Kasus Pembobolan Rekening BJB Pekanbaru: Terdakwa Pegawai Bank Mengaku Lalai, Pencairan Cek Tak Sesuai Prosedur
SM News, Pekanbaru - Terdakwa kasus pembobolan dana nasabah yang merupakan mantan teller Bank Jabar Banten (BJB), Tarry Dwi Cahya mengakui sejumlah pencairan cek atas nama korban Arif Budiman tidak sesuai prosedur. Ironisnya, meski tidak prosedural dan ditemukan sejumlah kesalahan dalam berkas pengajuan, namun cek dapat dicairkan.
Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (15/11/2021), majelis hakim yang diketuai oleh Dr Dahlan SH, MH memeriksa terdakwa Tarry. Hakim mencecar Tarry dengan sejumlah dokumen pencairan cek yang diduga bermasalah. Pencairan cek tersebut diduga dilakukan dengan tanda tangan nasabah yang tidak identik menurut hasil laboratorium forensik kepolisian.
Hakim Dahlan bertanya soal cek yang ditulis salah yakni dengan angka tulisan "Tujuh Puluh Ribu Delapan Juta Rupiah". Hakim mempertanyakan berapa sebenarnya angka uang dalam tulisan di lembaran cek tersebut. Tarry sempat terdiam dan tertawa kecil. Ia akhirnya mengakui kalau dirinya khilaf dan tidak teliti.
"Jadi kalau cek salah tulis begini, apakah uangnya bisa cair?", tanya hakim Dahlan.
Tarry menyatakan sebenarnya sesuai ketentuan cek tersebut harus diperbaiki lebih dulu. Namun hal tersebut tidak dilakukan perbaikan, meski uang telah dicairkan.
"Sebenarnya tidak bisa dicairkan, Yang Mulia. Harus diperbaiki dulu," kata Tarry.
Kasus dugaan pembobolan dana nasabah atas nama pelapor Arif Budiman mendudukkan 2 orang sebagai terdakwa yakni mantan Manager Customer BJB Pekanbaru, Indra Osmer Hutahuruk dan Tarry Dwi Cahya yang merupakan teller di perbankan BUMD milik Pemprov Jabar dan Banten tersebut.
Perkara dilaporkan oleh Arif Budiman ke Polda Riau pada 2019 lalu. Dalam laporannya Arif mengaku telah kehilangan dana mencapai Rp 26 miliar dalam kurun waktu tahun 2014-2018 dari rekening giro sejumlah perusahaannya yang disimpan di BJB Pekanbaru. Namun, dalam proses penyidikan nilai kerugian yang ditetapkan penyidik Polda Riau maupun jaksa Kejati Riau hanya sebesar Rp 3,02 miliar.
Adapun modus kejahatan perbankan ini sedikitnya dilakukan dalam dua cara. Yakni kedua terdakwa diduga melakukan pencairan cek dana perusahaan dengan memalsukan tanda tangan Arif dan direktur perusahaan yang dimiliki Arif. Selain itu, terdakwa Indra juga diduga melakukan pengambilan dana dari giro perusahaan Arif dan memindahkannya ke rekening kolega terdakwa. Proses pencairan cek dan pemidahbukuan rekening tanpa diketahui dan dikonfirmasi oleh Arif maupun direktur perusahaan yang dimiliki Arif.
Indra diduga mengutak-atik isi rekening giro sejumlah perusahaan, tanpa persetujuan Arif dan para direktur perusahaan milik Arif. Dalam menjalankan aksinya, terdakwa memerintahkan sejumlah pegawai BJB Pekanbaru untuk melakukan penarikan cek, meski tidak diketahui oleh korban.
Dalam keterangannya di hadapan majelis hakim, Tarry juga mengakui kalau transaksi bermasalah pencairan cek dilakukan tanpa verifikasi di awal pengajuan cek. Justru verifikasi dilakukan pada sore hari ketika operasional kantor akan tutup.
"Sejak saya jadi teller memang seperti itu. Verifikasi dilakukan sore hari, Yang Mulia," kata Tarry.
