhum Tengku Busu yang pernah menjabat sebagai mangkubumi dalam struktur pemerintahan Kesultanan Siak, serta mempererat ikatan sejarah dan budaya antara Riau dan Malaysia yang masih dalam satu rumpun Melayu.
Dan hari itu, di tanah Selatpanjang yang bersahaja, sejarah bukan hanya diceritakan. Ia dihidupkan kembali, lewat langkah-langkah para keturunan kerajaan Kesultanan Siak yang kembali pulang ke pangkuan warisannya. Sebab sesungguhnya, warisan paling abadi bukanlah istana, melainkan ingatan yang tak pernah dilupakan.
Acara Haul Perdana ini diawali dengan pembacaan tahlil dan manaqib—kisah hidup shohibul haul yang menyentuh jiwa, dibacakan dengan penuh khidmat oleh Syed Faisal Akbar Alathas. Kata demi kata yang terucap seolah menghidupkan kembali sosok Tengku Busu Syed Ali di hadapan para hadirin. Sosok yang dikenal bukan hanya karena darah biru, tetapi karena kemuliaan akhlak dan ketegasannya dalam menolak tunduk pada penjajahan.
Di masa-masa genting menjelang kemerdekaan, tepatnya tahun 1947 saat Agresi Militer Belanda I, Tengku Busu berdiri di garis terdepan, menolak kehadiran penjajah di tanah Selatpanjang. Ia tak gentar. Ketika peluru menembus tubuhnya, tak hanya nyawanya yang direnggut, tapi juga keberanian dan kehormatan yang tak pernah lekang. Ia gugur sebagai syahid—pemimpin yang wafat demi membela rakyatnya.
Namun kisah beliau tak berhenti di situ. Demi menghindari kezaliman yang lebih dalam, jasad Tengku Busu disembunyikan oleh kedua anaknya ke dalam hutan, ditutup semak-semak agar tidak ditemukan penjajah yang ingin menghapus jejaknya dari sejarah. Anjing pelacak Belanda bahkan tak mampu menemukan jasadnya—sebuah pertanda, bahwa Tuhan sendiri yang menjaga kehormatannya.
Barulah setelah situasi dirasa aman, jasad beliau dimakamkan secara diam-diam, jauh dari tempat pemakaman biasa, sebagaimana layaknya para syuhada yang wafat dalam perjuangan. Tapi sejarah menyimpan keajaiban. Saat pemindahan jenazah ke lokasi makam yang lebih layak tepatnya di kompleks pemakaman tersebut, para tetua menyaksikan sendiri jasad beliau masih utuh, tak berubah oleh waktu. Sebuah karomah yang menjadi saksi atas kemuliaan hidupnya dan kasih Allah kepada hambanya yang ikhlas.
Hari itu, bukan hanya rangkaian tahlil yang menyatukan hati masyarakat, tapi juga kesadaran kolektif bahwa nilai perjuangan, keberanian, dan kasih pada sesama tidak boleh mati. Tengku Busu Syed Ali adalah simbol bahwa kemuliaan bukan hanya soal takhta, tapi tentang keberpihakan pada yang tertindas, dan keberanian melawan kezaliman.
Selanjutnya suara Abdullah, Kepala Bidang Kebudayaan Disdikbud Kepulauan Meranti menggema lirih namun penuh makna. Ia membacakan ikhtisar sejarah makam Marhum Buntat, naskah yang disusun dengan teliti oleh Tengku Busu Syed Ariev, cucu keturunan darah biru yang kini kembali menghidupkan kisah-kisah lama tentang Tebingtinggi, tanah yang kini bernama Selatpanjang.
Sudah 220 tahun usia negeri ini, sejak pertama kali didirikan atas restu Sultan Siak ke-7, Sultan Syarif Ali. Di masa silam, tanah ini bukan sekadar titik di peta, tetapi medan pertemuan peradaban, kekuasaan, dan nilai luhur Melayu. Di sinilah Tengku Bagus Sayyid Toha, anak dari Tengku Busu Sayyid Ahmad, mengemban titah sebagai Wakil Sultan Siak untuk Negeri Tebingtinggi sebuah negeri yang kelak dikenal sebagai pusat budaya dan perdagangan.
