Janggal! DLHK Riau Sebut Kayu Akasia yang Dijual LPHD Rantau Kasih ke PT RAPP Bersumber dari Tanaman Sendiri, Padahal Izin Baru Terbit 2023

Penjualan kayu akasia dari areal hutan desa yang dikelola Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Rantau Kasih di Kabupaten Kampar ke PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) memicu tanda tanya besar. Foto: SM News
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Penjualan kayu akasia dari areal hutan desa yang dikelola Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Rantau Kasih di Kabupaten Kampar ke PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) memicu tanda tanya besar. Penetapan asal kayu akasia sebagai tanaman sendiri oleh LPHD Rantau Kasih yang mendapat stempel legalisasi dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau, dinilai sarat kejanggalan.
Polemik tentang asal kayu akasia tersebut, muncul di tengah kisruh adanya bagi-bagi fee hasil penjualan kayu akasia yang menyeret keterlibatan anak perusahaan BUMD milik Pemprov Riau yakni PT Sarana Pembangunan Riau Trada (SPT Trada). PT SPR Trada menerima sebesar Rp 120 ribu untuk tiap ton kayu yang dijual ke PT RAPP. Sejumlah pihak mempertanyakan apa dasar PT SPR Trada mendapat jatah uang penjualan kayu dari LPHD Rantau Kasih.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas LHK Provinsi Riau, Alwamen mengklaim, mekanisme dan tata cara pembuktian tanaman milik sendiri pada areal LPHD Rantau Kasih belum diatur lewat regulasi. Klaim Alwamen tersebut didasarkannya pada surat Direktur luran dan Peredaran Hasil Hutan KLHK Nomor S.595/IPHH/PHH/-HPL.2/12/2019 tanggal 3 Desember 2019.
Karena tidak adanya mekanisme dan tata cara pembuktian tanaman milik sendiri, kata Alwamen, maka DLHK Riau memprosesnya berdasarkan metode sendiri yakni menggunakan berkas dokumen permohonan yang diajukan oleh LPHD Rantau Kasih.
"Mengingat mekanisme dan tata cara pembuktian tanaman milik sendiri belum diatur, sebagaimana surat Direktur luran dan Peredaran Hasil Hutan Nomor S.595/IPHH/PHH/-HPL.2/12/2019 tanggal 3 Desember 2019, maka metode yang digunakan adalah dengan memperhatikan berkas dokumen yang dimohonkan," terang Alwamen dalam surat tertulis yang diterima SabangMerauke News, Senin (17/3/2024).
Alwamen menerangkan, LPHD Rantau Kasih pada 19 Maret 2024 lalu mengirim surat permohonan pernyataan tanaman sendiri ke DLHK Riau. Surat tersebut dijawab oleh DLHK Riau dengan surat Nomor 525/DLHK-PPH/0879 tanggal 29 Maret 2024.
Dalam berkas permohonan tersebut, pengurus LPHD Rantau Kasih (ketua, sekretaris dan bendahara) juga membuat surat pernyataan bermaterai yang menyatakan bahwa tanaman yang berada pada areal hutan desa merupakan aset milik lembaga Desa Rantau Kasih Bersatu serta merupakarı tanaman sendiri yang ditanam pada tahun 2014, 2015 dan 2016.
Selain itu, dilampirkan juga dokumen berita acara musyawarah desa berisi persetujuan pengelolaan hutan desa yang dihadiri oleh kepala desa dan perangkat desa serta tokoh masyarakat.
Alwamen menjelaskan, Hutan Desa Rantau Kasih telah mendapat Izin Persetujuan Perhutanan Sosial berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK. 9862/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2023 tanggal 14 September 2023. Sehingga menurutnya, izin Persetujuan Perhutanan Sosial telah melewati mekanisme verifikasi teknis dari KLHK.
"Mengenai kebenaran aspek formil dan materil atas surat pernyataan yang ditandatangani oleh Ketua, Sekretaris dan Bendahara serta diketahui oleh Kepala Desa Rantau Kasih tertanggal 19 Maret 2024 menjadi tanggung jawab pemohon," kata Alwamen.
