Beda Gaya Gubernur Riau dan Gubernur Jabar Merespon Banjir, Kang Dedi Mulyadi: Saya Gak Mau Cuma Bagi Sembako!

Gubernur Riau Abdul Wahid dan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi. Foto: SM News
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Terdapat perbedaan yang mencolok gaya gubernur di Indonesia merespon bencana banjir. Jika kebanyakan kepala daerah di Indonesia kerap tebar pesona membagi-bagi sembako untuk korban banjir, namun tindakan itu tak dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
Kang Dedi Mulyadi yang populer disapa KDM, menegaskan dirinya tak mau banjir diselesaikan cuma dengan membagikan sembako. Ia memilih menempuh tindakan komprehensif, yakni mengatasi penyebab banjir yang sesungguhnya.
"Setiap bencana penyelesaiannya cuman dengan sembako. Saya enggak mau," kata Dedi dalam video yang diunggah di akun Instagram miliknya @dedimulyadi71 pada Kamis (6/3/2025).
KDM juga menyindir sikap banyak kepala daerah yang hanya membagikan sembako kepada korban banjir. Menurutnya, persoalan banjir tidak akan selesai begitu saja hanya dengan memberi bantuan sembako.
Menurut Dedi, pemberian sembako ini bak menjadi ciri khas dari para kepala daerah di Jawa Barat. Tak hanya untuk korban banjir, melainkan pula untuk korban bencana lainnya.
"Kita ini punya ciri khas. Kalau banjir dikirim sembako, longsor dikirim sembako, kebakaran dikirim sembako. Seluruh masalah penyelesaiannya sembako," imbuhnya.
KDM menekankan agar banjir diatasi dengan penyelesaian yang komprehensif. Salah satunya, dengan mengembalikan kawasan konservasi dan fungsi hutan sebagaimana mestinya.
"Puncak kembalikan menjadi daerah konservasi, menjadi daerah hijau, tidak boleh semena-mena," ucapnya.
Ia bahkan menyindir PT Perkebunan Nusantara (PTPN) di Jawa Barat yang justru banyak menyulap lahan perkebunan menjadi bangunan.
"Saya katakan PTPN sudah bertentangan dengan kalimatnya. Judulnya PT Perkebunan tapi kerjanya nyewain tanah. PT Perkebunan tapi di perkebunannya banyak bangunan. Jangan jadi PT Perkebunan menurut saya, ganti menjadi PT Kontraktor Tanah. Ini harus diubah, untuk itu caranya bagaimana? Caranya adalah seluruh area PTPN hanya dua peruntukannya, perkebunan atau perhutanan. Jangan untuk area lain," tandasnya.
Banjir di Riau
Di Riau, bencana banjir juga terjadi saat ini. Di awal kepemimpinannya, Gubernur Riau Abdul Wahid langsung berkunjung ke daerah terdampak banjir ke Desa Sendayan, Kecamatan Kampar Utara, Kabupaten Kampar pada 3 Maret lalu.
Di lokasi banjir tersebut, politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini ikut membagi-bagikam sembako kepada warga terdampak banjir.
Ia juga mengusulkan agar pemerintah pusat segera membangun waduk, sebagai antisipasi dampak dibukanya pintu air PLTA Koto Panjang di Kabupaten Kampar. Akibat pembukaan pintu air tersebut, sejumlah daerah di Kampar dan Pelalawan tergenang air dengan ketinggian yang signifikan.
Abdul Wahid sama sekali tidak berbicara soal isu lingkungan. Ia tak mengaitkan banjir tersebut dengan rusak parahnya kawasan hulu dan daerah aliran sungai-sungai besar di Riau. Termasuk keberadaan perusahaan-perusahaan pengelola hutan dan lahan yang kerap disangkutpautkan sebagai pemicu kerusakan lingkungan.
Sikap Abdul Wahid Dikritik Aktivis Lingkungan
Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) lantas mengeritik langkah Gubernur Riau, Abdul Wahid yang menebar aksi bagi-bagi sembako untuk korban banjir yang menerpa sejumlah wilayah di Riau saat ini. Tindakan ala sinterklas tersebut dinilai sebagai budaya lama yang diwarisi oleh pemimpin Riau sebelumnya.
"Gubernur Riau Abdul Wahid harus menghentikan budaya bagi-bagi sembako yang dilakukan gubernur sebelumnya untuk korban banjir di Riau," kata Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo dalam keterangan diterima SabangMerauke News, Rabu (5/3/2025).
Menurut Okto Yugo, aksi bagi sembako idealnya cukup disalurkan oleh dinas terkait. Posisi gubernur seharusnya mencarikan solusi agar banjir bisa dikendalikan di kemudian hari. Pilihan konkret yang paling tepat yakni dengan mengevaluasi total tata ruang dan izin korporasi hutan tanaman industri (HTI) serta perkebunan kelapa sawit.