Lagi-lagi Tarry mengakui kalau sebenarnya verifikasi harus dilakukan saat proses pencairan cek, bukan setelah sore hari.
Tarry juga mengakui kalau seluruh cek yang diduga bermasalah tersebut dilakukan otorisasi oleh dua atasannya. Kedua atasannya tersebut yaknk Sri Nola selaku supervisor dan Sonny selaku manajer operasional. Sri Nola dan Sonny sudah diperiksa hakim dalam persidangan bulan lalu. Keduanya mengaku memang melakukan otorisasi pencairan cek yang kemudian diketahui bermasalah.
Tarry juga mengaku pernah mencairkan cek namun uangnya diambil oleh Indra Osmer.
Hakim mencecar mengapa uang diberikan kepada Indra Osmer, bukan kepada Arif Budiman selaku pemilik rekening.
"Sebenarnya itu gak boleh, Yang Mulia," kata Tarry.
Hingga saat ini sidang pemeriksaan terhadap Tarry masih berlangsung. Hakim masih mencecar Tarry sebelum pekan depan akan dibacakan surat tuntutan.
Bank Harus Lindungi Nasabah
Sebelumnya pekan lalu, sidang kasus dugaan pembobolan rekening nasabah menghadirkan Pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pusat, Prio Anggoro sebagai ahli. Dalam pendapatnya ahlinya, Prio menegaskan bahwa setiap perbankan diwajibkan untuk melindungi nasabah dan mencegah nasabah dari kerugian.
"Setiap pelaku usaha jasa keuangan (perbankan) wajib mencegah perbuatan penyimpangan dan pelanggaran. Tujuannya agar tidak ada perbuatan yang merugikan nasabah," kata Prio Anggoro di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (1/11/2021).
Prio adalah Pemeriksa Eksekutif Senior pada Departemen Pemeriksaan Khusus Perbankan OJK Pusat. Prio menegaskan, ketentuan internal bank maupun praktik perbankan umumnya mewajibkan petugas bank untuk melakukan konfirmasi kepada pemilik rekening (nasabah) dalam setiap transaksi apapun itu.
"Bank harusnya dapat memastikan pemilik dana datang dan disaksikan petugas bank. Jika tidak hadir tentunya ada mekanisme lain. Namun harus dipastikan adanya konfirmasi dari pemilik rekening. Tentu bank punya aturan soal itu. Silahkan saja cek aturan bank tersebut," tegas Prio.
Prio Anggoro menegaskan, sesuai ketentuannya, petugas bank wajib melakukan konfirmasi kepada pemilik rekening dalam setiap transaksi yang dilakukan. Menurut Prio, seharusnya bank mengonfirmasi ke pemilik rekening untuk memastikan terjadinya transaksi secara benar.
"Untuk memastikan tanda tangan tersebut, petugas bank wajib konfirmasi ke pemilik rekening. Itu ada di prosedur bank," kata Prio.
Prio juga menyatakan dalam ketentuan bank ada mekanisme dan pejabat yang berkaitan dengan sistem kontrol transaksi. Termasuk juga untuk memastikan setiap transaksi memiliki bukti fisik yang benar dan akurat sesuai prinsip kehati-hatian.
"Bank tersebut memiliki ketentuan. Buka saja isi ketentuannya akan diketahui siapa yang bertanggungjawab. Transaksi cek itu harus ada proses cek fisik," tegas Prio.
Menurut ahli Prio, petugas bank wajib melakukan konfirmasi yang dilakukan bank sesuai job description. Pihak bank harus konfirmasi terlebih dahulu untuk melengkapi suatu dokumen agar transaksi sah," kata Prio.
Ia menegaskan konfirmasi ke pemilik rekening adalah upaya mitigasi resiko untuk menghindari kerugian nasabah maupun bank.
"Konfirmasi harus dilakukan pihak bank. Wajib konfirmasi," kata Prio.
Prio juga menyebut soal keberadaan CCTV sebagai bagian dari upaya mitigasi bank.
"CCTV adalah bagian dari mitigasi bank," jelas Prio.