Alwamen merupakan Plt Kadis LHK Riau yang melanjutkan kepemimpinan M Job Kurniawan. M Job sempat duduk sebagai Plt Kadis LHK Riau, setelah Mamun Murod dimutasi menjadi Kepala BKD Riau.
Terkait penjelasan tertulis Alwamen tersebut, media ini telah mengonfirmasi ulang soal dugaan adanya kejanggalan dalam penetapan kayu akasia sebagai tanaman sendiri LPHD Rantau Kasih. Namun Alwamen belum meresponnya.
Salah satunya konfirmasi via pesan WhatsApp yang dikirim ke Alwamen yakni soal metode yang dilakukan DLHK Riau dengan hanya mengacu pada dokumen permohonan versi LPHD Rantau Kasih, apakah memiliki dasar hukum yang jelas dan kuat.
Sumber SabangMerauke News yang mengetahui soal seluk beluk hutan tanaman menyatakan, metode yang dilakukan DLHK Riau tersebut berpotensi mengaburkan bahkan menghilangkan kebenaran substantif tentang asal tanaman dan pihak yang menanam kayu akasia tersebut. Apalagi, kata sumber tersebut, kayu akasia itu diduga sebagai keterlanjuran tanam yang dilakukan oleh PT RAPP di luar konsesinya.
"Patut dipertanyakan mengapa DLHK Riau hanya menjadikan dokumen permohonan LPHD Rantau sebagai sumber informasi dalam penetapan kayu akasia itu sebagai tanaman sendiri milik LPHD Rantau Kasih. Seharusnya dilakukan penelusuran lapangan agar menemukan kebenaran faktual. Ini akan menghilangkan fakta yang sebenarnya tentang pihak yang menanam kayu akasia. Ada unsur kejahatan korporasi yang sebenarnya bisa dideteksi kalau DLHK Riau bekerja dengan cermat, tidak hanya bermodalkan dokumen permohonan," kata sumber tersebut, Selasa (18/3/2025).
Kejanggalan lain yang diperoleh, yakni klaim yang dipakai DLHK Riau berdasarkan pernyataan pengurus LPHD Rantau Kasih, bahwa kayu akasia tersebut ditanam pada tahun 2014 hingga 2016. Padahal, izin perhutanan sosial yang dikantongi LPHD dari Menteri LHK baru terbit pada tahun 2023 lalu.
"Jadi apa dasar klaim LPHD melakukan penanaman sejak tahun 2014 lalu. Inikan logikanya tak nyambung," kata sumber tersebut.
Sementara itu, Kepala UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Sorek, Amry belum merespon konfirmasi yang dilayangkan media ini. Amry merupakan pejabat yang mengesahkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) LPHD Rantau Kasih. RKT tersebut sebagai salah satu dasar pemanenan kayu akasia dan juga memuat informasi volume tenang kayu yang dijual ke PT RAPP.
Peran PT SPR Trada Dipertanyakan
Cerita tentang bagi-bagi fee uang hasil penjualan kayu akasia pada lahan hutan yang dikelola Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Rantau Kasih di Kabupaten Kampar masih menyimpan misteri. Terlebih, anak usaha BUMD Pemprov Riau yakni PT Sarana Pembangunan Riau Trada (SPR Trada) ikut kecipratan uang kayu tersebut.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, PT SPR Trada turut menerima uang miliaran rupiah dari hasil penjualan kayu akasia tersebut. Uang bersumber dari penghitungan fee sebesar Rp 120 ribu untuk setiap ton kayu yang dijual melalui perusahaan supplier ke PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Kabarnya, uang tersebut ditransfer dari rekening LPHD Rantau Kasih.
"Uang tersebut masih tersimpan di rekening perusahaan," kata Direktur PT SPR Trada, Bemi Hendrias saat ditemui SabangMerauke News di kantornya pada Rabu (12/3/2025).