Dimana ibunya Encik Saedah juga yang mendirikan Bokor. Saat ini adalah Desa Bokor di Kecamatan Rangsang Barat. Kemudian salah satu anaknya bernama Tengku Mahdewi menikah dengan Tengku Putera Sayyid Ahmad - Mangkubumi Kesultanan Siak, mempertemukan dua garis darah penting dalam Kesultanan.
Dari pernikahan itu lahirlah Tengku Busu Syed Ali, sosok pemimpin yang hari ini dikenang bukan hanya karena bangsawan, tapi karena budi, karena keberanian, karena cintanya pada rakyat. Ia menikahi Tengku Mas Kencana Syarifah Syeikha, putri dari Tengku Sulung Cantik Syed Alwi—seorang Temenggung sekaligus Wakil Sultan Siak yang juga dikenal sebagai Marhum Buntat.
Sejarah mencatat, bahkan media asing pun menulis namanya. Keratan akhbar The New Straits Times edisi 1911 menyebutkan bagaimana Tengku Busu Syed Ali menyambut Sultan Abdul Rahman Muadzam Shah II dari Riau-Lingga di Selatpanjang—sebuah tanda betapa pentingnya posisi beliau dalam peta politik dan budaya Melayu saat itu.
Kini, makam beliau berdampingan dengan para tokoh besar yang menjadi fondasi negeri ini. Di Kompleks Pemakaman Marhum Buntat, tak hanya jasad beliau yang bersemayam, tetapi juga ada Tengku Bagus Sayyid Toha, pendiri Negeri Makmur Kencana Bandar Tebingtinggi, Tengku Ngahaji Sayyid Abdurrahman, Wakil Sultan Siak III,Tengku Syarifah Kamla, srikandi yang dikenal dengan gelar Bintang Subuh, satu-satunya wanita bergelar Tengku Besar di Alam Melayu, pejuang gagah dalam menghadapi musuh Kesultanan, Tengku Putrayuda Sayyid Omar, utusan diplomatik yang menjembatani konflik perbatasan Pagaruyung dan Tengku Puteri, penjaga adab dan adat istiadat kerajaan di Selatpanjang.
Nama-nama itu tak sekadar terukir di batu nisan, tapi hidup dalam napas budaya dan jati diri masyarakat Kepulauan Meranti hari ini.
Ketika ikhtisar itu selesai dibacakan, senyap mengisi udara. Bukan karena tak ada yang mau bicara, tapi karena hati sedang mengendapkan makna. Di antara nisan tua dan semak yang kini terawat, warisan sejarah menemukan nadinya kembali.
Sebuah kesadaran muncul bahwa Kepulauan Meranti saat ini bukan sekadar kabupaten muda, tapi memiliki akar sejarah yang dalam dan berakar kuat di tanah Melayu, menyatu dalam tubuh besar Kesultanan Siak yang dulu jaya.
Petir Terbuka Tabir Alam Negeri: Ketika Keris Menjadi Saksi Lahirnya Selatpanjang
Selanjutnya suara Tengku Ghafar mengalun tenang di hadapan para hadirin. Tapi di bawah tenda yang dibangun di tanah pusaka itu, suasana justru menghangat. Ia tengah membaca sebuah kisah besar, kisah tentang asal muasal negeri yang kini kita kenal sebagai Selatpanjang. Bukan sekadar wilayah administratif, tapi tanah yang dilahirkan oleh keberanian, ditumbuhkan dengan adab, dan dijaga oleh darah juang bangsawan Melayu.
Diceritakan bahwa tanah ini dahulu bernama Negeri Makmur Kencana Bandar Tebing Tinggi—adalah benteng strategis Kesultanan Siak Sri Indrapura, salah satu kesultanan terbesar dan paling disegani di tanah Riau.