Sebelumnya dalam kesaksian sejumlah pejabat BJB Pekanbaru menyebutkan kalau CCTV di kantor BJB Pekanbaru, Jalan Sudirman mengalami kerusakan. Back up data CCTV pun disebut tidak ada.
Rekaman Pembicaraan Sudah 'Siapkan' Pengadilan
Kasus dugaan pembobolan dana nasabah Bank Jabar Banten (BJB) cabang Pekanbaru dengan korban Arif Budiman, terus memunculkan fakta-fakta baru. Bila sebelumnya pejabat BJB Pekanbaru, Sonny Budi Hariyadi selaku manajer operasional mengaku kalau pihaknya tidak memiliki rekaman CCTV, namun pengakuannya tersebut dalam persidangan sudah terbantah.
Adalah mantan petugas CCTV BJB Pekanbaru, Riztino yang membuka tabir yang diduga dipendam oleh pihak BJB Pekanbaru. Riztino kepada majelis hakim dalam persidangan dua pekan lalu menyatakan kalau rekaman CCTV sudah diserahkan kepada Sonny Budi Haryadi.
Ternyata, pengakuan Riztiono tersebut tak hanya klaim semata. Sebuah rekaman pembicaraan via handphone diduga komunikasi antara Riztino dengan Sonny pun beredar. Dalam pembicaraan tersebut, diduga seorang bernama Sonny meminta agar Riztino tidak menyerahkan hasil backup rekaman data CCTV kepada siapapun, kecuali kepada pihak BJB.
Riztino dalam pembicaraan telepon tersebut menyatakan kepada seorang diduga Sonny kalau seluruh data yang orisinil sudah ia serahkan ke pihak BJB. Namun diakuinya masih ada data kopian yang ia pegang. Orang yang diduga Sonny meminta agar sisa data kopian yang ada pada Riztino diserahkan kepada BJB.
Dalam pembicaraan tersebut, diduga seorang yang bernama Sonny menyatakan kalau masalah perkara dapat dibereskan oleh BJB. Bahkan ia sempat menyebut kalau BJB pernah mengeluarkan uang Rp 5 miliar untuk membereskan kasus.
"Kemarin aja, kasus yang di daerah mana, Rp 5 miliar aja kita beresin. Uang berapa, nggak masalah bagi BJB", kata orang yang diduga Sonny dalam rekaman itu. Soal uang Rp 5 miliar tersebut, orang diduga bernama Sonny mengaitkannya dengan sebuah institusi hukum.
Tak hanya itu, orang diduga Sonny tersebut sesumbar kalau untuk kasus yang terjadi di Pekanbaru sudah disiapkan oleh BJB. Ia bahkan menyebut kalau urusan di pengadilan pun sudah disiapkan.
"Pekanbaru sudah kita siapin semuanya, baik pengadilan. Mau ngadukan di Pengadilan, silakan. Kita sudah siapin semuanya," kata orang diduga Sonny tersebut kepada Riztino dalam rekaman pembicaraan tersebut.
SM News belum dapat mengonfirmasi Sonny maupun pihak BJB Pekanbaru ikhwal adanya rekaman pembicaraan tersebut. Namun, Riztino sudah mengakui kalau suara dalam rekaman tersebut adalah dirinya.
Perihal adanya rekaman pembicaraan antara orang diduga Sonny dengan Riztino sudah pernah disampaikan jaksa penuntut kepada majelis hakim yang diketuai Dr Dahlan SH, MH. Namun, saat itu hakim Dahlan tidak berkenan membuka isi rekaman percakapan tersebut. Menurut hakim Dahlan, rekaman percakapan mesti diuji lebih dulu keasliannya di laboratorium forensik.
"Silahkan saja ajukan, tapi divalidasi dulu keasliannya di laboratorium forensik. Gak apa-apa," kata hakim Dahlan dalam, persidangan Senin (18/10/2021) lalu.
Hakim Dahlan dalam sejumlah persidangan berkali-kali mempertanyakan soal rekaman CCTV, khususnya di ruangan pelayanan pencairan cek. Ia bahkan sempat mengungkapkan rasa curiga ada hal yang sengaja ditutupi oleh pihak manajemen BJB.