Bemi enggan menyebut berapa nominal uang yang diterima PT SPR Trada dari hasil penjualan kayu akasia tersebut. Namun, ia mengklaim telah bertindak prudent dalam menjalankan aktivitas korporasi. Bemi baru memimpin PT SPR Trada sejak Agustus 2024 lalu.
"Sebagai orang yang pernah bekerja di perbankan, setiap langkah dan tindakan perusahaan harus prudent dan penuh kajian matang," kata Bemi.
Lantas, apa dasar PT SPR Trada bisa menerima uang penjualan kayu akasia dari lahan hutan LPHD Rantau Kasih?
Diketahui, LPHD Rantau Kasih merupakan pihak yang mendapat izin perhutanan sosial skema hutan desa dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan era Siti Nurbaya, lewat surat keputusan nomor: SK.9862/MENLHK-PSKL/PSL.O/9/2023 tanggal 14 September 2023. Adapun luas Hutan Desa Rantau Kasih mencapai 1.568 hektare.
LPHD Rantau Kasih ketiban durian runtuh. Soalnya, di atas lahan hutan desa itu telah tumbuh kayu akasia yang siap panen, padahal mereka tidak pernah menanamnya. Ini tentu saja cuan bagi sebanyak 71 pengurus LPHD dan 398 anggotanya.
Berdasarkan informasi dari sumber yang mengetahui masalah ini, kayu akasia itu diduga ditanam dan dirawat oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Bahkan kabarnya, perusahaan sempat melakukan beberapa kali pemanenan, sebelum lahan diserahkan pengelolaannya oleh Menteri Siti Nurbaya ke LPHD Rantau Kasih.
Tidak jelas, apa dasar PT RAPP bisa menanam kayu akasia di lahan tersebut. Namun, bisa dipastikan kalau lahan itu bukan bagian dari areal kerja (konsesi) PT RAPP. Belakangan, LPHD Rantau Kasih melalui mitra suppliernya menjual kayu ke PT RAPP.
Manager Communication PT RAPP Budi Firmansyah menolak menjawab soal adanya aktivitas penanaman dan pemanenan akasia di atas lahan hutan, sebelum diserahkan Menteri LHK kepada LPHD Rantau Kasih.
"Boleh ditanyakan langsung ke LPHD Rantau Kasih. Dalam hal ini RAPP sebagai penerima hasil panen LPHD Rantau Kasih," terang Budi via pesan WhatsApp, Rabu kemarin.
Kembali soal keterlibatan PT SPR Trada sebagai salah satu pihak penerima uang hasil penjualan kayu. Diduga, PT SPR Trada bersama Koperasi Pancuran Gading pernah mengajukan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) pada lahan yang sama, sebelum Menteri LHK menerbitkan izin ke LPHD Rantau Kasih. Namun, PT SPR Trada tidak mendapat izin dari Menteri LHK.
Belakangan, pengurus LPHD Rantau Kasih berniat untuk menjual kayu akasia yang tumbuh pada areal hutan yang dikelolanya. Namun, entah mengapa, muncul perjanjian tiga pihak antara LPHD Rantau Kasih, PT SPR Trada dan Koperasi Pancuran Gading. Salah satu isi perjanjian, yakni memuat fee atau bagi hasil penjualan kayu kepada PT SPR Trada.
Diduga ada intervensi kepada pengurus LPHD Rantau Kasih, sehingga perjanjian itu dibuat. Sejak heboh adanya cuan kayu akasia, gejolak muncul di Desa Rantau Kasih. Para tokoh masyarakat mulai mempersoalkannya. Cuan kayu ini menjadi sasaran banyak pihak.
Perjanjian tiga pihak itu dibuat di depan notaris Ira Asiska dengan nomor 29 tanggal 27 Mei 2004. Kabarnya notaris ini berkedudukan di Kabupaten Siak. Perjanjian ditandatangani oleh Direktur PT SPR Trada saat dijabat oleh Sulfian Daliandi, Ketua Koperasi Pancuran Gading Jonni Fiter Suplus dan pihak LPHD Rantau Kasih.