Tahun 1805, atas titah Sultan Syarif Ali atau disebut Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin Baalawi yang bertahta tahun 1784 - 1810 (Sultan Siak ke-7), memberi titah kepada
seorang panglima muda berusia 25 tahun Tengku Bagus Saiyid Thoha diberangkatkan dari istana Siak bersama armada, laskar, pembesar kerajaan, dan para hulubalang. Tujuan mereka satu yakni mendirikan bandar baru di Pulau Tebingtinggi, sebagai garda ketiga pertahanan Kesultanan Siak setelah Bukitbatu dan Merbau.
Setelah menempuh perjalanan panjang, rombongan itu mendarat di Hutan Alai. Tapi tanah Alai, kata sang panglima, terlalu "jantan" untuk tumbuh sebuah negeri dalam waktu dekat.
Saat itu Panglima menghujam kerisnya memberi salam pada Tanah Alai. Tanah Alai tak menjawab, Ia meraup tanah sekepal, terasa panas. Ia melepasnya. ”Menurut sepanjang pengetahuan saya, tanah Alai ini tidak baik dibuat sebuah negeri karena tanah Hutan Alai adalah tanah jantan, Baru bisa berkembang menjadi sebuah negeri dalam masa waktu yang lama,” kata sang panglima di hadapan pembesar Siak dan anak buahnya.
Maka ia melanjutkan penelusuran menyusuri pesisir hingga tiba di sebuah tebing yang tinggi. Di sanalah, tepat pada 7 April 1805, ia menancapkan keris pusaka miliknya, Petir Terbuka Tabir Alam Negeri, seraya berkata:
"Dengarkanlah oleh kamu sekalian. Di tanah hutan tebing tinggi inilah yang amat baik didirikan sebuah negeri. Negeri ini nantinya akan berkembang aman dan makmur apabila pemimpin dan penduduknya adil dan bekerja keras serta menaati hukum-hukum Allah."
Tanah tempat keris itu ditancapkan terasa sejuk. Alam menjawab salam sang panglima. Sejak saat itulah, wilayah itu dinamai Negeri Makmur Kencana Bandar Tebing Tinggi.
Sultan Syarif Ali kemudian mengangkat Tengku Bagus Saiyid Thoha sebagai penguasa pulau. Sebuah istana pun dibangun. Lapangan latihan untuk pendekar Kerajaan Siak didirikan, dan negeri mulai menggeliat sebagai pusat perniagaan dan peradaban.
Sebelah timur negeri berbatas dengan Sungai Suir, dan sebelah barat dengan Sungai Perumbi. Letaknya yang strategis menjadikan bandar ini tempat singgah kapal-kapal niaga dari berbagai penjuru, termasuk dari dunia luar.
Namun, kejayaan ini tidak luput dari incaran kolonial. Belanda datang, membawa nama baru yakni Selatpanjang. Tapi nama itu ditentang oleh JM Tengku Sulung Cantik Syed Alwi, pemangku negeri bergelar Tuan Temenggung Marhum Buntat.
Polemik pun terjadi antara Sultan Siak ke-11, Sultan Assyaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin, dengan pemerintahan Hindia Belanda yang diwakili Konteliur Van Huis. Namun, demi diplomasi, kompromi tercapai.
Tanggal 4 September 1899, negeri ini resmi menyandang nama baru yakni Negeri Makmur Bandar Tebingtinggi Selatpanjang. Sebuah nama panjang yang menyimpan jejak sejarah, darah, dan kehormatan.
Kini, di tengah modernitas dan laju zaman, kisah ini dibacakan kembali. Bukan untuk nostalgia, tapi sebagai pengingat bahwa Selatpanjang lahir dari tanah yang dijawab oleh salam. Dari keris yang menyibak tabir alam. Dari sosok yang tak sekadar panglima, tapi juga perintis peradaban.