"Kok BJB perbankan yang sebesar itu tak punya back up data. Kok aneh ya. Apa semua kantor BJB seperti itu tak punya back up data?," kata hakim Dahlan, dalam persidangan pemeriksaan saksi dari internal BJB.
Hakim Dahlan pun menyatakan aneh jika seandainya ada kegiatan kejahatan yang tidak terpantau oleh bank ketika CCTV rusak dan back up data tak ada.
"Jadi kalau ada perampok, bagaimana itu? Gimana polisi bisa mengungkap?," tanya hakim Dahlan lagi.
Bareskrim Polri Sebut Pidana Pencucian Uang Bisa Dilakukan
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigjen (Pol) Helmy Santika menyatakan pengungkapan kejahatan perbankan dapat ditindaklanjuti dengan penanganan hukum tindak pidana pencucian uang (TPPU). Hal tersebut dilakukan berdasarkan fakta-fakta dan alat bukti yang tersedia dan digali lebih dalam oleh penyidik. Termasuk juga dengan pengenaan ancaman tindak pidana korupsi jika ditemukan kerugian negara.
Hal tersebut disampaikan Brigjen (Pol) Helmy Santika menjawab pertanyaan yang diajukan dalam kegiatan hari kedua webinar "Kolaborasi dalam Pencegahan Fraud pada Bank Milik Negara" diselenggarakan Kejaksaan Agung RI diinisiatori Kapuspen Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Rabu (13/10/2021).
Brigjen (Pol) Helmy Santika mengaku belum mengetahui soal kasus pembobolan dana nasabah BJB Pekanbaru tersebut. Namun demikian, pihaknya akan mencoba melakukan pemantauan lebih jauh.
"Terimakasih atas atensi dan perhatian rekan media yang ikut mengawal kasus ini, sehingga dapat mengetahui lebih dalam fakta persidangannya. Sekaligus memastikan keadilan bisa diwujudkan," kata Helmy Santika.
Menurutnya, dalam kasus kejahatan perbankan yang ditindaklanjuti dengan TPPU, proses pelacakan (tracing) terhadap aset pelaku kejahatan semestinya dilakukan. Namun, menurutnya semua itu bergantung pada adanya fakta hukum dan alat bukti yang bisa diperoleh oleh penyidik.
"Sekali lagi ini menyangkut soal ada tidaknya fakta hukum dan alat bukti yang didapati penyidik," jelasnya.
PPATK Siap Lakukan Audit Investigatif
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan siap untuk melakukan audit investigatif terkait kasus dugaan pembobolan dana nasabah atas nama Arif Budiman di Bank Jabar Banten (BJB) Cabang Pekanbaru. Audit investigatif dimohonkan Arif untuk mengetahui secara detil ke mana saja aliran uang rekening sejumlah perusahaannya yang diduga dibobol oleh pegawai BJB Pekanbaru.
Direktur Kerjasama dan Humas PPATK, Syahril Ramadhan menyatakan pihaknya membuka layanan pengaduan dan permohonan audit investigatif, demi keadilan bagi nasabah bank dan pengungkapan lebih detil kasus kejahatan perbankan.
"Silahkan dilaporkan ke kami (PPATK, red). Akan kami telaah untuk diputuskan melakukan audit investigatif. Berikan pengaduan ke kami," kata Syahril Ramadhan dalam acara webinar "Kolaborasi dalam Pencegahan Fraud pada Bank Milik Negara" diselenggarakan Kejaksaan Agung RI.
Sebelumnya korban Arif Budiman melalui media bermohon kepada PPATK agar melakukan audit investigatif atas kejadian yang dialaminya. Ia menyatakan proses audit yang dilakukan BJB pusat tidak transparan, tuntas dan kredibel. BJB menutup dokumen audit dan tidak melakukan pemeriksaan secara detil.
"Pihak BJB menutupi proses audit. Banyak dokumen dan transaksi yang tidak dibuka," kata Arif, Selasa (21/9/2021) lalu.
