Hutan Hulu Kuantan di Kuansing Dirampok untuk Kebun Sawit, Akademisi: Kok Pemerintah Lepas Tangan Saling Lempar Tanggung Jawab?
SabangMerauke News, Kuansing - Akademisi pro lingkungan mendesak negara segera mengambil sikap dan tindakan keras terhadap pelaku perampokan dan penghancuran belasan ribu hektar hutan di Hulu Kuantan dan Suaka Margasatwa Rimbang Baling, Kuansing, Riau. Tindakan sejumlah instansi pemerintah yang dinilai lepas tangan dan saling lempar tanggung jawab dapat dikenai saksi. Negara tak boleh kalah dari penjahat lingkungan.
"Harusnya Pemerintah baik Dinas LHK Provinsi Riau maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersinergi. Usut tuntas perambahan dan penghancuran hutan tersebut. Jangan antar lembaga saling buang badan dan acuh tak acuh," kata dosen UIN Suska Riau, Dr Elviriadi kepada SabangMerauke News, Kamis (14/4/2022).
BERITA TERKAIT: Perampokan dan Penghancuran Hutan Hulu Kuantan di Kuansing Kian Parah: Negara Tak Berdaya, Siapa yang Peduli?
Kepala Departemen Perubahan Iklim Majelis Nasional KAHMI ini heran mengapa terjadi pembiaran atas kejahatan hutan tersebut. Padahal, kejadiannya berlangsung telanjang di depan mata. Ia juga meminta aparatur hukum melakukan tindakan keras terukur terhadap para perambah yang mengalihfungsikan secara ilegal kawasan hutan tersebut untuk kebun kelapa sawit.
"Ironi ketika hutan dibabat sesuka hati tanpa ada tindakan hukum," jelas Elviriadi yang juga Ketua Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyah.
BERITA TERKAIT: Astaga! Setor Rp 50 Juta ke Oknum DLHK Riau, Alat Berat Tangkapan Polhut di Kuansing Bebas Dibawa Pemiliknya ke Sumbar
Diwartakan sebelumnya, belasan ribu hektar kawasan hutan produksi terbatas (HPT) Hulu Kuantan dan Suaka Margasatwa Rimbang Baling di Kuansing mengalami okupasi dan alihfungsi secara besar-besaran menjadi kebun kelapa sawit. Kegiatan ilegal ini sudah berlangsung cukup lama dengan modus kelompok tani maupun perorangan yang diduga adalah perpanjangan tangan pemilik modal korporasi.
Elviriadi menegaskan, kejahatan hutan tersebut tidak bisa diselesaikan lewat mekanisme 'keterlanjutan' sebagai turunan dari Undang-undang Cipta Kerja. Sebab, perambahan hutan dilakukan secara sistematis, bukan oleh warga hutan sekitar, namun invasi dari kelompok lain dengan dukungan pemodal. Lagipula, luasan kawasan hutan yang dikuasai secara ilegal itu sangat besar, tidak di bawah 5 hektar.
"Perusahaan atau kelompok yang menguasai hutan secara massif itu, tidak bisa mengurus izin melalui Undang-undang Cipta Kerja. Ini sudah kejahatan kehutanan dan lingkungan. Kok justru diampuni dan kesannya difasilitas," katanya keras.
Ia mengingatkan, para pejabat terkait yang lalai dan tidak menggunakan kewenangannya untuk menertibkan aksi ilegal itu dapat dikenai sanksi. Berdasarkan Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), pejabat terkait dapat dijatuhkan sanksi oleh Presiden Jokowi.
"Sanksi dapat berupa teguran tertulis turun pangkat, sanksi administrasi sampai pidana," tegasnya.
Aksi perampokan hutan negara secara ilegal di Hulu Kuantan, Kuansing kian parah. Pendudukan sepihak dan alih fungsi kawasan hutan untuk kebun sawit makin tak terbendung.
Pihak-pihak terkait yang memiliki kekuasaan hukum dan otoritas terkesan lepas tangan dan tak berdaya. Negara lewat tangan-tangan kekuasaannya cenderung membiarkan, tanpa tindakan. Undang-undang Cipta Kerja jadi alibi sesat untuk menutup mata atas kejahatan lingkungan yang terjadi di depan mata.
Sejumlah pihak dari unsur pemerintahan telah dikonfirmasi SabangMerauke News ikhwal persoalan yang terjadi belasan tahun ini. Namun, praktis tak ada jawaban konkret solusi dalam menangani persoalan. (cr4)