Darah Kesultanan Siak yang Tak Pernah Pupus: Jejak Tan Sri Syed Yusof di Tanah Leluhurnya
Selanjutnya dilakukan ziarah makam oleh para pejabat dan kerabat dengan menaburkan bunga rampai yang harum semerbak. Sambil tertatih-tatih karena faktor usia, seorang pria tua dengan pakaian serba kuning tampak mantap menyusuri halaman makam Marhum Buntat dan Tengku Busu Syed Ali dan Makam lainnya.
Tatapannya tajam namun hangat, seperti sedang menyisir waktu yang tersimpan di antara nisan-nisan tua itu. Ia bukan tamu biasa. Ia datang bukan hanya untuk ziarah, tetapi untuk menyambung kisah panjang leluhurnya yang hidup, berjuang, dan wafat di tanah ini.
Dan ketika mata menatap nisan beliau, air mata jatuh bukan karena duka, tapi karena rasa haru—bahwa di bumi Kepulauan Meranti, ada jejak sejarah yang tak boleh dilupakan, ada nama yang harus terus dikenang, dan ada ruh perjuangan yang harus terus diwariskan.
Tan Sri Syed Muhammad Yusof bin Tun Syed Nasir adalah salah satu cucu kandung dari Tengku Busu Syed Ali. Namanya tak asing di negeri jiran. Ia dikenal sebagai pengusaha besar di Malaysia, masuk jajaran elit dengan kekayaan mencapai triliunan. Namun hari itu, ia datang sebagai cucu dari seorang pejuang, bukan sebagai miliarder.
Dalam kesempatan itu, ia mengisahkan kenangan masa kecilnya. Meski lahir dan besar di Malaysia, adat dan darah Melayu Kesultanan Siak terus mengalir kental dalam dirinya. Sejak kecil, ia diajarkan untuk menjunjung adat, menghormati sejarah, dan menjaga silaturahmi—warisan yang ia yakini lebih berharga daripada emas.
"Saya ini memang keturunan Siak, dan sangat bersyukur dididik dalam tradisi itu. Bahkan waktu muda dulu, saya beruntung sekali pernah berjumpa langsung dengan Sultan Syarif Kasim ke-12, saat beliau datang ke rumah orang tua saya bersama permaisuri, Syarifah Fadlun. Itu momen yang tidak akan saya lupa seumur hidup," ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Kedatangannya ke Selatpanjang kali ini terasa istimewa. Ia mengaku baru mengetahui bahwa kakek buyutnya, Tengku Busu Syed Ali, dimakamkan di kota ini. Sebuah penemuan yang membuatnya ingin lebih dekat, lebih menyatu, dengan akar sejarah keluarganya. Tak hanya pada momen haul seperti ini, ia juga sering berkunjung ke Indonesia saat lebaran, untuk menyambung silaturahmi dan berbagi rezeki dengan saudara sebangsa serumpun.
Dalam sambutannya yang sederhana namun penuh makna, Tan Sri Syed Yusof mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah menghidupkan kembali jejak sejarah ini. Ia mengajak semua yang hadir, baik dari Malaysia, Singapura maupun Riau sendiri, untuk tidak pernah melupakan akar yang menyatukan kita sebagai bangsa Melayu.
"Jangan biarkan silaturahmi ini terputus. Kita adalah keluarga. Keturunan yang dibesarkan oleh adab dan perjuangan para pendahulu. Kita harus saling menjaga, karena persaudaraan ini diturunkan oleh darah dan doa para leluhur kita."
Hari itu, Tan Sri Syed Yusof bukan sekadar zuriat bangsawan yang pulang kampung. Ia adalah penghubung masa lalu dan masa kini, yang datang membawa pesan: bahwa sejarah bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk dihidupkan kembali dalam silaturahmi dan penghormatan lintas generasi.