Syahril Ramadhan menjelaskan, PPATK menaruh perhatian yang intens terhadap kasus kejahatan perbankan (fraud). Apalagi jika kejahatan perbankan tersebut diduga kuat melibatkan orang dalam atau pegawai bank perbankan itu sendiri.
"Jika diduga kuat pelaku kejahatan perbankan itu dari internal bank, maka PPATK memberikan prioritas, jika diminta untuk melakukan audit investigatif. Makanya, silahkan saja datang untuk mengadukannya ke PPATK, kantor kita siap melayani," tegas Syahril.
Tiga Pejabat BJB Pekanbaru Dinilai Bertanggung Jawab
Tiga pejabat Bank Jabar Banten (BJB) Pekanbaru dinilai ikut bertanggung jawab dalam kasus dugaan pembobolan dana nasabah atas nama korban Arif Budiman. Ketiganya yakni Kepala Cabang BJB Pekanbaru periode 2014-2018 Irwan Triherda Permana, manager operasional Sonny Budi Hariadi dan supervisor operasional Sri Nola.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Riau, Erdiansyah SH, MH menyatakan kejahatan perbankan berlangsung secara sistemik. Pelakunya tidak mungkin berdiri sendiri. Perbuatan kejahatan perbankan (fraud) kerap melibatkan sejumlah pihak di internal bank, terutama pejabat yang yang memiliki kewenangan tertentu di atasnya.
"Kejahatan perbankan itu tidak bisa berdiri tunggal, tapi terjadi dalam sistem. Pengendali sistem perbankan itu ada beberapa orang. Ini yang harus dilakukan penyelidikan dan pemeriksaan," kata Erdiansyah, Sabtu (9/10/2021) lalu.
Menurut Erdiansyah, seorang teller tidak mungkin dapat membobol dana nasabah secara berkelanjutan. Teller adalah pegawai level dasar apalagi dalam urusan pencairan cek.
"Cek tak mungkin cair tanpa verifikasi dan otorisasi dari pejabat bank tersebut. Sudah pasti ada otorisasi dari pejabat yang lebih tinggi dan berwenang untuk itu," kata Erdiansyah.
Apalagi dalam fakta persidangan menyebutkan kalau sebenarnya tidak ada kewenangan dari terdakwa Indra Osmer Hutahuruk selaku mantan manager Customer BJB Pekanbaru dalam melakukan pencairan cek. Namun faktanya pencairan cek terus berlanjut diduga dengan pemalsuan tanda tangan Arif dan sejumlah direktur perusahaan milik Arif.
Dalam fakta persidangan, supervisor operasional BJB Pekanbaru Sri Nola mengaku kalau dirinya tidak melakukan verifikasi berkas pengajuan pencairan cek. Ia mengklaim verifikasi berkas cek merupakan tugas Sri Nola sebagai teller. Meski demikian ia mengaku telah melakukan otorisasi pencairan cek tersebut sehingga cek kemudian bisa dicairkan.
Bahkan dalam sebuah cek yang tertulis dengan nominal salah dan angka tak jelas, Sri Nola mengaku tetap melakukan otorisasi sehingga cek kemudian dicairkan. Dalam kertas cek tersebut tertulis secara sembarangan dengan nomimal terbilang 'tujuh puluh ribu delapan juta rupiah'. Cek tersebut kemudian diotorisasi pencairannya oleh Sri Nola meski tak jelas berapa angka sebenarnya. Sejumlah cek 'bermasalah' lainnya yang tak memuat tanggal dan angka nominal cek juga dapat dicairkan yang diduga membuat rekening giro korban Arif Budiman bobol.
Setali tiga uang, manager operasional Sonny Budi Hariadi yang merupakan atasan Sri Nola dalam kesaksiannya juga menuding kalau verifikasi cek adalah tanggung jawab terdakwa teller Tarry. Bahkan yang lebih mengagetkan Sonny ternyata tidak membubuhkan paraf saat cek dicairkan. Pencantuman paraf justru dilakukan sore hari setelah kantor hampir tutup dan cek lebih dulu cair. Modus seperti ini terjadi berulang-ulang.