“Gubernur Riau mestinya me-review tata ruang dan mengevaluasi izin korporasi HTI dan perusahaan sawit penyebab deforestasi yang mengakibatkan banjir,” kata Okto Yugo.
Okto juga mengeritik solusi membangun bendungan yang ditawarkan Abdul Wahid dalam mengatasi banjir saat ini. Menurut Okto, banjir yang terjadi saat ini bukan hanya karena pembukaan pintu air PLTA Koto Panjang di Kampar. Karena faktanya, sejumlah wilayah di Riau yang terkena banjir, tidak semuanya terhubung dengan Sungai Kampar. Misalnya banjir di Rokan Hulu, Indragiri Hulu dan Kuantan Singingi
"Gubernur Abdul Wahid harusnya melihat persoalan banjir dari hulu hingga ke hilir. Pembukaan pintu PLTA Koto Panjang bukanlah satu-satunya penyebab banjir," imbuh Okto.
Hasil analisis Jikalahari, selain curah hujan, banjir yang terjadi di Riau juga disebabkan pembukaan hutan alam di sepanjang sungai-sungai besar di Riau. Seperti Sungai Kampar, Sungai Rokan dan Sungai Indragiri. Hutan alam di sepanjang sungai ini berubah menjadi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI).
“Jika Gubernur Abdul Wahid ingin menyelesaikan persoalan banjir, maka ia harus berani rekomendasikan agar perusahaan sawit dan HTI di sepanjang sungai ini dievaluasi, bahkan dicabut izinnya, jika tidak miliki sistem pengelolaan lahan yang aman bagi lingkungan,” kata Okto.
“Ini seharusnya menjadi perhatian Abdul Wahid dalam penanggulangan banjir di Riau,” tegas Okto.
Menurut Okto, terdapat 38 desa di Kabupaten Rohul dan Kampar yang terkena banjir. Jikalahari mendapati adanya aktivitas sebanyak 27 perusahaan perkebunan sawit dan 2 perusahaan HTI berada di sekitar lokasi banjir.
Berdasarkan data, sejak 2000 hingga 2024 di areal sekitar banjir, sekitar 81 persen atau seluas 28.176 hektare hutan alam yang berada di 29 perusahaan di kawasan banjir itu, mengalami deforestasi.
"Jikalahari merekomendasikan kepada Gubernur Riau Abdul Wahid untuk melakukan review izin HTI dan kelapa sawit yang berada di sepanjang Sungai Kampar, Sungai Rokan dan Sungai Indragiri serta melakukan pemulihan di areal tersebut," pungkas Okto.
Praktisi hukum lingkungan dan kehutanan, Surya Darma SAg, SH, MH juga mengeritik sikap cuek pemimpin daerah atas kerusakan kawasan hutan konservasi di Riau. Menurutnya, hampir seluruh hutan konservasi dan hutan lindung di Riau telah porak-poranda, namun dibiarkan dan otoritas terkait terkesan tutup mata.
Surya Darma menyebut kondisi Hutan Lindung Mahato yang telah habis dibabat dan bersalin rupa menjadi perkebunan kelapa sawit.
Selain itu, juga kondisi Hutan Lindung Bukit Suligi yang telah dirusak secara sistematis dan habis-habisan. Menurut Surya Darma, banjir yang kerap terjadi di Riau karena kerusakan hutan lindung tersebut. Soalnya, keberadaan Hutan Lindung Bukit Suligi sangat mempengaruhi debit air sepanjang Sungai Kampar dan Sungai Rokan.
"Bencana banjir bahkan diyakini akan datang kembali jauh lebih dahsyat. Ini karena penanganan banjir tidak dilakukan secara sistematis-konkret. Pemimpin kita tak peduli kondisi hutan serta tak punya ketegasan," kata Surya Darma yang merupakan pendiri Yayasan Riau Madani.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau mencatat, sepanjang 1 Januari hingga 4 Maret 2025, sudah terjadi 43 kejadian banjir di 5 kabupaten di Provinsi Riau. Yakni Kampar, Rokan Hulu, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi dan Pelalawan.
Banjir tersebar di 18 kecamatan dan 39 desa atau 4 kelurahan dengan total 7.000 kepala keluarga (KK) yang terdampak.
Selain itu, 4 fasilitas kesehatan, 5 fasilitas pendidikan, 19 fasilitas umum, jalan sepanjang 7,8 kilometee, kebun seluas 8.355 hektare dan 615 ekor ternak yang juga terdampak banjir di Riau sejak awal tahun 2025. (KB-02/R-03)