Perjanjian itu terkuak dari gugatan Ketua Koperasi Pancuran Gading, Jonni Fiter Suplus terhadap PT SPR Trada di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Dalam surat gugatannya, Jonni menuding PT SPR Trada melakukan wanprestasi (ingkar janji) karena tidak membayar fee sebesar Rp 5,9 miliar kepada dirinya, dari hasil penjualan kayu akasia ke PT RAPP.
Gugatan Jonni yang kini duduk sebagai anggota DPRD Kampar, didaftarkan pada Jumat, 13 Desember 2024 lalu dengan nomor perkara:395/Pdt.G/2024/PN Pbr.
Namun, belakangan Jonni mencabut gugatannya tersebut pada pada Kamis, 20 Februari 2025 lalu. Tidak diketahui apa alasan Jonni mencabut gugatannya. Jonni belum merespon konfirmasi SabangMerauke News sejak beberapa hari lalu.
Direktur PT SPR Trada, Bemi Hendrias tidak mengungkap secara jelas apa alasan mengapa perusahaan yang ia pimpin bisa mendapat bagian dari penjualan kayu akasia dari LPHD Rantau Kasih. Ia hanya menunjukkan dokumen perjanjian tiga pihak yang dibuat bersama Koperasi Pancuran Gading dan LPHD Rantau Kasih.
"Mungkin ini bisa disebut sebagai dukungan hibah terhadap keberadaan perusahaan daerah (BUMD)," kata Bemi.
Bemi menolak jika PT SPR Trada disebut berperan sebagai makelar dalam penjualan kayu akasia di areal LPHD Rantau Kasih.
Sumber SabangMerauke News yang memahami seluk beluk perhutanan sosial menyebut, LPHD Rantau Kasih sebenarnya bertransaksi langsung dalam penjualan kayu akasia di areal hutan yang dikelolanya. Itu sebabnya, kemunculan PT SPR Trada menjadi tanda tanya. LPHD Rantau Kasih ada pemegang tunggal izin hutan desa tersebut.
"Pemegang izin hanyalah LPHD Rantau Kasih. Jadi, seharusnya tak perlu ada pihak lain yang ikut-cawe-cawe. Aneh kalau anak perusahaan BUMD dapat bagian dari penjualan kayu, karena sama sekali tidak ada ikatan apapun dengan areal perhutanan sosial yang dikelola LPHD Rantau Kasih," kata sumber tersebut.
Ia menyebut, penerimaan uang hasil penjualan kayu akasia oleh PT SPR Trada yang tidak jelas dasarnya, bisa memunculkan masalah hukum.
"Itu namanya uang panas. Karena diperoleh tanpa memiliki dasar yang jelas, meski ada perjanjian. Harus dikaji legalitas hukum dan sah tidaknya perjanjian itu," kata sumber tersebut.
Lagi pula, kebijakan perhutanan sosial ditempuh oleh Kementerian LHK adalah untuk membantu warga sekitar hutan dari sisi kemandirian ekonomi masyarakat dalam akses terhadap pengelolaan hutan. Menurutnya, pihak yang menikmati hasil perhutanan sosial adalah masyarakat yang tergabung sebagai penerima manfaat LPHD Rantau Kasih.
"Tidak boleh pihak luar mendapat hasil dari pengelolaan hutan sosial. Yang mendapatkan hasilnya harus penerima manfaat yakni masyarakat setempat yang tercantum sebagai anggota LPHD," kata sumber tersebut.
Soal jumlah uang hasil penjualan kayu akasia dari lahan LPHD Rantau Kasih, saat ini angkanya masih sumir. Ada pihak yang menyebut cuan kayu bisa mencapai puluhan miliar rupiah.
Ketua LPHD Rantau Kasih, Adi Syaputra belum merespon pesan konfirmasi dan panggilan seluler yang dilayangkan media ini sejak kemarin. (R-03)