Erdiansyah menyatakan, penyidik kepolisian seharusnya dapat menindaklanjuti fakta-fakta persidangan tersebut. Menurutnya, keterlibatan 3 pejabat BJB dia tas harus dimintai pertanggungjawabannya secara hukum.
"Aparat hukum harusnya melakukan penyelidikan agar kasus ini terungkap secara terang benderang," tegas Erdiansyah.
Bahkan, Erdiansyah menyebut kasus ini sebagai kejahatan korporasi perbankan. Penilaiannya berdasarkan analisis bahwa kasus ini berlangsung secara sistemik, berkelanjutan dan terjadi dalam ruang lingkup tanggung jawab perbankan.
"Saya menilai ini masuk kategori kejahatan korporasi perbankan. Perbankan harus bertanggung jawab dalam kasus ini. Aparat harus melakukan penyelidikan baru dalam kasus korporasi perbankan ini," kata Erdiansyah.
BJB Mau Ganti Kerugian Nasabah Tapi Laporan Polisi Dicabut
Sepucuk surat yang diterbitkan oleh Bank Jabar Banten (BJB) Pekanbaru mengungkap ikhwal adanya dugaan pembobolan dana nasabah yang merugikan korban Arif Budiman. BJB mau mengganti sebagian kerugian tersebut, namun syaratnya agar Arif mencabut laporan polisi dan menyatakan permasalahan selesai.
SM News mendapatkan kopian surat tertanggal 20 Maret 2020 yang diteken langsung oleh Kepala Cabang BJB Pekanbaru, Rahmad Abadi. Rahmad adalah Kepala Cabang BJB Pekanbaru yang menggantikan Irwan Triherda Permana. Irwan merupakan Kepala Cabang BJB Pekanbaru saat kasus dugaan pembobolan dana nasabah ini terjadi pada periode 2014-2018.
Anehnya, Irwan sampai saat ini belum dijadikan saksi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Rahmad pun kini sudah dimutasi ke Jawa Barat.
Ada dua poin utama surat yang diteken oleh Rahmad Abadi tersebut. Pertama, soal kesanggupan BJB mengganti uang Arif maksimal Rp 3,02 miliar. Jumlah itu merupakan perhitungan dari sebanyak 22 transaksi Arif.
Padahal, Arif sebenarnya meminta data sebanyak 56 transaksi mencurigakan serta transaksi lain yang ditaksir merugikan Arif mencapai Rp 26 miliar. Hingga saat ini, data sebanyak 56 transaksi tersebut belum pernah diserahkan BJB kepada Arif. Dokumen hasil audit internal BJB Pusat atas kasus ini pun tak pernah diterima oleh Arif.
Poin kedua surat Rahmad Abadi yakni soal persyaratan agar BJB mengganti kerugian Arif sebesar Rp 3,02 miliar yang disebutkan dalam poin pertama surat. Ada 4 hal yang dipersyaratkan BJB yakni agar Arif menerima dan mengakui seluruh transaksi di BJB bersama pihak-pihak terafiliasi dengan BJB Cabang Pekanbaru. Kemungkinan yang disebut sebagai pihak terafiliasi tersebut adalah dua orang terdakwa yakni mantan manager customer BJB Pekanbaru, Indra Osmer Hutahuruk dan teller Tarry Dwi Cahya.
Selain itu, BJB juga meminta agar Arif mencabut atau membatalkan segala laporan/ pengaduan/ gugatan yang telah diajukan oleh Arif secara pidana maupun perdata dalam persoalan transaksi mencurigakan yang merugikan Arif tersebut.
Syarat ketiga yang diajukan oleh BJB yakni agar Arif menyatakan segala permasalahan yang terjadi dengan pihak BJB dinyatakan telah selesai.
"Seluruh permasalahan antara saudara dengan pihak terafiliasi dengan BJB dianggap telah selesai," demikian petikan isi surat tersebut.
Sementara syarat keempat yang disampaikan BJB yakni agar kelak Arif tidak lagi mengajukan laporan/ pengaduan dan gugatan kepada BJB. (*)