Bupati Asmar dengan penuh takzim menyambut semua tamu istimewa itu. Dalam hatinya, ia menyadari bahwa Kepulauan Meranti bukan hanya gugusan pulau—melainkan tanah warisan budaya, tempat persaudaraan Melayu tumbuh dari akar sejarah yang dalam. Ia menyampaikan rasa syukur karena acara ini bukan hanya mempererat silaturahmi, tetapi juga membangkitkan ingatan kolektif tentang betapa kayanya peradaban yang lahir dari tanah ini.
“Ini bukan hanya penghormatan bagi almarhum. Ini adalah upaya kita merawat jejak sejarah, menghubungkan masa lalu dengan masa depan, dan menjaga warisan budaya agar tetap hidup di hati generasi muda,” ungkap Asmar dalam suasana yang begitu khidmat.
Di hadapan para bangsawan, ahli waris keturunan kerajaan, serta masyarakat yang memadati kompleks pemakaman Marhum Buntat, suara Bupati Kepulauan Meranti, AKBP (Purn) H. Asmar, terdengar lantang namun syahdu.
Ia tak hanya menyampaikan sambutan, tapi menuturkan rasa hormat yang dalam kepada sejarah, kepada leluhur, dan kepada warisan nilai-nilai kebesaran yang terus hidup dalam denyut nadi masyarakat Melayu.
"Haul perdana ini bukan hanya doa untuk almarhum, tapi juga bentuk takzim kita kepada tokoh utama negeri. Kita mengenang, mengenal, dan mendoakan beliau. Kita menghidupkan kembali semangat kejayaan di era kesultanan, yang dulu pernah memimpin dengan arif dan bijaksana," ungkap Bupati Asmar di sela acara.
Kehadiran tokoh-tokoh penting dari dalam dan luar negeri, serta ahli waris langsung dari Tengku Busu Syed Ali, menjadikan momen ini lebih dari sekadar peringatan. Ini adalah rekam jejak yang dihidupkan. Kisah yang dirajut kembali untuk menjadi pengikat masa lalu dan masa depan.
Dalam sambutannya, Bupati Asmar juga menyampaikan bahwa Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, khususnya Bidang Kebudayaan, telah berupaya serius menjaga dan melestarikan kawasan pemakaman ini. Berstatus sebagai Cagar Budaya, komplek makam ini terus dirawat secara khusus, dan diberi pengamanan dengan ditugaskan nya seorang Juru Pelihara Makam.
Nama yang tak luput disebut adalah Tengku Syed Fadli Fakhruddin, cicit dari Tengku Busu Syed Ali, yang selama ini dengan penuh dedikasi dan jerih payah menjaga kawasan makam keluarga ini. Di balik sunyi nya pekuburan, ada kesetiaan yang tak pernah usang dari darah keturunan sang pahlawan.
Bupati Asmar juga menyampaikan harapan besar agar haul ini tak berhenti di tahun ini saja. Ia berharap keluarga besar keturunan Tengku Busu terus melanjutkan tradisi ini, menjadikannya ikon budaya dan religi baru di Kepulauan Meranti.
Ia tak lupa menyampaikan terima kasih mendalam kepada Tan Sri Syed Yusof, ahli waris utama, yang telah menjadi sponsor penuh dalam proses pemugaran makam.
"Kami sangat mengapresiasi dukungan yang diberikan ahli waris, termasuk Tan Sri Syed Yusof. Karena bantuan inilah, tampilan kompleks pemakaman ini menjadi lebih terjaga, lebih indah, dan lebih bermartabat. Ini adalah bentuk cinta kepada sejarah dan leluhur," tutur Asmar menutup sambutannya.
Hari itu, sejarah tak lagi hanya tersimpan dalam buku atau lisan para tetua. Ia hadir kembali, hidup di antara doa-doa, napas kebudayaan, dan langkah-langkah yang menghormati akar. Sebab seperti kata orang bijak: Bangsa yang besar adalah bangsa yang tak lupa pada leluhurnya. (R-01)