Ramai-ramai Tolak Revisi UU TNI: Dwi Fungsi ABRI Zaman Orde Baru Bakal Muncul Lagi
Sebanyak 34 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Advokasi HAM Internasional (HRWG) mengecam pembahasan revisi Undang-undang tentang Tentara Nasional Indonesia atau revisi UU TNI. Foto : Istimewa
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Sebanyak 34 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Advokasi HAM Internasional (HRWG) mengecam pembahasan revisi Undang-undang tentang Tentara Nasional Indonesia atau revisi UU TNI.
Mereka menilai revisi ini tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional.
"Draf revisi ini dinilai bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT)," bunyi keterangan HRWG, Minggu (16/3).
HRWG menjelaskan Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen HAM inti, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Konvensi Anti-Penyiksaan. Instrumen ini mewajibkan negara memastikan akuntabilitas militer dan perlindungan hak sipil.
Akan tetapi, HRWG menganggap revisi UU TNI justru bertentangan dengan rekomendasi dari Komite HAM PBB tahun 2023 yang isinya menuntut Indonesia mengakhiri imunitas TNI, mengadili pelanggaran HAM di pengadilan sipil, dan menghentikan operasi militer berlebihan di Papua.
Kemudian, HRWG juga menilai RUU TNI telah melanggar Universal Periodic Review 2022 yang merekomendasikan penghapusan bisnis militer dan pembatasan peran TNI hanya untuk ancaman eksternal.
HRWG juga menolak rencana revisi UU TNI dengan alasan mengabaikan prinsip pemisahan fungsi militer-sipil. Mereka melihat keterlibatan TNI dalam program pembangunan dan keamanan dalam negeri melanggar prinsip-prinsip dasar PBB tentang peran militer, yang ditegaskan kembali dalam rekomendasi UPR 2017.
HRWG juga melihat ada potensi kembalinya dwi fungsi TNI seperti di zaman Orde Baru. Semisal mereka melihat pelbagai pasal revisi UU TNI melegalkan intervensi TNI dalam urusan sipil seperti program TNI Manunggal Membangun Desa dan operasi keamanan domestik.
"Mengembalikan praktik dwi fungsi yang menjadi ciri represif Orde Baru. Padahal, UU No. 34/2004 telah membatasi peran TNI hanya untuk pertahanan eksternal. Dwi fungsi terbukti menjadi akar pelanggaran HAM, korupsi, dan kontrol militer atas politik sipil pada masa lalu," bunyi keterangan HRWG.
HRWG memandang jika draft RUU TNI ini tetap dipaksakan, maka Indonesia akan menghadapi konsekuensi di pelbagai forum HAM PBB, termasuk sanksi diplomatik dan penurunan peringkat kebebasan sipil.
Atas dasar berbagai alasan tersebut, HRWG menuntut DPR dan pemerintah menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang cacat prosedur dan bertentangan dengan rekomendasi CCPR/UPR.
"Bentuk panitia independen untuk meninjau ulang draf dengan melibatkan Komnas HAM, korban pelanggaran HAM, dan masyarakat sipil," bunyi tuntutan HRWG.
RUU TNI yang dianggap kontroversial oleh masyarakat sipil kini sedang dalam pembahasan oleh DPR. Bahkan, DPR telah menggelar rapat secara tertutup di Hotel Fairmont untuk membahas RUU ini.
Salah satu poin dalam pembahasan RUU TNI ini adalah mengatur jumlah kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif bertambah dari semula hanya 10 kini menjadi 16 usulan lembaga. Tambahan pos baru yang bisa ditempati TNI aktif itu meliputi kelautan dan perikanan, keamanan laut, BNPB, BNPT, dan Kejaksaan Agung dan BNPP.
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto telah menegaskan bahwa sejumlah perubahan dalam RUU TNI tidak akan mengubah prinsip supremasi sipil di Indonesia.
Agus mengatakan TNI dalam menjalankan tugasnya akan menjaga keseimbangan peran tentara dan masyarakat secara profesional.
"TNI berkomitmen untuk menjaga keseimbangan peran militer dan otoritas sipil dengan tetap mempertahankan prinsip supremasi sipil serta profesionalisme militer dalam menjalankan tugas pokoknya," kata Agus dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (13/3).
Agus menjelaskan RUU TNI berperan untuk mendefinisikan ulang tugas pokok TNI di tengah segala perkembangan ancaman yang muncul.
Agus mengatakan RUU tersebut juga berperan agar peran TNI tidak bertabrakan dengan lembaga lain yang juga memiliki fungsi menghadapi ancaman.(R-04)