Misteri Candi Muara Takus yang Belum Tuntas, Konon Pernah Jadi Pusat Kerajaan Sriwijaya
SabangMerauke News, Riau - Bumi Sarimadu, sekitar 135 KM dari Kota Pekanbaru di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar. Tersisa satu-satunya peninggalan sejarah berbentuk candi di Riau, yakni Candi Muara Takus.
Salah satu pendapat asal mula penamaannya, terdiri dari dua kata, “Muara” dan “Takus”. Arti kata “Muara” merujuk pada suatu tempat sebuah sungai mengakhiri alirannya ke laut atau sungai yang lebih besar. Sedangkan “Takus” merupakan susunan dari bahasa Cina. Terdiri dari Ta berarti besar, Ku adalah tua, dan Se berarti candi atau kuil.
Jadi, arti keseluruhannya merupakan candi tua besar yang terletak di muara sungai. Adanya stupa yang merupakan lambang Buddha Gautama, membuat Candi Muara Takus ini dipercayai sebagai candi Buddha.
Pendapat lain, merujuk pada candi-candi di Myanmar, terdapat kemiripan arsitektur pada salah satu bangunannya, yakni Candi Mahligai. Bentuk lingga atau kelamin laki-laki dan yoni atau kelamin perempuan.
Adanya bangunan Candi Muara Takus sebagai bukti pernah berkembangnya agama Buddha di Sumatera. Dalam buku Hukum dan perubahan struktur kekuasaan: pelaksanaan hukum Islam dalam Kesultanan Melayu Siak, 1901-1942 menyebutkan beberapa abad silam diyakini pernah menjadi pusat kerajaan Sriwijaya.
Pembesar Kampar bersama utusan Adityawarman bersepakat menetapkan Muara Takus sebagai pusat pemerintahan Andiko Nan 44. Hal ini pula ditegaskan oleh Ir. L. Moens pada tahun 1937 melalui tulisannya berjudul Crivijaya, Yava en Kataha (T.B.G LXXVII).
Tiga tahun kemudian, salinan tulisan itu terbit dalam bahasa Inggris pada Journal of the Malayan Branch XVII. Moens membantah teori Coedes sebelumnya yang mengatakan Sriwijaya berpusat di Palembang. Ia mendasar pada berita-berita atau pengetahuan geografis dari berita Tionghoa dan Arab. Awal mulanya, pusat Kerajaan Sriwijaya terletak di pantai timur Malaya, kemudian berpindah ke Sumatera Tengah dekat Muara Takus.
Walaupun para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan candi ini didirikan. Namun, Cornet De Groot disebut sebagai penemu pertama pada tahun 1860. Bahkan dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkenkunde edisi 1860 Groot membuat sketsa Candi Muara Takus dengan keterangan foto tertulis: KOTA TJANDI, Pedalaman Sumatera.
Groot menulis Kota Tjandi (Sumatra’s Westkust) di muat dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkenkunde edisi 1860. Pada paragraf keenam tulisan itu, Groot menyebutkan yang bila diartikan dalam bahasa Indonesia:
“Hampir seluruhnya dibangun dari batu bata merah yang dipanggang, yang telah diamplas rata, dan tidak menggunakan kapur; mereka ditumpuk dingin di atas satu sama lain; hanya benda yang terbuat dari batu pasir berwarna abu-abu-kuning muda. Pada sisi barat telah disediakan tangga, untuk tiba di ruang bawah tanah.”
Kemudian terdapat tulisan berjudul beschrijving Van de Hindoe, oudheden te Muara Takus oleh GDu Ruy Van Best Holle.
Pada tahun 1880, W.P. Groeneveld menemukan Candi Muara Takus terdiri dari beberapa biara dan candi sebagai bangunan purbakala Buddha. Tembok yang mengelilinginya ditemukan setahun kemudian oleh R.D.M Verbeek & E.TH. Van Delden ketika kedua pakar ini membuat jalan sebagai akses ke sana. “De Hindow Ruinen Bij Moeara Takoes aan De Kampar Rivier” terbit dalam Verhandelingen van Het Bataviaasch Genootschap hasil temuan keduanya.
Beberapa foto lawas Candi Muara Takus dapat ditemukan pada koleksi digital Southeast Asian & Caribbean Images (KITLV) perpustakaan Universitas Leiden di Belanda. (*)